Minggu, 14 Februari 2010


AsKep Ca.Laring

0

A. Pengertian
Secara anatomi tumor laring dibagi atas tiga bagian yaitu supra glotik, tumor pada plika ventrikularis, aritenoid, epiglotis dan sinus piriformis (Glotis : tumor pada korda vokalis , Subglotis : tumor dibawah korda vokalis).

B. Patofisiologi
Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun. Kebanyakan pada orang laki-laki.Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat. Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli.Kanker kepala dan leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan.Terutama neoplasma laringeal 95% adalah karsinoma sel skuamosa.Bila kanker terbatas pada pita suara (intrinsik) menyebar dengan lambat.Pita suara miskin akan pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase kearah kelenjar limfe.Bila kanker melibatkan epiglotis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi.Tumor supraglotis dan subglotis harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga mengakibatkan suara serak.Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya pada waktu pita suara masih dapat digerakan.
C. Gambaran klinik
Paling dini adalah berupa suara parau atau serak kronik, tidak sembuh-sembuh walaupun penderita sudah menjalani pengobatan pada daerah glotis dan subglotis. Tidak seperti suara serak laringitis, tidak disertai oleh gejala sistemik seperti demam.Rasa tidak enak ditenggorok, seperti ada sesuatu yang tersangkut. Pada fase lanjut dapat disertai rasa sakit untuk menelan atau berbicara.Sesak napas terjadi bila rima glotis tertutup atau hampir tertutup tumor 80%. Sesak napas tidak timbul mendadak tetapi perlahan-lahan. Karena itu penderita dapat beradaptasi, sehingga baru merasakan sesak bila tumor sudah besar (terlambat berobat). Stridor terjadi akibat sumbatan jalan napas.Bila sudah dijumpai pembesaran kelenjar berarti tumor sudah masuk dalam stadium lanjut.Bahkan kadang-kadang tumornya dapat teraba, menyebabkan pembengkakan laring.
Bila tumor laring mengadakan perluasan ke arah faring akan timbul gejala disfagia, rasa sakit bila menelan dan penjalaran rasa sakit kearah telinga.Apabila dijumpai kasus dengan jelas diatas, khususnya dengan keluhan suara parau lebih dari dua minggu yang dengan pengobatan tidak sembuh, diderita orang dewasa atau tua, sebaiknya penderita segera dirujuk.
D. Stadium
Tergantung keadaan tumor (T), pembesaran kelenjar regional ( N ), dan metastasis jauh ( M ).
Stadium : I : T1 No Mo
II : T2 No Mo
III : T3 No Mo, T2 N1 Mo, T3 N1 Mo
IV : T4 No Mo, semua T N2 M1, semua T semua N dan M.
E. Diagnostic studies
Pemeriksaan laring dengan kaca laring atau laringoskopi langsung dapat menunjukkan tumor dengan jelas.Tempat yang sering timbul tumor dapat dilihat pada gambar.Sinar X dada,scan tulang, untuk mengidentifikasi kemungkinan metastase. Darah lengkap, dapat menyatakan anemi yang merupakan masalah umum. Laringografi dapat dilakukan dengan kontras untuk pemeriksaan pembuluh darah dan pembuluh limfe., Kemudian laring diperiksa dengan anestesi umum dan dilakukan biopsi pada tumor.Gigi yang berlubang, sebaiknya dicabut pada saat yang sama.
F. Medical Managament
Pada kasus karsinoma laring dapat dilakukan pengobatan dengan radiasi dan pengangkatan laring (Laringektomi).Pengobatan dipilih berdasar stadiumnya.Radiasi diberikan pada stadium 1 dan 4.Alasannya mempunyai keuntungan dapat mempertahankan suara yang normal, tetapi jarang dapat menyembuhkan tumor yang sudah lanjut,lebih-lebih jika sudah terdapat pembesaran kelenjar leher.Oleh karena itu radioterapi sebaiknya dipergunakan untuk penderita dengan lesi yang kecil saja tanpa pembesaran kelenjar leher.Kasus yang ideal adalah pada tumor yang terbatas pada satu pita suara, dan masih mudah digerakkan. Sembilan dari sepuluh penderita dengan keadaan yang demikian dapat sembuh sempurna dengan radioterapi serta dapat dipertahankannya suara yang normal.Fiksasi pita suara menunjukkan penyebaran sudah mencapai lapisan otot. Jika tumor belum menyebar kedaerah supraglotik atau subglotik, lesi ini masih dapat diobati dengan radioterapi, tetapi dengan prognosis yang lebih buruk.
Penderita dengan tumor laring yang besar disertai dengan pembesaran kelenjar limfe leher, pengobatan terbaik adalah laringektomi total dan diseksi radikal kelenjar leher.Dalam hal ini masuk stadium 2 dan 3. Ini dilakukan pada jenis tumor supra dan subglotik.Pada penderita ini kemungkinan sembuh tidak begitu besar, hanya satu diantara tiga penderita akan sembuh sempurna.Laringektomi diklasifikasikan kedalam :
1. Laringektomi parsial. Tumor yang terbatas pada pengangkatan hanya satu pita suara dan trakeotomi sementara yang di lakukan untuk mempertahankan jalan napas. Setelah sembuh dari pembedahan suara pasien akan parau.
2. Hemilaringektomi atau vertikal. Bila ada kemungkinan kanker termasuk pita suara satu benar dan satu salah.Bagian ini diangkat sepanjang kartilago aritenoid dan setengah kartilago tiroid.Trakeostomi sementara dilakukan dan suara pasien akan parau setelah pembedahan.
3. Laringektomi supraglotis atau horisontal. Bila tumor berada pada epiglotis atau pita suara yang salah, dilakukan diseksi leher radikal dan trakeotomi. Suara pasien masih utuh atau tetap normal.Karena epiglotis diangkat maka resiko aspirasi akibat makanan peroral meningkat.
4. Laringektomi total. Kanker tahap lanjut yang melibatkan sebagian besar laring, memerlukan pengangkatan laring, tulang hihoid, kartilago krikoid,2-3 cincin trakea, dan otot penghubung ke laring.Mengakibatkan kehilangan suara dan sebuah lubang ( stoma ) trakeostomi yang permanen. Dalam hal ini tidak ada bahaya aspirasi makanan peroral, dikarenakan trakea tidak lagi berhubungan dengan saluran udara – pencernaan.Suatu sayatan radikal telah dilakukan dileher pada jenis laringektomi ini.Hal ini meliputi pengangkatan pembuluh limfatik, kelenjar limfe di leher, otot sternokleidomastoideus, vena jugularis interna, saraf spinal asesorius, kelenjar salifa submandibular dan sebagian kecil kelenjar parotis (Sawyer, 1990).Operasi ini akan membuat penderita tidak dapat bersuara atau berbicara. Tetapi kasus yang dermikian dapat diatasi dengan mengajarkan pada mereka berbicara menggunakan esofagus (Esofageal speech), meskipun kualitasnya tidak sebaik bila penderita berbicara dengan menggunakan organ laring.Untuk latihan berbicara dengan esofagus perlu bantuan seorang binawicara.

G. Dasar data pengkajian keperawatan
Data pre dan posoperasi tergantung pada tipe kusus atau lokasi proses kanker dan koplikasi yang ada.
INTEGRITAS EGO
Gejala : Perasaan takut akan kehilangan suara,mati, terjadi atau berulangnya kanker. Kuatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja dan keuangan.
Tanda : Ansietas, depresi, marah dan menolak operasi.
MAKANAN ATAU CAIRAN
Gejala :Kesulitan menelan.
Tanda : Kesulitan menelan, mudah tersedak, sakit menelan, sakit tenggorok yang menetap.Bengkak, luka. Inflamasi atau drainase oral, kebersihan gigi buruk. Pembengkakan lidah dan gangguan gag reflek.
HIGIENE
Tanda : kemunduran kebersihan gigi. Kebutuhan bantuan perawatan dasar.
NEUROSENSORI
Gejala : Diplopia (penglihatan ganda), ketulian.
Tanda : Hemiparesis wajah (keterlibatan parotid dan submandibular). Parau menetap atau kehilangan suara (gejala dominan dan dini kanker laring intrinsik). Kesulitan menelan. Kerusakan membran mukosa.
NYERI ATAU KENYAMANAN
Gejala : Sakit tenggorok kronis, benjolan pada tenggorok. Penyebaran nyeri ke telinga, nyeri wajah (tahap akhir, kemungkinan metastase). Nyeri atau rasa terbakar dengan pembengkakan (kususnya dengan cairan panas), nyeri lokal pada orofaring. Pascaoperasi : Sakit tenggorok atau mulut (nyeri biasanya tidak dilaporkan kecuali nyeri yang berat menyertai pembedahan kepala dan leher, dibandingkan dengan nyeri sebelum pembedahan).
Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah, nyeri wajah dan gangguan tonus otot.
PERNAPASAN
Gejala : Riwayat merokok atau mengunyah tembakau. Bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, dan logam berat. Riwayat penyakit paru kronik. Batuk dengan atau tanpa sputum. Drainase darah pada nasal.
Tanda : Sputum dengan darah, hemoptisis, dispnoe ( lanjut ), dan stridor.
KEAMANAN
Gejala : Terpajan sinar matahari berlebihan selama periode bertahun-tahun atau radiasi.Perubahan penglihatan atau pendengaran.
Tanda : Massa atau pembesaran nodul.
INTERAKSI SOSIAL
Gejala : masalah tentang kemampuan berkomunikasi, dan bergabung dalam interaksi sosial.
Tanda : Parau menetap,perubahan tinggi suara, bicara kacau, enggan untuk bicara,dan menolak orang lain untuk memberikan perawatan atau terlibat dalam rehabilitasi.

