Minggu, 14 Februari 2010


Tentang ABORSI

0

Pendahuluan

Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya tetap menimbulkan banyak persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut pandang kesehatan, tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama.

Pengguguran atau aborsi adalah semua tindakan atau usaha untuk menghentikan kehamilan dengan alasan apapun.1 Aborsi dibagi menjadi dua, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi spontan adalah aborsi yg terjadi secara alamiah tanpa adanya upaya dari luar untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Sedangkan aborsi buatan adalah aborsi yg terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan.

Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yg utama adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia.

Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak aman, 70 ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi tidak aman) diantaranya bahkan terjadi dinegara berkembang.2

Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi, artinya 43 kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000). Suatu hal yang dapat kita tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak terjadi di negara-negara di mana aborsi dilarang keras oleh undang-undang.3

Dari kenyataan ini kita patut mempertanyakan logika yang menyatakan bahwa bila layanan aborsi tidak ada maka orang tidak akan melakukan aborsi. Atau sebaliknya tersedianya layanan aborsi akan mendorong terjadinya penyelewengan moral yang berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan.


Aborsi Dipandang Dari Aspek Hukum

Menurut Sumapraja dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di Jakarta 1 April 2000 menyatakan adanya kontradiksi dari isi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut:

“Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelematkan jiwa ibu hamil dan janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.

Hal yang dapat dijelaskan dari pasal dan ayat tersebut adalah:

Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang dan bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelematkan jiwa ibu dan janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.4

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas menjadikan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan rentan di mata hukum.

Ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya yakni pasal 15 ayat 2 yakni, tindakan medis tertentu hanya dapat dilakukan jika:

berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambil tindakan tersebut
oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dapat dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan ahli
dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya
pada sarana kesehatan tertentu.
Penjelasan atas syarat tersebut di atas yakni:

indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinnya terancam bahaya maut.
tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kandungan dan penyakit kandungan
hak utama untuk memberi persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan yang tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuan, dapat diminta dari suami atau keluarganya
sarana kesehatan tertentu adalah yang memiliki fasilitas memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.
Selain daripada itu banyak pasal dalam KUHP yang menerangkan dan menjelaskan tentang tindakan aborsi diantaranya:

Pasal 346 yang berbunyi, “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 348 yang berbunyi, “barang siapa yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
Pasal 349 yang berbunyi, “jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dapat ditambah dengansepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”
Selengkapnya dapat dibaca pada pasal 229, 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Aborsi Dipandang dari Aspek Agama

Tidak ada ayat baik dalam Al-Quran maupun Al-Kitab yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat manusia.

Bahkan dalam Al-Quran banyak ayat yang menyatakan bahwa janin dalam kandungan adalah sangat mulia.

Q.S. 17:70 yang berbunyi:
“ sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”

Q.S. 5:32 yang isinya menyatakan bahwa membunuh satu nyawa berarti membunuh semua orang. Sebaliknya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan nyawa semua orang.
Q.S. 17:3 yang berbunyi:
“ dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat, Kamilah yang memberi rizki kepada mereka dan kepadamu jua.”

Q.S. 5:36 yang isinya menyatakan bahwa aborsi adalah membunuh, berarti melawan perintah Allah.
Q.S. 22:5 menerangkan bahwa tidak ada kehamilan yang merupakan kecelakaan atau kebetulan. Setiap janin yang terbentuk adalah merupakan rencana Allah.
Adapun berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini. Sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian ulama berpendapat boleh.5

Batasan tersebut digunakan sebagai tolok ukur boleh-tidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum bernyawa. Dari yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosa oleh ahli ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi boleh dilakukan. Dengan demikian apabila dari sudut pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alas an kuat seperti indikasi medis, maka sudah sepatutnyalah apabila landasan hukum aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.


Aborsi Dipandang dari Aspek Kesehatan

Aborsi biasanya dilakukan atas indikasi yang berkaitan dengan ancaman keselamatan janin atau adanya gangguan kesehatan yang berat pada ibu, misalnya TB paru berat, asma, diabetes mellitus, gagal ginjal, hipertensi, dan penyakit hati kronis.6

Sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu. Hanya saja dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis.7

Akan tetapi kematian ibu disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian ibu, yang dilaporkan hanya kematian yang diakibatkan perdarahan dan sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi.

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995 menyepakati bahwa akses pada pelayanan aborsi yang aman merupakan bagian dari hak perempuan.

