tag:blogger.com,1999:blog-401449984054591442024-03-13T21:08:48.711-07:00Kumpulan As-KepNs.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.comBlogger76125tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-74341160829422205032013-05-22T23:14:00.002-07:002013-05-22T23:14:40.722-07:00ASkep Bayi letak sungsang<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
A. PENDAHULUAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang/membujur dengan kepala difundus uteri dan bokong dibagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni: </div>
<div style="text-align: justify;">
a. Presentasi bokong ( frank breech) (50-70%).
Pada presentasi bokong akibat ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala janin. Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba bokong </div>
<div style="text-align: justify;">
b. Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech) ( 5-10%).
Pada presentasi bokong kaki sempurna disamping bokong dapat diraba kaki </div>
<div style="text-align: justify;">
c. Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete or footling) (10-30%).
Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya terdapat satu kaki disamping bokong, sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas. Pada presentasi kaki bagian paling rendah adalah satu atau dua kaki. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
B. PREVALENSI </div>
<div style="text-align: justify;">
Kejadian presentasi bokong ditemukan sekitar 3-4% dari seluruh persalinan tunggal. Presentasi bokong adalah suatu keadaan pada letak janin memanjang dimana presentasi bokong dengan atau tanpa kaki merupakan bagian terendahnya. Angka kejadiannya adalah 3-4% dari seluruh kehamilan. Beberapa peneliti lain seperti Greenhill melaporkan kejadian persalinan presentasi bokong sebanyak 4-4,5%. Di Parkland Hospital 3,5 persen dari 136.256 persalinan tunggal dari tahun 1990 sampai 1999 merupakan letak sungsang.
Mortalitas perinatal : kematian perinatal 13 kali lebih tinggi daripada kematian perinatal pada presentasi kepala. Morbiditas perinatal : 5-7 kali lebih tinggi daripada presentasi kepala. Gambaran ini dipengaruhi usia kehamilan, berat janin dan jenis presentasi bokong. Sebab utama kematian perinatal pada presentasi bokong : hipoksia, trauma persalinan, prematuritas dan kelainan kongenital. Kelainan kongenital terdapat 6-18% pada presentasi bokong, dibandingkan 2-3% pada presentasi kepala </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
C. PATOFISIOLOGI </div>
<div style="text-align: justify;">
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap ruangan dalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah air ketuban relatif lebih banyak, sehingga memungkinkan janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala, letak sungsang atau letak lintang
Pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air ketuban relatif berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai terlipat lebih besar daripada kepala, maka bokong dipaksa untuk menempati ruang yang lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala berada ruangan yang lebih kecil di segmen bawah uterus. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa pada kehamilan belum cukup bulan, frekuensi letak sungsang lebih tinggi, sedangkan pada kehamilan cukup bulan, janin sebagian besar ditemukan dalam presentasi kepala. sayangnya, beberapa fetus tidak seperti itu. Sebagian dari mereka berada dalam posisi sungsang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
D. ETIOLOGI </div>
<div style="text-align: justify;">
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam terjadinya letak sungsang diantaranya ialah prematuritas, rnultiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefalus, plasenta previa dan panggul sempit. Kadang-kadang juga disebabkan oleh kelainan uterus (seperti fibroid) dan kelainan bentuk uterus (malformasi). Plasenta yang terletak didaerah kornu fundus uteri dapat pula menyebabkan letak sungsang, karena plasenta mengurangi luas ruangan didaerah fundus. Kelainan fetus juga dapat menyebabkan letak sungsang seperti malformasi CNS, massa dileher, aneuploidi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
E. TANDA DAN GEJALA</div>
<div style="text-align: justify;">
Kehamilan dengan letak sungsang seringkali oleh ibu hamil dinyatakan bahwa kehamilannya terasa lain dari kehamilan sebelumnya, karena perut terasa penuh dibagian atas dan gerakan lebih hanyak dibagian bawah. Pada kehamilan pertama kalinya mungkin belum bisa dirasakan perbedaannya. Dapat ditelusuri dari riwayat kehamilan sebelumnya apakah ada yang sungsang.
Pada pemeriksaan luar berdasarkan pemeriksaan Leopold ditemukan bahwa Leopold I difundus akan teraba bagian yang keras dan bulat yakni kepala. Leopold II teraba punggung disatu sisi dan bagian kecil disisi lain. Leopold III-IV teraba bokong dibagian bawah uterus. Kadang-kadang bokong janin teraba bulat dan dapat memberi kesan seolah-olah kepala, tetapi bokong tidak dapat digerakkan semudah kepala. Denyut jantung janin pada umumnya ditemukan setinggi pusat atau sedikit lebih tinggi daripada umbilicus.