H. Prioritas keperawatan pre dan post operasi
PREOPERASI
1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pra dan pascaoperasi dan takut akan kecacatan.
Batasan Karakteristik : Mengungkapkan keluhan khusus, merasa tidak mampu, meminta informasi, mengungkapkan kurang mengerti dan gelisah, menolak operasi.
Goal : Cemas berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka, melaporkan berkurangnya cemas dan takut, mengungkapkan mengerti tentang pre dan posoprasi, secara verbal mengemukakan menyadari terhadap apa yang diinginkannya yaitu menyesuaikan diri terhadap perubahan fisiknya.
Rencana Tindakan :
1. Jelaskan apa yang terjadi selama periode praoperasi dan pascaoperasi, termasuk tes laboratorium praoperasi, persiapan kulit, alasan status puasa,obat-obatan praoperasi,obat-obatan posoperasi, tinggal di ruang pemulihan, dan program paskaoprasi. Informasikan pada klien obat nyeri tersedia bila diperlukan untuk mengontrol nyeri.Rasional pengetahuan tentang apa yang diperkirakan membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerjasama pasien.
2. Jika laringektomi total akan dilakukan, konsultasikan dulu dengan pasien dan dokter untuk mendapatkan kunjungan dari anggota klub laringektomi.Atur waktu untuk berdiskusi dengan terapi tentang alternatif metoda-metoda untuk rehabilitasi suara.Rasional mengetahui apa yang diharapkan dan melihat hasil yang sukses membantu menurunkan kecemasan dan memungkinkan pasien berpikir realistik.
3. Izinkan pasien untuk mengetahui keadaan pascaoperasi : satu atau dua hari akan dirawat di UPI sebelum kembali ke ruangan semula, mungkin ruangan penyakit dalam atau ruangan bedah.Mungkin saja akan dipasang NGT. Pemberian makan per sonde diperlukan sampai beberapa minggu setelah pulang hingga insisi luka sembuh dan mampu untuk menelan (jika operasi secara radikal di leher dilaksanakan).Alat bantu jalan napas buatan (seperti trakeostomi atau selang laringektomi) mungkin akan terpasang hingga pembengkakan dapat diatasi.Manset trakeostomi atau selang T akan terpasang di jalan napas buatan, untuk pemberian oksigen yang telah dilembabkan atau memberikan udara dengan tekanan tertentu. Rasional pengetahuan tentang apa yang diharapkan dari intervensi bedah membantu menurunkan kecemasan dan memungkinkan pasien untuk memikirkan tujuan yang realistik.
4. Jika akan dilakukan laringektomi horizontal atau supraglotik laringektomi, ajarkan pasien dan latih cara-cara menelan sebagai berikut:
Ketika makan duduk dan tegak lurus ke depan dengan kepala fleksi, letakan porsi kecil makanan di bagian belakang dekat tenggorok, tarik napas panjang dan tahan (ini akan mendorong pita suara bersamaan dengan menutupnya jalan masuk ke trakea), menelan dengan menggunakan gerakan menelan,batukan dan menelan kembali untuk memastikan tidak ada makanan yang tertinggal di tenggorok. Rasional karena epiglotis sudah diangkat pada jenis laringektomi seperti ini, aspirasi karena makanan per oral merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Belajar bagaimana beradaptasi dengan perubahan fisiologik dapat menjadikan frustrasi dan menyebabkan ansietas.Berlatih secara terus – menerus dapat membantu mempermudah belajar dan beradaptasi terhadap perubahan tersebut
2. Menolak operasi berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur pre dan paskaoperasi, kecemasan, ketakutan akan kecacatan dan ancaman kematian.
Karakteristik data : kurang kerjasama dan menolak untuk dioperasi,menanyakan informasi tentang persiapan pre dan prosedur posoperasi.
Goal : Klien akan bersedia dioperasi.
Kriteria hasil : Mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka, mengatakan mengerti pre dan posoperasi, mengatakan berkurangnya kecemasan, klien dioperasi.
Rencana tindakan :
1. Kaji faktor-faktor yang menyebabkan klien menolak untuk dioperasi.
2. Anjurkan keluarga untuk memberikan suport seperti dukungan spiritual.
3. Direncanakan tindakan sesuai diagnosa keperawatan no.1.
POST OPERASI
1. Mempertahankan jalan napas tetap terbuka, ventilasi adekuat.
2. Membantu pasien dalam mengembangkan metode komunikasi alternatif.
3. Memperbaiki atau mempertahankan integritas kulit.
4. Membuat atau mempertahankan nutrisi adekuat.
5. Memberikan dukungan emosi untuk penerimaan gambaran diri yang terganggu.
6. Memberikan informasi tentang proses penyakit atau prognosis dan pengobatan.
Tujuan Pemulangan
1. Ventilasi atau oksigenasi adekuat untuk kebutuhan individu.
2. Komunikasi dengan efektif.
3. Komplikasi tercegah atau minimal.
4. Memulai untuk mengatasi gambaran diri.
5. Proses penyakit atau prognosis dan program terapi dapat dipahami.