Penelitian menunjukkan bahwa dilegalkannya aborsi di suatu negara justru berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsi itu sendiri. Held dan Adriaansz sebagaimana dikutip dari Wijono (2000) mengemukakan hasil analisa tentang kelompok resiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak direncanakan dan aborsi tidak aman, yakni:

kelompok unmeet need dan kegagalan kontrasepsi (48%
kelompok remaja
kelompok praktisi seks komersial
kelompok korban perkosaan, incest, dan pelecehan seksual (9%).8
dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata kelompok unmeet need dan gagal KB merupakan kelompok terbesar yang mengalami kehamilan tidak direncanakan, sehingga konseling kontrasepsi merupakan salah satu syarat mutlak untuk menurunkan kejadian aborsi, terutama aborsi berulang, selain faktor lainnya.


Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

· ada dua alasan mengapa seseorang menghentikan kehamilannya:

alasan kesehatan atau medis, yaitu suatu alasan yang didasarkan kepada pertimbangan medis baik yang disebabkan oleh ibu atau janin.
alasan non medis, yang didasarkan pada faktor-faktor di luar pertimbangan medis namun berisiko tinggi terhadap kelanjutan kehidupan sang ibu.
· jika dilihat dari pendekatan demografis, maka lasan yang sering dikemukakan adalah realitas tingginya kematian ibu yang disebabkan oleh komplikasi aborsi yang tidak aman, artinya tidak adanya fasilitas atau layanan aborsi tidak dengan sendirinya menghentikan usaha kaum perempuan untuk menghentikan kehamilannya. Dan ketika layanan aborsi yang aman dan sehat itu tidak disediakan, mereka akan tetap mengusahakannya sendiri. Akibatnya tidak sedikit yang kemudian pergi mencari pertolongan kepada mereka yang bukan ahlinya.

· Memang, memutuskan melakukan aborsi adalah suatu pilihan yang benar-benar harus dipikirkan secara matang. Mengapa? Karena sang ibu harus benar-benar percaya dengan apa yang menjadi tanggung jawab dan yang terbaik bagi dirinya. Ini seyogyanya bergantung kepada kebutuhan, sumber daya, tanggung jawab, dan harapan yang dibayangkan oleh kaum perempuan.

· dari berbagai diskusi baik dengan ibu maupun remaja, diperoleh gambaran bahwa bila seorang perempuan telah berniat menghentikan kehamilannya, maka umumnya mereka tidak langsung pergi ke tenaga medis tetapi akan mencoba cara sendiri yang sering diketahuinya melalui teman-temannya.

· Kita akui memang aturan mengenai tindakan aborsi masih sangat kontroversial, bahkan boleh dibilang cacat hukum.

· tingginya angka kematian ibu di Indonesia disadari atau tidak banyak dipicu oleh maraknya kasus aborsi tidak aman. Apabila satu dekade lalu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia didominasi oleh penyakit infeksi, degeneratif, dan HIV/AIDS, maka saat ini dan ke depan masalah aborsi menjadi teramat krusial untuk segera ditindaklanjuti.

Saran

1. Sudah saatnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi termasuk pendidikan seks diberikan sejak usia dini sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya.

2. Upaya legalisasi aborsi semestinya segera diberlakukan, dengan membentuk sarana layanan aborsi yang dikontrol secara intens oleh sebuah lembaga mungkin dalam bentuk komisi yang terdiri dari berbagai unsur seperti pemerintah, LSM, tokoh agama, dan tokoh masyarakat atau sebaliknya dilarang sama sekali melalui law enforcement.

3. Amandemen Undang-Undang Kesehatan khususnya pasal 15 ayat 1 dan 2 sudah menjadi keniscayaan karena terkesan kontroversial.

4. Dalam upaya menekan angka kematian ibu (AKI) akibat aborsi tidak aman perlu digencarkan konseling kontrasepsi di setiap sarana kesehatan baik privat maupun pemerintah.

5. Pentingnya digalakkan upaya diseminasi informasi tentang kesehatan reproduksi khususnya aborsi melalui seminar, penyuluhan, diskusi, kampanye, dan ceramah keagamaan baik melalui media cetak maupun elektronik.

Mengakhiri tulisan ini, penulis berharap mudah-mudahan mendapatkan perhatian dan renungan untuk selanjutnya disikapi dan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait.


Referensi

Al-Quran dan Terjemahannya.

Berita Berkala Jender dan Kesehatan, Aborsi: Sebuah Dilema di Indonesia, edisi khusus Januari-Februari 2001, Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Jender, 2001

Hadad, Tini, dkk. Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi, Seri Perempuan Mengenali Dirinya, YLKI-FKP-FF, 2002

Hanifah, Laily, Aborsi Ditinjau dari Tiga Sudut Pandang, artikel Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam situs www.kesrepro.info

Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

WHO, Unsafe Abortion; Global and Regional Estimates of Incidence and Mortality Due to Unsafe Abortion with a Listing of Available Country Data, third edition, Geneva, Division of Reproductive Health (Technical Support), WHO, 1998.

0 komentar:

Posting Komentar