Diagnosa Keperawatan
I. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pengangkatan sebagian atau seluruh glotis, gangguan kemampuan untuk bernapas, batuk dan menelan, serta sekresi banyak dan kental.
Batasan karakteristik : sulit bernapas, perubahan pada frekwensi atau kedalaman pernapasan,penggunaan otot aksesori pernapasan, bunyi napas tidak normal,sianosis.
Goal : Klien akan mempertahankan jalan napas tetap terbuka.
Kriteria hasil : bunyi napas bersih dan jelas, tidak sesak, tidak sianosis,frekwensi napas normal.
Rencana tindakan :
Mandiri
1. Awasi frekwensi atau kedalaman pernapasan.Auskultasi bunyi napas. Selidiki kegelisahan, dispnea, dan sianosis. Rasional perubahan pada pernapasan, adanya ronki,mengi,diduga adanya retensi sekret.
2. Tinggikan kepala 30-45 derajat. Rasional memudahkan drainase sekret, kerja pernapasan dan ekspansi paru.
3. Dorong menelan bila pasien mampu. Rasional mencegah pengumpulan sekret oral menurunkan resiko aspirasi. Catatan : menelan terganggu bila epiglotis diangkat atau edema paskaoperasi bermakna dan nyeri terjadi.
4. Dorong batuk efektif dan napas dalam. Rasional memobilisasi sekret untuk membersihkan jalan napas dan membantu mencegah komplikasi pernapasan.
5. Hisap selang laringektomi atau trakeotomi, oral dan rongga nasal. Catat jumlah, warna dan konsistensi sekret. Rasional mencegah sekresi menyumbat jalan napas, khususnya bila kemampuan menelan terganggu dan pasien tidak dapat meniup lewat hidung.
6. Observasi jaringan sekitar selang terhadap adanya perdarahan. Ubah posisi pasien untuk memeriksa adanya pengumpulan darah dibelakang leher atau balutan posterior.Rasional sedikit jumlah perembesan mungkin terjadi. Namun perdarahan terus-menerus atau timbulnya perdarahan tiba-tiba yang tidak terkontrol dan menunjukkan sulit bernapas secara tiba-tiba.
7. Ganti selang atau kanul sesuai indikasi. Rasional mencegah akumulasi sekret dan perlengketan mukosa tebal dari obstruksi jalan napas. Catatan : ini penyebab umum distres pernapasan atau henti napas pada paskaoperasi.
Kolaborasi
8. Berikan humidifikasi tambahan, contoh tekanan udara atau oksigen dan peningkatan masukan cairan.Rasional fisiologi normal ( hidung) berarti menyaring atau melembabkan udara yang lewat.Tambahan kelembaban menurunkan mengerasnya mukosa dan memudahkan batuk atau penghisapan sekret melalui stoma.
9. Awasi seri GDA atau nadi oksimetri, foto dada. Rasional pengumpulan sekret atau adanya ateletaksis dapat menimbulkan pneumonia yang memerlukan tindakan terapi lebih agresif.
II. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan defisit anatomi (pengangkatan batang suara) dan hambatan fisik (selang trakeostomi).
Karakteristik data :Ketidakmampuan berbicara, perubahan pada karakteristik suara.
Goal : Komunikasi klien akan efektif .
Kriteria hasil : Mengidentifikasi atau merencanakan pilihan metode berbicara yang tepat setelah sembuh.
Rencana tindakan :
Mandiri
1. Kaji atau diskusikan praoperasi mengapa bicara dan bernapas terganggu,gunakan gambaran anatomik atau model untuk membantu penjelasan.Rasional untuk mengurangi rasa takut pada klien.
2. Tentukan apakah pasien mempunyai gangguan komunikasi lain seperti pendengaran dan penglihatan.Rasional adanya masalah lain mempengaruhi rencana untuk pilihan komunikasi.
3. Berikan pilihan cara komunikasi yang tepat bagi kebutuhan pasien misalnya papan dan pensil, papan alfabet atau gambar, dan bahasa isyarat.Rasional memungkingkan pasien untuk menyatakan kebutuhan atau masalah. Catatan : posisi IV pada tangan atau pergelangan dapat membatasi kemampuan untuk menulis atau membuat tanda.
4. Berikan waktu yang cukup untuk komunikasi.Rasional kehilangan bicara dan stres menganggu komunikasi dan menyebabkan frustrasi dan hambatan ekspresi, khususnya bila perawat terlihat terlalu sibuk atau bekerja.
5. Berikan komunikasi non verbal, contoh sentuhan dan gerak fisik. Rasional mengkomunikasikan masalah dan memenuhi kebutuhan kontak dengan orang lain.
6. Dorong komunikasi terus-menerus dengan dunia luar contoh koran,TV, radio dan kalender. Rasional mempertahankan kontak dengan pola hidup normal dan melanjutkan komunikasi dengan cara lain.
7. Beritahu kehilangan bicara sementara setelah laringektomi sebagian dan atau tergantung pada tersedianya alat bantu suara. Rasional memberikan dorongan dan harapan untuk masa depan dengan memikirkan pilihan arti komunikasi dan bicara tersedia dmungkin.
8. Ingatkan pasien untuk tidak bersuara sampai dokter memberi izin.Rasional meningkatkan penyembuhan pita suara dan membatasi potensi disfungsi pita permanen.
9. Atur pertemuan dengan orang lain yang mempunyai pengalaman prosedur ini dengan tepat. Rasional memberikan model peran, meningkatkan motivasi untuk pemecahan masalah dan mempelajari cara baru untuk berkomunikasi.
Kolaborasi
10. Konsul dengan anggota tim kesehatan yang tepat atau terapis atau agen rehabilitasi (contoh patologis wicara, pelayanan sosial, kelompok laringektomi) selama rehabilitasi dasar dirumah sakit sesuai sumber komunikasi (bila ada). Rasional Kemampuan untuk menggunakan pilihan suara dan metode bicara (contoh bicara esofageal) sangat bervariasi, tergantung pada luasnya prosedur pembedahan, usia pasien, dan motivasi untuk kembali ke hidup aktif. Waktu rehabilitasi memerlukan waktu panjang dan memerlukan sumber dukungan untuk proses belajar.
III. Kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan bedah pengangkatan, radiasi atau agen kemoterapi, gangguan sirkulasi atau suplai darah,pembentukan udema dan pengumpulan atau drainase sekret terus-menerus.
Karakteristik data : kerusakan permukaan kulit atau jaringan, kerusakan lapisan kulit atau jaringan.
Goal : Menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi.
Kriteria hasil : integritas jaringan dan kulit sembuh tanpa komplikasi
Rencana tindakan :
1. Kaji warna kulit, suhu dan pengisian kapiler pada area operasi dan tandur kulit.Rasional kulit harus berwarna merah muda atau mirip dengan warna kulit sekitarnya. Sianosis dan pengisian lambat dapat menunjukkan kongesti vena, yang dapat menimbulkan iskemia atau nekrosis jaringan.
2. Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat. Awasi edema wajah (biasanya meningkat pada hari ketiga-kelima pascaoperasi).Rasional meminimalkan kongesti jaringan paskaoperasi dan edema sehubungan dengan eksisi saluran limfe.
3. Lindungi lembaran kulit dan jahitan dari tegangan atau tekanan. Berkan bantal atau gulungan dan anjurkan pasien untuk menyokong kepala atau leher selama aktivitas. Rasional tekanan dari selang dan plester trakeostomi atau tegangan pada jahitan dapat menggangu sirkulasi atau menyebabkan cedera jaringan.
4. Awasi drainase berdarah dari sisi operasi, jahitan dan drein.Rasional drainase berdarah biasanya tetap sedikit setelah 24 jam pertama. Perdarahan terus-menerus menunjukkan masalah yang memerlukan perhatian medik.
5. Catat atau laporkan adanya drainase seperti susu. Rasional drainase seperti susu menunjukkan kebocoran duktus limfe torakal (dapat menyebabkan kekurangan cairan tubuh dan elektrolit).Kebocoran ini dapat sembuh spontan atau memerlukan penutupan bedah.
6. Ganti balutan sesuai indikasi bila digunakan. Rasional balutan basah meningkatkan resiko kerusakan jaringan atau infeksi. Catatan : balutan tekan tidak digunakan diatas lembaran kulit karena suplai darah mudah dipengaruhi.
7. Bersihkan insisi dengan cairan garam faal steril dan peroksida (campuran 1 : 1) setelah balutan diangkat. Rasional mencegah pembetukan kerak , yang dapat menjebak drainase purulen, merusak tepi kulit, dan meningkatkan ukuran luka. Peroksida tidak banyak digunakan karena dapat membakar tepi dan menggangu penyembuhan.
8. Bersihka sekitar stoma dan selang bila dipasang serta hindari sabun dan alkohol.Tunjukkan pada pasien bagaimana melakukan perawatan stoma atau selang sendiri dalam membersihkan dengan air bersih dan peroksida, menggunakan kain bukan tisu atau katun. Rasional mempertahankan area bersih meningkatkan penyembuhan dan kenyamanan. Sabun dan agen kering lainnya dapat menimbulkan iritasi stoma dan kemungkinan inflamasi.Bahan lain selain kain dapat meninggalkan serat pada stoma yang dapat mengiritasi atau terhisap ke paru.
Kolaborasi
9. Berikan antibiotik oral, topikal dan IV sesuai indikasi. Rasional mencegah atau mengontrol infeksi.
IV. Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan dehidrasi, kebersihan oral tidak adekuat, kanker oral, penurunan produksi saliva sekunder terhadap radiasi atau prosedur pembedahan dan defisit nutrisi.
Karakteristik data : Xerostomia ( mulut kering ), ketidaknyamanan mulut, saliva kental atau banyak, penurunan produksi saliva, lidah kering,pecah dan kotor,bibir inflamasi, tidak ada gigi.
Goal : menunjukkan membran mukosa oral baik atau integritas membran mukosa baik.
Kriteria Hasil : mulut lembab atau tidak kering, mulut terasa segar, lidah normal, bersih dan tidak pecah, tidak ada tanda inflamasi pada bibir.
Rencana tindakan :
Mandiri
1. Inspeksi rongga oral dan perhatikan perubahan pada saliva.Rasional kerusakan pada kelenjar saliva dapat menurunkan produksi saliva, mengakibatkan mulut kering. Penumpukan dan pengaliran saliva dapat terjadi karena penurunan kemampuan menelan atau nyeri tenggorok dan mulut.
2. Perhatikan perubahan pada lidah, bibir, geligi dan gusi serta membran mukosa. Rasional pembedahan meliputi reseksi parsial dari lidah, platum lunak, dan faring. Pasien akan mengalami penurunan sensasi dan gerakan lidah, dengan kesulitan menelan dan peningkatan resiko aspirasi sekresi, serta potensial hemoragi. Pembedahan dapat mengankat bagian bibir mengakibatkan pengaliran saliva tidak terkontrol. Geligi mungkin tidak utuh ( pembedahan ) atau mungkin kondisinya buruk karena malnutrisi dan terapi kimia. Gusi juga dapat terinflamasi karena higiene yang buruk, riwayat lama dari merokok atau mengunyah tembakau atau terapi kimia. Membran mukosa mungkin sangat kering, ulserasi,eritema,dan edema.
3. Hisapan rongga oral secara perlahan atau sering. Biarkan pasien melakukan pengisapan sendiri bila mungkin atau menggunakan kasa untuk mengalirkan sekresi. Rasional saliva mengandung enzim pencernaan yang mungkin bersifat erosif pada jaringan yang terpajan. Karena pengalirannya konstan, pasien dapat meningkatkan kenyamanan sendiri dan meningkatkan higiene oral.
4. Tunjukkan pasien bagaimana menyikat bagian dalam mulut, platum, lidah dan geligi dengan sering. Rasional menurunkan bakteri dan resiko infeksi, meningkatkan penyembuhan jaringan dan kenyamanan.
5. Berikan pelumas pada bibir; berikan irigasi oral sesuai indikasi. Rasional mengatasi efek kekeringan dari tindakan terapeutik; menghilangkan sifat erosif dari sekresi.
V. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, pembengkakan jaringan,adanya selang nasogastrik atau orogastrik.
Karakteristik data : Ketidaknyamanan pada area bedah atau nyeri karena menelan, nyeri wajah, perilaku distraksi, gelisah, perilaku berhati-hati.
Goal : Nyeri klien akan berkurang atau hilang.
Kriteria hasil : klien mengatakan nyeri hilang, tidak gelisah, rileks dan ekpresi wajah ceria.
Rencana tindakan :
1. Sokong kepala dan leher dengan bantal.Tunjukkan pada pasienbagaimana menyokong leher selama aktivitas.Rasional kelemahan otot diakibatkan oleh reseksi otot dan saraf pada struktur leher dan atau bahu. Kurang sokongan meningkatkan ketidaknyamanan dan mengakibatkan cedera pada area jahitan.
2. Dorong pasien untuk mengeluarkan saliva atau penghisap mulut dengan hati-hati bila tidak mampu menelan. Rasional menelan menyebabkan aktivitas otot yang dapat menimbulkan nyeri karena edema atau regangan jahitan.
3. Selidiki perubahan karakteristik nyeri, periksa mulut, jahitan tenggorok untuk trauma baru.Rasional dapat menunjukkan terjadinya komplikasi yang memerlukan evaluasi lanjut atau intervensi.Jaringan terinflamasi dan kongesti dapat dengan mudah mengalami trauma dengan penghisapan kateter dan selang makanan.
4. Catat indikator non verbal dan respon automatik terhadap nyeri. Evaluasi efek analgesik. Rasional alat menentukan adanya nyeri dan keefektifan obat.
5. Anjurkan penggunaan perilaku manajemen stres, contoh teknik relaksasi, bimbingan imajinasi. Rasional meningkatkan rasa sehat, dapat menurunkan kebutuhan analgesik dan meningkatkan penyembuhan.
6. Kolaborasi dengan pemberian analgesik, contoh codein, ASA, dan Darvon sesuai indikasi. Rasional derajat nyeri sehubungan dengan luas dan dampak psikologi pembedahan sesuai dengan kondisi tubuh.Diharapkan dapat menurunkan atau menghilangkan nyeri.
VI. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan jenis masukan makanan sementara atau permanen, gangguan mekanisme umpan balik keinginan makan, rasa, dan bau karena perubahan pembedahan atau struktur, radiasi atau kemoterapi.
Karakteristik data : tidak adekuatnya masukan makanan,ketidakmampuan mencerna makanan, menolak makan, kurang tertarik pada makanan,laporan gangguan sensasi pengecap, penurunan berat badan, kelemahan otot yang diperlukan untuk menelan atau mengunyah.
Goal : Klien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil : Membuat pilihan diit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu, menunjukkan peningkatan BB dan penyembuhan jaringan atau insisi sesuai waktunya.
Rencana tindakan :
1. Auskultasi bunyi usus. Rasional makan dimulai hanya setelah bunyi usus membik setelah operasi.
2. Pertahankan selang makan, contoh periksa letak selang : dengan mendorongkan air hangat sesuai indikasi. Rasional selang dimasukan pada pembedahan dan biasanya dijahit.Awalnya selang digabungkan dengan penghisap untuk menurunkan mual dan muntah. Dorongan air untuk mempertahankan kepatenan selang.
3. Ajarkan pasien atau orang terdekat teknik makan sendiri, contoh ujung spuit, kantong dan metode corong, menghancurkan makanan bila pasien akan pulang dengan selang makanan. Yakinkan pasien dan orang terdekat mampu melakukan prosedur ini sebelum pulang dan bahwa makanan tepat dan alat tersedia di rumah. Rasional membantu meningkatkan keberhasilan nutrisi dan mempertahankan martabat orang dewasa yang saat ini terpaksa tergantung pada orang lain untuk kebutuhan sangat mendasar pada penyediaan makanan.
4. Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai dengan toleransi. Catat tanda kepenuhan gaster, regurgitasi dan diare.Rasional kandungan makanan dapat mengakibatkab ketidaktoleransian GI, memerlukan perubahan pada kecepatan atau tipe formula.
5. Berikan diet nutrisi seimbang (misalnya semikental atau makanan halus) atau makanan selang (contoh makanan dihancurkan atau sediaan yang dijual) sesuai indikasi. Rasional macam-macam jenis makanan dapat dibuat untuk tambahan atau batasan faktor tertentu, seperti lemak dan gula atau memberikan makanan yang disediakan pasien.
VII. Gangguan citra diri berhubungan dengan kehilangan suara,perubahan anatomi wajah dan leher.
Karakteristik data :perasaan negatif tentang citra diri, perubahan dalam keterlibatan sosial, ansietas, depresi, kurang kontak mata.
Goal : Mengidentifikasi perasaan dan metode koping untuk persepsi negatif pada diri sendiri.
Kriteria hasil : menunjukkan adaptasi awal terhadap perubahan tubuh sebagai bukti dengan partisipasi aktivitas perawatan diri dan interaksi positip dengan orang lain.Berkomunikasi dengan orang terdekat tentang perubahan peran yang telah terjadi.Mulai mengembangkan rencana untuk perubahan pola hidup. Berpartisipasi dalam tim sebagai upaya melaksanakan rehabilitasi.
Rencana tindakan :
1. Diskusikan arti kehilangan atau perubahan dengan pasien, identifikasi persepsi situasi atau harapan yang akan datang.Rasional alat dalam mengidentifikasi atau mengartikan masalah untuk memfokuskan perhatian dan intervensi secara konstruktif.
2. Catat bahasa tubuh non verbal, perilaku negatif atau bicara sendiri. Kaji pengrusakan diri atau perilaku bunuh diri. Rasional dapat menunjukkan depresi atau keputusasaan, kebutuhan untuk pengkajian lanjut atau intervensi lebih intensif.
3. Catat reaksi emosi, contoh kehilangan, depresi, marah. Rasional pasien dapat mengalami depresi cepat setelah pembedahan atau reaksi syok dan menyangkal. Penerimaan perubahan tidak dapat dipaksakan dan proses kehilangan membutuhkan waktu untuk membaik.
4. Susun batasan pada perilaku maladaptif, bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positip yang akan membaik. Rasional penolakan dapat mengakibatkan penurunan harga diri dan mempengaruhi penerimaan gambaran diri yang baru.
5. Kolaboratif dengan merujuk pasien atau orang terdekat ke sumber pendukung, contoh ahli terapi psikologis, pekerja sosial, konseling keluarga. Rasional pendekatan menyeluruh diperlukan untuk membantu pasien menghadapi rehabilitasi dan kesehatan. Keluarga memerlukan bantuan dalam pemahaman proses yang pasien lalui dan membantu mereka dalam emosi mereka. Tujuannya adalah memampukan mereka untuk melawan kecendrungan untuk menolak dari atau isolasi pasien dari kontak sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta.
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom FK Unair, Surabaya.
Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan
Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta
Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (1998). Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta.

AsKep Otitis Media Acut

0

A. Pengertian
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).
Yang paling sering terlihat ialah :
1. Otitis media viral akut
2. Otitis media bakterial akut
3. Otitis media nekrotik akut

B. Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.

C. Patofisiologi
Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.
2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data yang muncul saat pengkajian:
a. Sakit telinga/nyeri
b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
c. Tinitus
d. Perasaan penuh pada telinga
e. Suara bergema dari suara sendiri
f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga
h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
l. Reflek kejut
m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
n. Tipe warna 2 jumlah cairan
o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
p. Alergi
q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi
2. Fokus Intervensi
1) Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Intervensi:
(a) Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.
(b) Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.
(c) Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
(d) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi:
(a) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
(b) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme
(c) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
(d) Kolaborasi pemberian antibiotik
Evaluasi: infeksi tidak terjadi
3) Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori
Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi:
(a) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh
(b) Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
(c) Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh
(d) Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka
Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan
OTITIS MEDIA PERFORATA
A. Pengertian
Otitis media perforata (OMP) atau otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau kental, bening atau bernanah.(Kapita selekta kedokteran, 1999)
B. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis antara lain:
1. Gangguan fungsi tuba eustacius yang kronis akibat:
a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis dan berulang
b. Obstruksi anatomik tuba eustacius parsial atau total
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulai atau timpano-sklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah osteomielitis persisten di mastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.
C. Patofisiologi
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada menetap. Keadaan kronis lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
OMP terutama pada masa anak-anak akan terjadi otitis media nekrotikans dapat menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu gendang telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran atropi kemudian kolps ke dalam telinga tengah memberi gambaran optitis media atelektasis.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Audiometrik untuk mengetahui tuli konduktif
2. Foto rontgent untuk mengetahui patologi mastoid
3. Otoskop untuk melihat perforasi membran timpani
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Kaji riwayat infeksi telinga dan pengobatan
b. Kaji drainage telinga, keutuhan membran timpani
c. Kaji penurunan / tuli pendengaran
d. Kaji daerah mastoid
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi efek pembedahan.
b. Resiko penyebaran infeksi berhubungen dengan komplikasi proses pembedahan / penyakit.
c. Gangguan persepsi sensori auditory berhubungan dengan proses penyakit dan efek pembedahan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Meningkatkan kenyamanan
1) Berikan tindakan untuk mengurangi nyeri
§ Beri analgetik
§ Lakukan kompres dingin pada area
§ Atur posisi nyaman
2) Beri sedatif secara hati-hati agar dapat istirahat (kolaborasi)
b. Pencegahan penyebaran infeksi
1) Mengganti balutan pada daerah luka
2) Observasi tanda-tanda vital
3) Beri antibiotik yang disarankan tim medis
4) Awasi terjadinya infeksi
c. Monitor perubahan sensori
1) Catat status pendengaran
2) Kaji pasien yang mengalami vertigo setelah operasi
3) Awasi keadaan yang dapat menyebabkan injury nervus facial
3. Evaluasi
a. Tak ada infeksi lokal atau CNS
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang
c. Dapat mendengar dengan jelas tanpa atau menggunakan alat bantu pendengaran
DAFTAR PUSTAKA
1. Donna L. Wong, L.F. Whaley, Nursing Care of Infants and Children, Mosby Year Book.
2. Efiaty Arsyad, S, Nurbaiti Iskandar, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi III, FKUI,1997.
3. Wong Whaley, Clinical Manual of Pediatric Nursing, Mosby Year Book.

AsKep Mioma Uteri

0

A. Pengertian
Myoma Uteri adalah : neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus yang disebut juga dengan Leiomyoma Uteri atau Uterine Fibroid.
Myoma Uteri umumnya terjadi pada usia lebih dari 35 tahun. Dikenal ada dua tempat asal myoma uteri yaitu pada serviks uteri (2 %) dan pada korpus uteri (97%), belum pernah ditemukan myoma uteri terjadi sebelum menarche.

B. Etiologi
Walaupun myoma uteri ditemukan terjadi tanpa penyebab yang pasti, namun dari hasil penelitian Miller dan Lipschlutz dikatakan bahwa myoma uteri terjadi tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat pada “Cell Nest” yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh hormon estrogen.

C. Lokalisasi Mioma Uteri
1. Mioma intramural ; Apabila tumor itu dalam pertumbuhannya tetap tinggal dalam dinding uterus.
2. Mioma Submukosum ; Mioma yang tumbuh ke arah kavum uteri dan menonjol dalam kavum itu.
3. Mioma Subserosum ; Mioma yang tumbuh ke arah luar dan menonjol pada permukaan uterus.

D. Komplikasi
1. Pertumbuhan leimiosarkoma.
Mioma dicurigai sebagai sarcoma bila selama beberapa tahun tidak membesar, sekonyong – konyong menjadi besar apabila hal itu terjadi sesudah menopause
2. Torsi (putaran tangkai)
Ada kalanya tangkai pada mioma uteri subserosum mengalami putaran. Kalau proses ini terjadi mendadak, tumor akan mengalami gangguan sirkulasi akut dengan nekrosis jaringan dan akan tampak gambaran klinik dari abdomenakut.
3. Nekrosis dan Infeksi
Pada myoma subserosum yang menjadi polip, ujung tumor, kadang-kadang dapat melalui kanalis servikalis dan dilahirkan dari vagina, dalam hal ini kemungkinan gangguan situasi dengan akibat nekrosis dan infeksi sekunder.
Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
(Dikaitkan dengan patofisiologi, insiden dan prognosis penyakit)























E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb: turun, Albumin : turun, Lekosit : turun / meningkat, Eritrosit : turun
2. USG : terlihat massa pada daerah uterus.
3. Vaginal Toucher : didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa, konsistensi dan ukurannya.
4. Sitologi : menentukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma tersebut.,
5. Rontgen : untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang dapat menghambat tindakan operasi.
6. ECG : Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat mempengaruhi tindakan operasi.

F. Cara Penanganan Mioma Uteri
Indikasi mioma uteri yang diangkat adalah mioma uteri subserosum bertangkai. Pada mioma uteri yang masih kecil khususnya pada penderita yang mendekati masa menopause tidak diperlukan pengobatan, cukup dilakukan pemeriksaan pelvic secara rutin tiap tiga bulan atau enam bulan. Adapun cara penanganan pada myoma uteri yang perlu diangkat adalah dengan pengobatan operatif diantaranya yaitu dengan histerektomi dan umumnya dilakukan histerektomi total abdominal. Tindakan histerektomi total tersebut dikenal dengan nama Total Abdominal Histerektomy and Bilateral Salphingo Oophorectomy (TAH-BSO). TAH–BSO adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus, serviks, kedua tuba falofii dan ovarium dengan melakukan insisi pada dinding, perut pada malignan neoplasmatic desease, leymyoma dan chronic endrometriosis (Tucker, Susan Martin, 1998).

G. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan neoplasm pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot
3. Ganguan konsep diri berhubungan dengan kekawatiran tentang ketidakmampuan memiliki anak, perubahan dalam masalah kewanitaan, akibat pada hubungan seksual.
4. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan terjadinya perdarahan yang berulang-ulang.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

H. Perencanaan keperawatan.
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil Intervensi Rasional
Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot dan system saraf akibat penyempitan kanalis servikalis oleh myoma Klien dapat mengontrol nyerinya dengan criteria hasil mampu mengidentifikasi cara mengurangi nyeri, mengungkapkan keinginan untuk mengontrol nyerinya. 1. Observasi adanya nyeri dan tingkat nyeri.
2. Ajarkan dan catat tipe nyeri serta tindakah untuk mengatasi nyeri
3. Ajarkan teknik relaksasi

4. Anjurkan untuk menggunakan kompres hangat
5. Kolaborasi pemberian analgesik Memudahkan tindakan keperawatan

Meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri yang dialaminya.
Membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan klien
Meningkatkan kenyamanan klien

Mengurangi nyeri
Gangguan eliminasi urine (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan neoplasma pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik. Pola eliminasi urine ibu kembali normal dengan criteria hasil ibu memahami terjadinya retensi urine, bersedia melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan retensi urine. 1. Catat pola miksi dan monitor pengeluaran urine
2. Lakukan palpasi pada kandung kemih, observasi adanya ketidaknyamanan dan rasa nyeri.
3. Anjurkan klien untuk merangsang miksi dengan pemberian air hangat, mengatur posisi, mengalirkan air keran. Melihat perubahan pola eliminasi klien

Menentukan tingkat nyeri yang dirasakan oleh klien

Mencegah terjadinya retensi urine
Ganguan konsep diri berhubungan dengan kekawatiran tentang ketidakmampuan memiliki anak, perubahan dalam masalah kewanitaan, akibat pada hubungan seksual.
Konsep diri klien tidak mengalami gangguan dengan criteria hasil menerima keadaan dirinya, menyatakan bersedia untuk dilakukan tindakan termasuk tindakan pembedahan 1. Beritahu klien tentang siapa saja yang bisa dilakukan histerektomi dan anjurkan klien untuk mengekpresikan perasaannya tentang histerektomi
2. Kaji apakah klien mempunyai konsep diri yang negatif.
3. Memotivasi klien untuk mengungkapkan perasaannya mengenai tindakan pembedahan dan pengaruhnya terhadap diri klien
4. Ciptakan lingkungan atau suasana yang terbuka bagi klien untuk membicarakan keluhan-keluhannya. Mengurangi kecemasan dan meningatkan harga diri klien


Identifikasi kekuatan dan kelemahan klien

Mengurangi kecemasan



Meningkatkan harga diri klien dan berperan aktif dalam perencanaan perawatan bagi diri klien

Daftar Pustaka

Bagian Obstetri & Ginekologi FK. Unpad. 1993. Ginekologi. Elstar. Bandung

Carpenito, Lynda Juall, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta

Galle, Danielle. Charette, Jane.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC. Jakarta

Hartono, Poedjo. 2000. Kanker Serviks/Leher Rahim & Masalah Skrining di Indonesia. Kursus Pra kongres KOGI XI Denpasar. Mimbar Vol.5 No.2 Mei 2001

…………….2001. Diktat Kuliah Ilmu Keperawatan Maternitas TA : 2000/01 PSIK.FK. Unair, Surabaya

Saifidin, Abdul Bari,dkk. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo & JNKKR-POGI. Jakarta

AsKep Ekstraksi vakum

0

PENGERTIAN

Ekstraksi vakum merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karena itu, kerjasama dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan faktor yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan ke arah yang sama. Tarikan pada kulit kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman yang dihasilkan dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik akan memegang kulit kepala yang akibat tekanan vakum, menjadi kaput artifisial. Mangkuk dihubungkan dengan tuas penarik (yang dipegang oleh penolong persalinan), melalui seutas rantai. Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan interauterin (oleh kontraksi) tekanan ekspresi eksternal (tenaga mengedan) dan gaya tarik (ekstraksi vakum).

INDIKASI
○Kala II lama dengan presentasi kepala belakang/verteks.
KONTRA INDIKASI
○Malpresentasi (dahi, puncak, kepala, muka, bokong).
○Panggul sempit (disproporsi kepala-panggul).
SYARAT KHUSUS
○Pembukaan lengkap atau hampir lengkap
○Presentasi kepala
○Cukup bulan (tidak prematur)
○Tidak ada kesempitan panggul
○Anak hidup dan tidak gawat janin
○Penurunan H III/III+ (Puskesmas H IV / dasar panggul)
○Kontraksi baik
○Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan
EKSTRAKSI VAKUM
Kaji ulang dengan syarat-syarat:
Presentasi belakang kepala/verteks;
Janin cukup bulan;
Pembukaan lengkap;
Kepala di H III-IV atau 1/5 – 2/5.
Persetujuan tindakan medis.
Berikan dukungan emosional. Jika perlu, lakukan blok pudendal (hal-75).
Persiapan alat-alat sebelum tindakan: untuk pasien, penolong (operator dan asisten), dan bayi.
Pencegahan infeksi sebelum tindakan.
Periksa dalam untuk menilai posisi kepala bayi dengan meraba sutura sagitalis dan ubun-ubun kecil/posterior (Gambar38.2)
Masukkan mangkok vakum melalui introitus vagina secara miring dan pasang pada kepala bayi dengan titik tengah mangkokpada sutura sagitalis ± 1 cm anterior dari ubun-ubun kecil (Gambar 38.3)
Nilai apakah diperlukan episiotomi. Jika episiotomi tidak diperlukan pada saat pemasangan mangkok, mungkin diperlukan pada saat perineum meregang, ketikakepala akan lahir.
Pastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit.
Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau negatif – 0,2 kg/cm2 (Malmstrom), dan periksa aplikasi mangkok (minta asisten menurunkan tekanan secara bertahap).
Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif – 0,6 kg/ cm2 (Malmstrom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.
Periksa adakah jaringan vagina yang terjepit. Jika ada, turunkan tekanan dan lepaskan jaringan yang terjepit tesebut.
Setelah mencapai tekanan negatif yang maksimal, lakukan traksi searah dengan sumbu panggul dan tegak lurus pada mangkok.
Tarikan dilakukann pada puncak his (Gambar 38.4) dengan mengikuti sumbu jalan lahir. Pada saat penarikan(pada puncak his) minta pasien meneran. Posisi tangan: tangan luar menarik pengait, ibu jari tangan dalam pada mangkok, telunjuk dan jari tengah pada kulit kepala bayi.
Tarikan bisa diulangi sampai 3 kali saja.
Lakukan pemeriksaan diantara kontraksi:
Denyut jantung janin,
Aplikasi mangkok
Saat suboksiput sudah berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga lahirlah berturut-turut dahi, muka, dan dagu. Segera lepaskan mangkok vakum dengan membuka tekanan negatif.
Selanjutnya kelahiran bayi dan plasenta dilakukan seperti pertolongan persalinan normal.
EKSTRAKSI VAKUM
LANGKAH KLINIK
A.PERSETUJUAN TINDAKAN
B.PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
I.Pasien
1.Cairan dan slang infus sudah terpasang, Perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan dengan air dan sabun.
2.Uji fungsi dan perlengkapan perlatan ekstraksi vakum.
3.Siapkan alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah.
4.Medikamentosa
a.Oksigen
b.Ergometrin
c.Prokain 1%
5.Larutkan antiseptik (Povidon lodin 10%)
6.Oksigen dengan regulator
7.Instrumen
a.Set partus : 1 set
b.Vakum ekstraktor : 1 setc. Klem ovum : 2
c.Cunam tampon : 1
d.Tabung 5 ml dan jarum suntik No. 23 (sekali pakai) : 2
e.Spekulum Sim’s atau L dan kateter karet : 2 dan 1
II.Penolong (operator dan asisten)
1.Baju kamar tindakan, pelapis plastik, masker dan kacamata pelindung : 3 set
2.Sarung tangan DTT/steril : 4 pasang
3.Alas kaki (sepatu/”boot” karet) : 3 pasang
4.Instrumen
a.Lampu sorot : 1
b.Monoaural stetoskop dan stetoskop, tensimeter : 1
III.Bayi
1.Instrumen
a.Penghisap lendir dan sudep/penekan lidah : 1 set
b.Kain penyeka muka dan badan : 2
c.Meja bersih, kering dan hangat (untuk tindakan) : 1
d.Inkubator : 1 set
e.Pemotong dan pengikat tali pusat : 1 set
f.Tabung 20 ml dan jarum suntik No. 23/ insulin (sekali pakai) : 2
g.Kateter intravena atau jarum kupu-kupu : 2
h.Popok dan selimut : 1
i.Alat resusitasi bayi
2.Medikamentosa
a.Larutan Bikarbonas Natrikus 7,5% atau 8,4%
b.Nalokson (Narkan) 0,01 mg/kg BB
c.Epinefrin 0,01%
d.Antibiotika
e.Akuabidestilata dan Dekstrose 10%
3.Oksigen dengan regulator
C.PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN
D.TINDAKAN
1.Instruksikan asisten untuk menyipakan ekstraktor vakum dan pastikan petugas dan persiapan untuk menolong bayi telah tersedia.
2.Lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan terpenuhinya persyaratan ekstraksi vakum.
▪Bila penurunan kepala di atas H IV (0/5), rujuk ke Rumah Sakit.
3.Masukkan tangan ke dalam wadah yang mengandung larutan klorin 0,5%, bersihkan darah dan cairan tubuh yang melekat pada sarung tangan, lepaskan secara terbalik dan rendam dalam larutan tersebut.
4.Pakai sarung tangan DTT/Steril yang baru.
E.PEMASANGAN MANGKOK VAKUM
1.Masukkan mangkok vakum melalui introitus, pasangkan pada kepala bayi (perhatikan agar tepi mangkok tidak terpasang pada bagian yang tidak rata/moulage di daerah ubun-ubun kecil).
2.Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan dengan jari tengah dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di sekeliling tepi mangkok untuk memastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit di antara mangkok dan kepala.
3.Setelah hasil pemeriksaan ternyata baik, keluarkan jari tanan pemeriksaan dan tangan penahan mangkok tetap pada posisinya.
4.Instruksikan asisten untuk menurunkan tekanan (membuat vakum dalam mangkok) secra bertahap.
5.Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau -2 (Malmstroom) setelah 2 menit, naikkan hingga skala 60 (silastik) atau -6 (Malmstroom) dan tunggu 2 menit.
▪Ingat : Jangan gunakan tekanan maksumal pada kepala bayi, lebih dari 8 menit.)
6.Sambil menunggu his, jelaskan pada pasien bahwa pada his puncak (fase acme) pasien harus mengedan sekuat dan selama mungkin. Tarik lipat lutut dengan lipat siku agar tekanan abdomen menjadi lebih efektif.
F.PENARIKAN
1.Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara simultan lakukan penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada saat kepala mendorng perineum dan tidak masuk kembali.
2.Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua. Episiotomi pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat kepala mendorong perineum dan tidak masuk kembali.
Bila tarikan ketiga dilakukan dengan benar dan bayi belum lahir, sebaiknya pasien dirujuk (ingat : penatalaksanaan rujukan).
Apabila pada penarikan ternyata mangkuk terlepas hingga dua kali, kondisi ini juga mengharuskan pasien dirujuk.
3.Saat subosiput berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga lahirlah berturut-turut dahi, muka dan dagu.
G.MELAHIRKAN BAYI
1.Kepala bayi dipegang biparietal, gerakkan ke bawah untuk melahirkan bahu depan, kemudian gerakkan ke atas untuk melahirkan bahu belakang, kenudian lahirkan seluruh tubuh bayi.
2.Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali pusat dan serahkan bayi pada petugas bagian anak.
H.LAHIRKAN PLASENTA
1.Suntikkan oksigen, lakukan traksi terkendali, lahirkan plasenta dengan menarik tali pusat dan mendorong uterus ke arah dorsokranial.
2.Periksa kelengkapan plasenta (perhatikan bila terapat bagian-bagian yang lepas atau tidak lengkap).
3.Masukkan plasenta ke dalam tempatnya (hindari percikan darah).
I.EKSPLORASI JALAN LAHIR
1.Masukkan spekulum Sim’s/L atas dan bawah pada vagina.
2.Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau robekan pada dinding vagina di tempat lain.
3.Ambil klem ovum sebanyak 12 buah, lakukan penjepitan secara bergantian ke arah samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan porsio.
4.Bila terjadi robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan dan lanjutkan ke langkah K.
5.Bila dilakukan episiotomi, lanjutkan ke langkah J.
J.PENJAHITAN EPISIOTOMI
1.Pasang penopang bokong (beri alas kain). Suntikan prokain 1% (yang telah disiapkan dalam tabung suntik) pada sisi dalam luka episiotomi (otot, jaringan, submukosa dan subkutis) bagian atas dan bawah.
2.Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan pinset bergigi.
3.Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali pengikat tampondankain penutup perut bawah dengan kocher.
4.Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa secara jelujur bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit secara subkutikuler atau jelujur matras.
5.Tarik tali pengikat tampon vagina secara perlahan-lahan hingga tampon dapat dikeluarkan, kemudian kosongkan kandung kemih.
6.Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang telah diberi larutan antiseptik.
7.Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan episiotomi.
K.DEKONTAMINASI
L.CUCI TANGAN PASCATINDAKAN
M.PERAWATAN PASCATINDAKAN
1.Periksa kembali tanda vital pasien, lakukan tindakan dan beri instruksi lanjut bila diperlukan.
2.Catat kondisi pasien pascatindakan dan buat laporan tindakan pada kolom yang tersedia dalam status pasien.
3.Tegaskan pada petugas yang merawat untuk melaksanakan instruksi pengobatan dan perawatan serta laporkan segera bila pada pemamntauan lanjutan terjadi perubahan-perubahan yang harus diwaspadai.

Pemeriksaan Fisik Jantung

1

Inspeksi

Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam posisi sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita.
Memperhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada penonjolan asimetris yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil. Hipertropi dan dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.
Garis anatomis pada permukaan badan yang penting dalam melakukan pemeriksaan dada adalah:
 Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)
 Garis tengah klavikula (mid clavicular line/MCL)
 Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)
 Garis parasternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)
Mencari pungtum maksimum, Inspirasi dalam dapat mengakibatkan paru-paru menutupi jantung, sehingga pungtum maksimimnya menghilang, suatu variasi yang khususnya ditemukan pada penderita emfisema paru. Oleh kerena itu menghilangnya pungtum maksimum pada inspirasi tidak berarti bahwa jantung tidak bergerak bebas.
Pembesaran ventrikel kiri akan menggeser pungtum maksimum kearah kiri, sehingga akan berada diluar garis midklavikula dan kebawah. Efusi pleura kanan akan memindahkan pungtum maksimum ke aksila kiri sedangkan efusi pleura kiri akan menggeser kekanan. Perlekatan pleura, tumor mediastinum, atelektasis dan pneumotoraks akan menyebabkan terjadi pemindahan yang sama.
Kecepatan denyut jantung juga diperhatikan, meningkat pada berbagai keadaan seperti hipertiroidisme, anemia, demam.

Palpasi

Pada palpasi jantung, telapak tangan diletakkan diatas prekordium dan dilakukan perabaan diatas iktus kordis (apical impulse)
Lokasi point of masksimal impulse , normal terletak pada ruang sela iga (RSI) V kira-kira 1 jari medial dari garis midklavikular (medial dari apeks anatomis). Pada bentuk dada yang panjang dan gepeng, iktus kordis terdapat pada RSI VI medial dari garis midklavikular, sedang pada bentuk dada yang lebih pendek lebar, letak iktus kordis agak ke lateral. Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1-2 cm2
Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi systolic lift, systolic heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba lebih melebar.
Getaranan bising yang ditimbulkan dapat teraba misalnya pada Duktus Arteriosis Persisten (DAP) kecil berupa getaran bising di sela iga kiri sternum.

Pulsasi ventrikel kiri
Pulsasi apeks dapat direkam dengan apikokardiograf. Pulsasi apeks yang melebar teraba seperti menggelombang (apical heaving). Apical heaving tanpa perubahan tempat ke lateral, terjadi misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meningkat akibat stenosis aorta. Apical heaving yang disertai peranjakan tempat ke lateral bawah, terjadi misalnya pada beban diastolik ventrikel kiri yang meningkat akibat insufisiensi katub aorta. Pembesaran ventrikel kiri dapat menyebabkan iktus kordis beranjak ke lateral bawah. Pulsasi apeks kembar terdapat pada aneurisme apikal atau pada kardiomiopati hipertrofi obstruktif.

Pulsasi ventrikel kanan
Area dibawah iga ke III/IV medial dari impuls apikal dekat garis sternal kiri, normal tidak ada pulsasi. Bila ada pulsasi pada area ini, kemungkinan disebabkan oleh kelebihan beban sistolik ventrikel kanan, misalnya pada stenosis pulmonal atau hipertensi pulmonal. Pulsasi yang kuat di daerah epigastrium dibawah prosesus sifoideus menunjukkan kemungkinan adanya hipertropi dan dilatasi ventrikel kanan. Pulsasi abnormal diatas iga ke III kanan menunjukkan kemungkinan adanya aneurisma aorta asendens. Pulsasi sistolik pada interkostal II sebelah kiri pada batas sternum menunjukkan adanya dilatasi arteri pulmonal.

Getar jantung ( Cardiac Trill)
Getar jantung ialah terabanya getaran yang diakibatkan oleh desir aliran darah. Bising jantung adalah desiaran yang terdengar karena aliran darah. Getar jantung di daerah prekordial adalah getaran atau vibrasi yang teraba di daerah prekordial. Getar sistolik (systolic thrill) timbul pada fase sistolik dan teraba bertepatan dengan terabanya impuls apikal. Getar diastolic (diastolic thrill) timbul pada fase diastolik dan teraba sesudah impuls apikal.
Getar sistolik yang panjang pada area mitral yang melebar ke lateral menunjukkan insufisiensi katup mitral. Getar sistolik yang pendek dengan lokasi di daerh mitral dan bersambung kearah aorta menunjukkan adanya stenosis katup aorta. Getar diastolik yang pendek di daerah apeks menunjukkan adanya stenosis mitral. Getar sistolik yang panjang pada area trikuspid menunjukkan adanya insufisiensi tricuspid. Getar sistolik pada area aorta pada lokasi didaerah cekungan suprasternal dan daerah karotis menunjukkan adanya stenosis katup aorta, sedangkan getar diastolik di daerah tersebut menunjukkan adanya insufisiensi aorta yang berat, biasanya getar tersebut lebih keras teraba pada waktu ekspirasi. Getar sistolik pada area pulmonal menunjukkan adanya stenosis katup pulmonal.
Pada gagal jantung kanan getar sistolik pada spatium interkostal ke 3 atau ke 4 linea para sternalis kiri.

Perkusi
Cara perkusi
Batas atau tepi kiri pekak jantung yang normal terletak pada ruang interkostal III/IV pada garis parasternal kiri pekak jantung relatif dan pekak jantung absolut perlu dicari untuk menentukan gambaran besarnya jantung.
Pada kardiomegali, batas pekak jantung melebar kekiri dan ke kanan. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-bawah. Pinggang jantung merupakan batas pekak jantung pada RSI III pada garis parasternal kiri.
Kardiomegali dapat dijumpai pada atlit, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner, infark miokard akut, perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, regurgitasi tricuspid, insufisiensi aorta, ventrikel septal defect sedang, tirotoksikosis, Hipertrofi atrium kiri menyebabkan pinggang jantung merata atau menonjol kearah lateral. Pada hipertrofi ventrikel kanan, batas pekak jantung melebar ke lateral kanan dan/atau ke kiri atas. Pada perikarditis pekat jantung absolut melebar ke kanan dan ke kiri. Pada emfisema paru, pekak jantung mengecil bahkan dapat menghilang pada emfisema paru yang berat, sehingga batas jantung dalam keadaan tersebut sukar ditentukan.

Auskultasi
Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan mendengar bunyi akibat vibrasi (getaran suara) yang ditimbulkan karena kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian hemodemanik darah dalam jantung.
Alat yang digunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chespiece.
Macam-macam ches piece yaitu bowel type dengan membran, digunakan terutama untuk mendengar bunyi dengan frekuensi nada yang tinggi; bel type, digunakan untuk mendengar bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah.

Beberapa aspek bunyi yang perlu diperhatikan :
a) Nada berhubungan dengan frekuensi tinggi rendahnya getaran.
b) Kerasnya (intensitas), berhubungan dengan ampitudo gelombang suara.
c) Kualitas bunyi dihubungkan dengan timbre yaitu jumlah nada dasar dengan bermacam-macam jenis vibrasi bunyi yang menjadi komponen-komponen bunyi yang terdengar.
Selain bunyi jantung pada auskultasi dapat juga terdengar bunyi akibat kejadian hemodemanik darah yang dikenal sebagai desiran atau bising jantung (cardiac murmur).

Bunyi jantung
Bunyi jantung utama: BJ, BJ II, BJ III, BJ IV
Bunyi jantung tambahan, dapat berupa bunyi detik ejeksi (ejection click) yaitu bunyi yang terdengar bila ejeksi ventrikel terjadi dengan kekuatan yang lebih besar misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meninggi. Bunyi detak pembukaan katub (opening snap) terdengar bila pembukaan katup mitral terjadi dengan kekuatan yang lebih besar dari normal dan terbukanya sedikit melambat dari biasa, misalnya pada stenosis mitral.

Bunyi jantung utama
Bunyi jantung I ditimbulkan karena kontraksi yang mendadak terjadi pada awal sistolik, meregangnya daun-daun katup mitral dan trikuspid yang mendadak akibat tekanan dalam ventrikel yang meningkat dengan cepat, meregangnya dengan tiba-tiba chordae tendinea yang memfiksasi daun-daun katup yang telah menutup dengan sempurna, dan getaran kolom darah dalam outflow track (jalur keluar) ventrikel kiri dan di dinding pangkal aorta dengan sejumlah darah yang ada didalamnya. Bunyi jantung I terdiri dari komponen mitral dan trikuspidal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas BJ I yaitu:
 Kekuatan dan kecepatan kontraksi otot ventrikel, Makin kuat dan cepat makin keras bunyinya
 Posisi daun katup atrio-ventrikular pada saat sebelum kontraksi ventrikel. Makin dekat terhadap posisi tertutup makin kecil kesempatan akselerasi darah yang keluar dari ventrikel, dan makin pelan terdengarnya BJ I dan sebaliknya makin lebar terbukanya katup atrioventrikuler sebelum kontraksi, makin keras BJ I, karena akselerasi darah dan gerakan katup lebih cepat.
 Jarak jantung terhadap dinding dada. Pada pasien dengan dada kurus BJ lebih keras terdengar dibandingkan pasien gemuk dengan BJ yang terdengar lebih lemah. Demikian juga pada pasien emfisema pulmonum BJ terdengar lebih lemah.
Bunyi jantung I yang mengeras dapat terjadi pada stenosisis mitral,
BJ II ditimbulkan karena vibrasi akibat penutupan katup aorta (komponen aorta), penutupan katup pulmonal (komponen pulmonal), perlambatan aliran yang mendadak dari darah pada akhir ejaksi sistolik, dan benturan balik dari kolom darah pada pangkal aorta yang baru tertutup rapat.
Bunyi jantung II dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten besar, Tetralogi Fallot, stenosis pulmonalis,
Pada gagal jantung kanan suara jantung II pecah dengan lemahnya komponen pulmonal. Pada infark miokard akut bunyi jantung II pecah paradoksal, pada atrial septal depect bunyi jantung II terbelah.
BJ III terdengar karena pengisian ventrikel yang cepat (fase rapid filling). Vibrasi yang ditimbulkan adalah akibat percepatan aliran yang mendadak pada pengisisan ventrikel karena relaksasi aktif ventrikel kiri dan kanan dan segera disusul oleh perlambatan aliran pengisian
Bunyi jantung III dapat dijumpai pada syok kardiogenik, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi
Bunyi jantung IV dapat terdengar bila kontraksi atrium terjadi dengan kekuatan yang lebih besar, misalnya pada keadaan tekanan akhir diastole ventrikel yang meninggi sehingga memerlukan dorongan pengisian yang lebih keras dengan bantuan kontraksi atrium yang lebih kuat.
Bunyi jantung IV dapat dijumpai pada penyakit jantung hipertensif, hipertropi ventrikel kanan, kardiomiopati, angina pectoris, gagal jantung, hipertensi,
Irama derap dapat dijumpai pada penyakit jantung koroner, infark miokard akut, miokarditis, kor pulmonal, kardiomiopati dalatasi, gagal jantung, hipertensi, regurgitasi aorta.

Bunyi jantung tambahan
Bunyi detek ejeksi pada awal sistolik (early sisitolic click). Bunyi ejeksi adalah bunyi dengan nada tinggi yang terdengar karena detak. Hal ini disebabkan karena akselerasi aliran darh yang mendadak pada awal ejeksi ventrikel kiri dan berbarengan dengan terbukanya katup aorta yang terjadi lebih lambat.. keadaan inisering disebabkan karena stenosis aorta atau karena beban sistolik ventrikel kiri yang berlebihan dimana katup aorta terbuka lebih lambat.
Bunyi detak ejeksi pada pertengahan atau akhir sistolik (mid-late systolick klick) adalah bunyi dengan nada tinggi pada fase pertengahan atau akhir sistolik yang disebabkan karena daun-daun katup mitral dan chordae tendinea meregang lebih lambat dan lebih keras. Keadaan ini dapat terjadi pada prolaps katup mitral karena gangguan fungsi muskulus papilaris atau chordae tendinea.
Detak pembukaan katup (opening snap) adalah bunyi yang terdengar sesudah BJ II pada awal fase diastolik karena terbukanya katup mitral yang terlambat dengan kekuatan yang lebih besar yang disebabkan hambatan pada pembukaan katup mitral. Keadaan ini dapat terjadi pada stenosis katup mitral.
Pada stenosis trikuspid pembukaan katup didaera trikuspid.

Bunyi ekstra kardial
Gerakan perikard (pericardial friction rub) terdengar pada fase sistolik dan diastolik akibat gesekan perikardium viseral dan parietal. Bunyi ini dapat ditemukan pada perikarditis.

Bising (desir) jantung (cardiac murmure)
Bising jantung adalah bunyi desiran yang terdengar memanjang yang timbul akibat vibrasi aliran darah turbulen yang abnormal.
Evaluasi desir jantung dilihat dari:
1. Waktu terdengar: pada fase sistolik atau diastolik
Terlebih dahulu tentukan fase siklus jantung pada saat terdengar bising (sistolik atau diastolik) dengan patokan BJ I dan BJ II atau dengan palapasi denyut karotis yang teraba pada awal sistolik.
Bising diastolik dapat dijumpai pada stenosis mitral, regurgitasi aorta, insufisiensi aorta, gagal jantung kanan, stenosis tricuspid yang terdengar pada garis sternal kiri sampai xipoideus, endokarditis infektif, penyakit jantung anemis
Bising sistolik dapat dijumpai pada stenosis aorta, insufisiensi mitral, endokarditis infektif, angina pectoris, stenosis pulmonalis yang terdengar di garis sternal kiri bagian atas, tatralogi fallot,
Bising jantung sistolik terdengar pada fase sistolik, dibedakan:
 Bising jantung awal sistolik: Terdengar mulai pada saat sesudah BJ I dan menempati pase awal sistolik dan berakhir pada pertengahan pase sistilik
 Bising jantung pertengahan sistolik: Terdengar sesudah BJ I dan pada pertengahan fase sisitolik dan berakhir sebelum terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten (DAP) sedang,
 Bising jantung akhir sistolik: Terdengar pada fase akhir sistolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II
Bising ini dapat dijumpai pada sindrom marfan

 Bising jantung pan-sistolik: Mulai terdengar pada saat BJ I dan menempati seluruh fase sisitolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal defect , regurgitasi trikuspid

Bising jantung diastolik terdengar pada fase diastolik, dibedakam:
 Bising jantung awal: terdengar mulai saat BJ II menempati fase awal diastolik dan biasanya menghilang pada pertengahan diastolik.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect
 Bising jantung pertengahan: terdengar sesaat sesudah terdengar BJ II dan biasanya berakhir sebelum BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect, stenosis mitral, Duktus Arteriosus Persisten (DAP) yang berat
 Bising jantung akhir diastolik atau presistolik: terdengar pada fase akhir diastolik dan berakhir pada saat terdengar BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada stenosis mitral,
 Bising jantung bersambungan: mulai terdengar paada fase sistolik dan tanpa interupsi melampai BJ II terdengar kedalam fase diastolic
Bising ini dapat ditemukan pada patent dutus srteriosus

2.Intensitas bunyi:
intensitas bunyi yang ditimbulkan berbeda-beda dari yang ringan sanpai yang keras. Pada insufisiensi mitral intensitas bising sedang sampai tinggi. Pada gagal janntung kanan dapat terdengar bising Graham Steel yang merupakan bising yang terdengar dengan nada tinggi yang terjadi akibat hipertensi pulmonal.
Didasarkan pada tingkat kerasnya suara, dibedakan:

3.Tipe (konfigurasi): timbul karena penyempitan atau aliran balik, dibedakan:
 Bising tipe kresendo: mulai terdengar dari pelan kemudian mengeras
Bising kresendo diastolik dapat terdengar pada stenosis mitral
 Bising tipe dekresendo: bunyi dari keras kemudian menjadi pelan
 Bising tipe kresendo-dekresendo: bunyi pelan lalu keras lalu pelan kembali
 Bising tipe plateau: keras suara bising lebih menetap sepanjang pase sistolik, keras jarang berbunyi kasar
Bising ini dapat dijumpai pada insufisiensi mitral.

4.Lokasi dan penyebaran: daerah bising terdengar paling keras dan mungkin menyebar kearah tertentu
Pada stenosis aorta bising diastolik di sela iga 2 kiri atau kanan dapat menjalar ke leher atau aorta

AsKep Bayi Prematur

0

Definisi :

Bayi baru lahir dengan umur kehamilan 37 minggu atau kurang saat kelahiran disebut dengan bayi prematur. Walaupun kecil, bayi prematur ukurannya sesuai dengan masa kehamilan tetapi perkembangan intrauterin yang belum sempurna dapat menimbulkan komplikasi pada saat post natal. Bayi baru lahir yang mempunyai berat 2500 gram atau kurang dengan umur kehamilan lebih dari 37 minggu disebut dengan kecil masa kehamilan, ini berbeda dengan prematur, walaupun 75% dari neonatus yang mempunyai berat dibawah 2500 gram lahir prematur.

Problem klinis terjadi lebih sering pada bayi prematur dibandingkan dengan pada bayi lahir normal. Prematuritas menimbulkan imaturitas perkembangan dan fungsi sistem, membatasi kemampuan bayi untuk melakukan koping terhadap masalah penyakit.

Masalah yang umum terjadi diantaranya respiratory disstres syndrom (RDS), enterocolitis nekrotik, hiperbilirubinemia, hypoglikemia, thermoregulation, patetnt duktus arteriosus (PDA), edema paru, perdarahan intraventrikular. Stressor tambahan lain pada infant dan orangtua meliputi hospitalisasi untuk penyakit pada bayi. Respon orangtua dan mekanisme koping mereka dapat menimbulkan gangguan pada hubungan antar mereka. Diperlukan perencanaan dan tindakan yang adekuat untuk permasalahn tersebut.

Bayi prematur dapat bertahan hidup tergantung pada berat badannya, umur kehamilan, dan penyakit atau abnormalitas. Prematur menyumbangkan 75% - 80% angka kesakitan dan kematian neonatus.

Etiologi dan faktor presipitasi:
Permasalahan pada ibu saat kehamilan :
- Penyakit/kelainan seperti hipertensi, toxemia, placenta previa, abruptio placenta, incompetence cervical, janin kembar, malnutrisi dan diabetes mellitus.
- Tingkat sosial ekonomi yang rendah dan prenatal care yang tidak adekuat
- Persalinan sebelum waktunya atau induced aborsi
- Penyalahgunaan konsumsi pada ibu seperti obat-obatan terlarang, alkohol, merokok dan caffeine

Pengkajian
1. Riwayat kehamilan
- Umur ibu dibawah 16 tahun dengan latar belakang pendidikan rendah
- Kehamilan kembar
- Status sosial ekonomi, prenatal care tidak adekuat, nutrisi buruk
- Kemungkinan penyakit genetik
- Riwayat melahirkan prematur
- Infeksi seperti TORCH, penyakit menular seksual dan lain sebagainya
- Kondisi seperti toksemia, prematur rupture membran, abruptio placenta dan prolaps umbilikus
- Penyalahgunaaan obat, merokok, konsumsi kafeine dan alkohol
- Golongan darah, faktor Rh, amniocentesis.

2. Status bayi baru lahir
- Umur kehamilan antara 24 – 37 minggu, berat badan lahir rendah atau besar masa kehamilan
- Berat badan dibawah 2500 gram
- Kurus, lemak subkutan minimal
- Adanya kelainan fisik yang terlihat
- APGAR skore 1 – 5 menit : 0 – 3 mengindikasikan distress berat, 4 – 6 menunjukkan disstres sedang dan 7 – 10 merupakan nilai normal.

3. Kardiovaskular
- Denyut jantung 120 – 160 x per menit pada sisi apikal dengan irama teratur
- Saat kelahiran, terdengar murmur

4. Gastrointestinal
- Protruding abdomen
- Keluaran mekonium setelah 12 jam
- Kelemahan menghisap dan penurunan refleks
- Pastikan anus tanpa/dengan abnormalitas kongenital

5. Integumen
- Cyanosis, jaundice, mottling, kemerahan, atau kulit berwarna kuning
- Verniks caseosa sedikit dengan rambut lanugo di seluruh tubuh
- Kurus
- Edema general atau lokal
- Kuku pendek
- Kadang-kadang terdapat petechie atau ekimosis

6. Muskuloskeletal
- Cartilago pada telinga belum sempurna
- Tengkorak lunak
- Keadaan rileks, inaktive atau lethargi

7. Neurologik
- Refleks dan pergerakan pada test neurologik tanpa resistansi
- Reflek menghisap, swalowing, gag reflek serta reflek batuk lemah atau tidak efektif
- Tidak ada atau minimalnya tanda neurologik
- Mata masih tertutup pada bayi dengan umur kehamilan 25 – 26 minggu
- Suhu tubuh yang tidak stabil : biasanya hipotermik

8. Pulmonary
- Respiratory rate antara 40 – 60 x/menit dengan periode apnea
- Respirasi irreguler dengan nasal flaring, grunting dan retraksi (interkostal, suprasternal, substrenal)
- Terdengar crakles pada auskultasi

9. Renal
- Berkemih terjadi 8 jam setelah lahir
- Kemungkinan ketidakmampuan mengekresikan sulution dalam urine

10. Reproduksi
- Perempuan : labia mayora belum menutupi klitoris sehingga tampak menonjol
- Laki-laki : testis belum turun secara sempurna ke kantong skrotum, mungkin terdapat inguinal hernia.

11. Data penunjang
- X-ray pada dada dan organ lain untuk menentukan adanya abnormalitas
- Ultrasonografi untuk mendeteksi kelainan organ
- Stick glukosa untuk menentukan penurunan kadar glukosa
- Kadar kalsium serum, penurunan kadar berarti terjadi hipokalsemia
- Kadar bilirubin untuk mengidentifikasi peningkatan (karena pada prematur lebih peka terhadap hiperbilirubinemia)
- Kadar elektrolit, analisa gas darah, golongan darah, kultur darah, urinalisis, analisis feses dan lain sebagainya.

Diagnosa keperawatan
Dx. 1. Resiko tinggi disstres pernafasan berhubungan dengan immaturitas paru dengan penurunan produksi surfactan yang menyebabkan hipoksemia dan acidosis

Tujuan : Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi paru

Tindakan :
1. Kaji data fokus pada kemungkinan disstres pernafasan yaitu :
- Riwayat penyalahgunaan obat pada ibu atau kondisi abnormal selama kehamilan dan persalinan
- Kondisi bayi baru lahir : APGAR score, kebutuhan resusitasi
- Respiratory rate, kedalaman, takipnea
- Pernafasan grunting, nasal flaring, retraksi dengan penggunaan otot bantu pernafasan (intercostal, suprasternal, atau substernal)
- Cyanosis, penurunan suara nafas
2. Kaji episode apneu yang terjadi lebih dari 20 detik, kaji keadaan berikut :
- Bradykardi
- Lethargy, posisi dan aktivitas sebelum, selama dan setelah episode apnea (sebagai contoh saat tidur atau minum ASI)
- Distensi abdomen
- Suhu tubuh dan mottling
- Kebutuhan stimulasi
- Episode dan durasi apnea
- Penyebab apnea, seperti stress karena dingin, sepsis, kegagalan pernafasan.
3. Berikan dan monitor support respiratory sebagai berikut :
- Berikan oksigen sesuai indikasi
- Lakukan suction secara hati-hati dan tidak lebih dari 5 detik
- Pertahankan suhu lingkungan yang normal
4. Monitor hasil pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui terjadinya acidosis metabolik
5. Berikan oabt-obat sesuai permintaan dokter seperti theophylin IV. Monitor kadar gula darah setiap 1 – 2 hari.

Dx. 2. Resiko hipotermia atau hipertermia berhubungan dengan prematuritas atau perubahan suhu lingkungan

Tujuan : Mempertahankan suhu lingkungan normal

Tindakan :
1. Pertahankan suhu ruang perawatan pada 25 C
2. Kaji suhu rectal bayi dan suhu aksila setiap 2 jam atau bila perlu
3. Tempatkan bayi di bawah pemanas atau inkubator sesuai indikasi
4. Hindarkan meletakkan bayi dekat dengan sumber panas atau dingin
5. Kaji status infant yang menunjukkan stress dingin

Dx. 3. Defiensi nutrisi berhubungan dengan tidak adekuatnya cadangan glikogen, zat besi, dan kalsium dan kehilangan cadangan glikogen karena metabolisme rate yang tinggi, tidak adekuatnya intake kalori, serta kehilangan kalori.

Tujuan : meningkatkan dan mempertahankan intake kalori yang adekuat pada bayi

Tindakan :
1. Kaji refleks hisap dan reflek gag pada bayi. Mulai oral feeding saat kondisi bayi stabil dan respirasi terkontrol
2. Kaji dan kalkulasikan kebutuhan kalori bayi
3. Mulai breast feeding atau bottle feeding 2 – 6 jam setelah lahir. Mulai dengan 3 – 5 ml setiap kali setiap 3 jam. Tingkatkan asupan bila memungkinkan.
4. Timbang berat badan bayi setiap hari, bandingkan berat badan dengan intake kalori untuk menentukan pemabatasan atau peningkatan intake
5. Berikan infus dextrose 10% jika bayi tidak mampu minum secara oral
6. Berikan TPN dan intralipid jika dibutuhkan
7. Monitor kadar gula darah

Dx. 4. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan imaturitas, radiasi lingkungan, efek fototherapy atau kehilangan melalui kulit atau paru.

Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

Tindakan :
1. Kaji dan hitung kebutuhan cairan bayi
2. Berikan cairan 150 – 180 ml/kg berat badan dan 200 ml/kg berat badan jika dibutuhkan.
3. Timbang berat badan bayi setiap hari
4. Monitor dan catat intake dan output setiap hari, bandingkan jumlahnya untuk menentukan status ketidakseimbangan.
5. Test urine : spesifik gravity dan glikosuria
6. Pertahankan suhu lingkungan normal
7. Kaji tanda-tanda peningkatan kebutuhan cairan :
- Peningkatan suhu tubuh
- Hipovolemik shock dengan penurunan tejanan darah dan peningkatan denut jantung, melemahnya denyut nadi, tangan teraba dingin serta motling pada kulit.
- Sepsis
- Aspiksia dan hipoksia
8. Monitor potassium, sodium dan kadar chloride. Ganti cairan dan elektrolit dengan dextrose 10% bila perlu.

Dx. 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imaturitas imunologik bayi dan kemungkinan infeksi dari ibu atau tenaga medis/perawat

Tujuan : Infeksi dapat dicegah

Tindakan :
1. Kaji fluktuasi suhu tubuh, lethargy, apnea, iritabilitas dan jaundice
2. Review riwayat ibu, kondisi bayi saat lahir, dan epidemi infeksi di ruang perawatan
3. Amati sampel darah dan drainase
4. Lakukan pemeriksaan CBC dengan hitung leukosit, platelets, dan imunoglubolin
5. Berikan lingkungan yang melindungi bayi dari infekasi :
- Lakukan cuci tangan sebelum menyentuh bayi
- Ikuti protokol isolasi bayi
- Lakukan tehnik steril saat melakukan prosedur pada bayi

Dx. 6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rapuh dan imaturitas kulit

Tujuan : Mempertahankan integritas kulit

Tindakan :
1. Kaji kulit bayi terhadap kemerahan, iritasi, rashes, dan lesi serta keadaan pada area kulit yang tertekan.
2. Kaji tempat-tempat prosedur invasif pada bayi
3. Berikan perawatan kulit setiap hari. Lindungi kulit bayi dari kontak dengan agen pembersih atau plester.

Dx. 7. Gangguan sensori persepsi : visual, auditory, kinestehetik, gustatory, taktil dan olfaktory berhubungan dengan stimulasi yang kurang atau berlebihan pada lingkungan intensive care

Tujuan : Mempertahankan stimulasi sensori yang optimal tanpa berlebihan

Tindakan :
1. Kaji kemampuan bayi memberikan respon terhadap stimulus. Observasi :
- Deficit neurologik
- Kurangnya perhatian bayi terhadap stimulus
- Tidak ada respon terhadap suara, kontak mata atau tidak adanya refleks normal
- Efek obat terhadap perkembangan bayi
2. Berikan stimulasi visual :
- Arahkan cahaya lampu pada bayi
- Ayunkan benda didepan mata bayi
- Letakkan bayi pada posisi yang memungkinkan untuk kontak mata : tegakkan bayi
3. Berikan stimulasi auditory :
- Bicara pada bayi, lakukan dengan tekanan suara rendah dan jelas
- Panggil bayi dengan namanya, bicara pada bayi saat memberikan perawatan
- Bernyanyi, mainkan musik tape recorder atau hidupkan radio
- Hindari suara bising di sekitar bayi
4. Berikan stimulasi tactile :
- Peluk bayi dengan penuh kasih sayang
- Berikan kesempatan pada bayi untuk menghisap
- Sentuh bayi dengan benda lembut seperti saputangan atau kapas
- Berikan perubahan posisi secara teratur
5. Berikan stimulasi gustatory dengan mendekatkan hidung bayi ke payudara ibu atau ASI yang ditampung.
6. Berikan periode istirahat dan tidur yang cukup.

Dx. 8. Deficit pengetahuan (keluarga) tentang perawatan infant yang sakit di rumah

Tujuan :
1. Informasikan orangtua dan keluarga tentang :
- Proses penyakit
- Prosedur perawatan
- Tanda dan gejala problem respirasi
- Perawatan lanjutan dan therapy
2. Ajarkan orangtua dan keluarga tentang treatment pada anak :
- Therapy home oksigen
- Ventilasi mekanik
- Fisiotherapi dada
- Therapy obat
- Therapy cairan dan nutrisi
3. Berikan kesempatan pada keluarga mendemontrasikan perawatan pada bayinya
4. Anjurkan keluarga terlibat pada perawatan bayi
5. Ajarkan keluarga dan orangtua bagaimana menyeimbangkan istirahat dan tidur dan bagaimana menilai toleransi bayi terhadap aktivitas.

Tentang ABORSI

0

Pendahuluan

Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya tetap menimbulkan banyak persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut pandang kesehatan, tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama.

Pengguguran atau aborsi adalah semua tindakan atau usaha untuk menghentikan kehamilan dengan alasan apapun.1 Aborsi dibagi menjadi dua, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi spontan adalah aborsi yg terjadi secara alamiah tanpa adanya upaya dari luar untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Sedangkan aborsi buatan adalah aborsi yg terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan.

Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yg utama adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia.

Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak aman, 70 ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi tidak aman) diantaranya bahkan terjadi dinegara berkembang.2

Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi, artinya 43 kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000). Suatu hal yang dapat kita tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak terjadi di negara-negara di mana aborsi dilarang keras oleh undang-undang.3

Dari kenyataan ini kita patut mempertanyakan logika yang menyatakan bahwa bila layanan aborsi tidak ada maka orang tidak akan melakukan aborsi. Atau sebaliknya tersedianya layanan aborsi akan mendorong terjadinya penyelewengan moral yang berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan.


Aborsi Dipandang Dari Aspek Hukum

Menurut Sumapraja dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di Jakarta 1 April 2000 menyatakan adanya kontradiksi dari isi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut:

“Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelematkan jiwa ibu hamil dan janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.

Hal yang dapat dijelaskan dari pasal dan ayat tersebut adalah:

Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang dan bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelematkan jiwa ibu dan janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.4

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas menjadikan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan rentan di mata hukum.

Ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya yakni pasal 15 ayat 2 yakni, tindakan medis tertentu hanya dapat dilakukan jika:

berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambil tindakan tersebut
oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dapat dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan ahli
dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya
pada sarana kesehatan tertentu.
Penjelasan atas syarat tersebut di atas yakni:

indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinnya terancam bahaya maut.
tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kandungan dan penyakit kandungan
hak utama untuk memberi persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan yang tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuan, dapat diminta dari suami atau keluarganya
sarana kesehatan tertentu adalah yang memiliki fasilitas memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.
Selain daripada itu banyak pasal dalam KUHP yang menerangkan dan menjelaskan tentang tindakan aborsi diantaranya:

Pasal 346 yang berbunyi, “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 348 yang berbunyi, “barang siapa yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
Pasal 349 yang berbunyi, “jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dapat ditambah dengansepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”
Selengkapnya dapat dibaca pada pasal 229, 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Aborsi Dipandang dari Aspek Agama

Tidak ada ayat baik dalam Al-Quran maupun Al-Kitab yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat manusia.

Bahkan dalam Al-Quran banyak ayat yang menyatakan bahwa janin dalam kandungan adalah sangat mulia.

Q.S. 17:70 yang berbunyi:
“ sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”

Q.S. 5:32 yang isinya menyatakan bahwa membunuh satu nyawa berarti membunuh semua orang. Sebaliknya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan nyawa semua orang.
Q.S. 17:3 yang berbunyi:
“ dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat, Kamilah yang memberi rizki kepada mereka dan kepadamu jua.”

Q.S. 5:36 yang isinya menyatakan bahwa aborsi adalah membunuh, berarti melawan perintah Allah.
Q.S. 22:5 menerangkan bahwa tidak ada kehamilan yang merupakan kecelakaan atau kebetulan. Setiap janin yang terbentuk adalah merupakan rencana Allah.
Adapun berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini. Sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian ulama berpendapat boleh.5

Batasan tersebut digunakan sebagai tolok ukur boleh-tidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum bernyawa. Dari yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosa oleh ahli ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi boleh dilakukan. Dengan demikian apabila dari sudut pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alas an kuat seperti indikasi medis, maka sudah sepatutnyalah apabila landasan hukum aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.


Aborsi Dipandang dari Aspek Kesehatan

Aborsi biasanya dilakukan atas indikasi yang berkaitan dengan ancaman keselamatan janin atau adanya gangguan kesehatan yang berat pada ibu, misalnya TB paru berat, asma, diabetes mellitus, gagal ginjal, hipertensi, dan penyakit hati kronis.6

Sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu. Hanya saja dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis.7

Akan tetapi kematian ibu disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian ibu, yang dilaporkan hanya kematian yang diakibatkan perdarahan dan sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi.

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995 menyepakati bahwa akses pada pelayanan aborsi yang aman merupakan bagian dari hak perempuan.

Penelitian menunjukkan bahwa dilegalkannya aborsi di suatu negara justru berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsi itu sendiri. Held dan Adriaansz sebagaimana dikutip dari Wijono (2000) mengemukakan hasil analisa tentang kelompok resiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak direncanakan dan aborsi tidak aman, yakni:

kelompok unmeet need dan kegagalan kontrasepsi (48%
kelompok remaja
kelompok praktisi seks komersial
kelompok korban perkosaan, incest, dan pelecehan seksual (9%).8
dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata kelompok unmeet need dan gagal KB merupakan kelompok terbesar yang mengalami kehamilan tidak direncanakan, sehingga konseling kontrasepsi merupakan salah satu syarat mutlak untuk menurunkan kejadian aborsi, terutama aborsi berulang, selain faktor lainnya.


Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

· ada dua alasan mengapa seseorang menghentikan kehamilannya:

alasan kesehatan atau medis, yaitu suatu alasan yang didasarkan kepada pertimbangan medis baik yang disebabkan oleh ibu atau janin.
alasan non medis, yang didasarkan pada faktor-faktor di luar pertimbangan medis namun berisiko tinggi terhadap kelanjutan kehidupan sang ibu.
· jika dilihat dari pendekatan demografis, maka lasan yang sering dikemukakan adalah realitas tingginya kematian ibu yang disebabkan oleh komplikasi aborsi yang tidak aman, artinya tidak adanya fasilitas atau layanan aborsi tidak dengan sendirinya menghentikan usaha kaum perempuan untuk menghentikan kehamilannya. Dan ketika layanan aborsi yang aman dan sehat itu tidak disediakan, mereka akan tetap mengusahakannya sendiri. Akibatnya tidak sedikit yang kemudian pergi mencari pertolongan kepada mereka yang bukan ahlinya.

· Memang, memutuskan melakukan aborsi adalah suatu pilihan yang benar-benar harus dipikirkan secara matang. Mengapa? Karena sang ibu harus benar-benar percaya dengan apa yang menjadi tanggung jawab dan yang terbaik bagi dirinya. Ini seyogyanya bergantung kepada kebutuhan, sumber daya, tanggung jawab, dan harapan yang dibayangkan oleh kaum perempuan.

· dari berbagai diskusi baik dengan ibu maupun remaja, diperoleh gambaran bahwa bila seorang perempuan telah berniat menghentikan kehamilannya, maka umumnya mereka tidak langsung pergi ke tenaga medis tetapi akan mencoba cara sendiri yang sering diketahuinya melalui teman-temannya.

· Kita akui memang aturan mengenai tindakan aborsi masih sangat kontroversial, bahkan boleh dibilang cacat hukum.

· tingginya angka kematian ibu di Indonesia disadari atau tidak banyak dipicu oleh maraknya kasus aborsi tidak aman. Apabila satu dekade lalu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia didominasi oleh penyakit infeksi, degeneratif, dan HIV/AIDS, maka saat ini dan ke depan masalah aborsi menjadi teramat krusial untuk segera ditindaklanjuti.

Saran

1. Sudah saatnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi termasuk pendidikan seks diberikan sejak usia dini sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya.

2. Upaya legalisasi aborsi semestinya segera diberlakukan, dengan membentuk sarana layanan aborsi yang dikontrol secara intens oleh sebuah lembaga mungkin dalam bentuk komisi yang terdiri dari berbagai unsur seperti pemerintah, LSM, tokoh agama, dan tokoh masyarakat atau sebaliknya dilarang sama sekali melalui law enforcement.

3. Amandemen Undang-Undang Kesehatan khususnya pasal 15 ayat 1 dan 2 sudah menjadi keniscayaan karena terkesan kontroversial.

4. Dalam upaya menekan angka kematian ibu (AKI) akibat aborsi tidak aman perlu digencarkan konseling kontrasepsi di setiap sarana kesehatan baik privat maupun pemerintah.

5. Pentingnya digalakkan upaya diseminasi informasi tentang kesehatan reproduksi khususnya aborsi melalui seminar, penyuluhan, diskusi, kampanye, dan ceramah keagamaan baik melalui media cetak maupun elektronik.

Mengakhiri tulisan ini, penulis berharap mudah-mudahan mendapatkan perhatian dan renungan untuk selanjutnya disikapi dan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait.


Referensi

Al-Quran dan Terjemahannya.

Berita Berkala Jender dan Kesehatan, Aborsi: Sebuah Dilema di Indonesia, edisi khusus Januari-Februari 2001, Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Jender, 2001

Hadad, Tini, dkk. Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi, Seri Perempuan Mengenali Dirinya, YLKI-FKP-FF, 2002

Hanifah, Laily, Aborsi Ditinjau dari Tiga Sudut Pandang, artikel Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam situs www.kesrepro.info

Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

WHO, Unsafe Abortion; Global and Regional Estimates of Incidence and Mortality Due to Unsafe Abortion with a Listing of Available Country Data, third edition, Geneva, Division of Reproductive Health (Technical Support), WHO, 1998.