Pada pemeriksaan dalam pada kehamilan letak sungsang apabila didiagnosis dengan pemeriksaan luar tidak dapat dibuat oleh karena dinding perut tebal, uterus berkontraksi atau air ketuban banyak. Setelah ketuban pecah dapat lebih jelas adanya bokong vang ditandai dengan adanya sakrum, kedua tuberositas iskii dan anus. Bila dapat diraba kaki, maka harus dibedakan dengan tangan. Pada kaki terdapat tumit, sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari vang letaknya tidak sejajar dengan jari-jari lain dan panjang jari kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan. Pada persalinan lama, bokong mengalami edema sehingga kadang-kadang sulit untuk membedakan bokong dengan muka. Pemeriksaan yang teliti dapat membedakan bokong dengan muka karena jari yang akan dimasukkan ke dalam anus mengalami rintangan otot, sedangkan jari yang dimasukkan kedalam mulut akan meraba tulang rahang dan alveola tanpa ada hambatan, mulut dan tulang pipi akan membentuk segitiga, sedangkan anus dan tuberosis iskii membentuk garis lurus. Pada presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki dapat diraba disamping bokong, sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak sempuma hanya teraba satu kaki disamping bokong. Informasi yang palingakurat berdasarkan lokasi sakrum dan prosesus untuk diagnosis posisi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG </div>
<div style="text-align: justify;">
Dilakukan jika masih ada keragu-raguan dari pemeriksaan luar dan dalam, sehingga harus di pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografik atau MRI ( Magnetic Resonance Imaging ). Pemeriksaan ultrasonografik diperlukan untuk konfirmasi letak janin, bila pemeriksaan fisik belum jelas, menentukan letak placenta, menemukan kemungkinan cacat bawaan. Pada foto rontgen (bila perlu) untuk menentukan posisi tungkai bawah, konfirmasi letak janin serta fleksi kepala, menentukan adanya kelainan bawaan anak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
G. DIAGNOSIS </div>
<div style="text-align: justify;">
Diagnosis letak sungsang pada umumnya tidak sulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan subyektif dan pemeriksaan fisik atau penunjang yang telah dilakukan. Dari anamnesis didapatkan kalau ibu hamil akan merasakan perut terasa penuh dibagian atas dan gerakan anak lebih banyak dibagian bawah rahim. Dari riwayat kehamilan mungkin diketahui pernah melahirkan sungsang. Sedangkan dari pemeriksaan fisik Leopold akan ditemukan dari Leopold I difundus akan teraba bagian bulat dan keras yakni kepala, Leopold II teraba punggung dan bagian kecil pada sisi samping perut ibu, Leopold III-IV teraba bokong di segmen bawah rahim. Dari pemeriksaan dalam akan teraba bokong atau dengan kaki disampingnya. Disini akan teraba os sakrum, kedua tuberosis iskii dan anus. Pemeriksaan penunjang juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis seperti ultrasonografik atau rontgen. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
H. DIAGNOSIS BANDING </div>
<div style="text-align: justify;">
Kehamilan dengan letak sungsang dapat didiagnosis dengan kehamilan dengan letak muka. Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi Leopold masih ditemukan kemiripan. Ini dibedakan dari pemeriksaan dalam yakni pada letak sungsang akan didapatkan jari yang dimasukkan ke dalam anus mengalami rintangan otot dan anus dengan tuberosis iskii sesuai garis lurus. Pada letak muka, jari masuk mulut akan meraba tulang rahang dan alveola tanpa hambatan serta mulut dan tulang pipi membentuk segitiga. Sedangkan dengan USG atau rontgen sangatlah dapat dibedakan </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
I. PENATALAKSANAAN </div>
<div style="text-align: justify;">
1. Dalam Kehamilan
Pada umur kehamilan 28-30 minggu ,mencari kausa daripada letak sungsang yakni dengan USG; seperti plasenta previa, kelainan kongenital, kehamilan ganda, kelainan uterus. Jlka tidak ada kelainan pada hasil USG, maka dilakukan knee chest position atau dengan versi luar (jika tidak ada kontraindikasi).
Versi luar sebaiknya dilakukan pada kehamilan 34-38 minggu. Pada umumnya versi luar sebelum minggu ke 34 belum perlu dilakukan karena kemungkinan besar janin masih dapat memutar sendiri, sedangkan setelah minggu ke 38 versi luar sulit dilakukan karena janin sudah besar dan jumlah air ketuban relatif telah berkurang. Sebelum melakukan versi luar diagnosis letak janin harus pasti sedangkan denyut jantung janin harus dalam keadaan baik. Kontraindikasi untuk melakukan versi luar; panggul sempit, perdarahan antepartum, hipertensi, hamil kembar, plasenta previa. Keberhasilan versi luar 35-86 % (rata-rata 58 %). Peningkatan keberhasilan terjadi pada multiparitas, usia kehamilan, frank breech, letak lintang. Newman membuat prediksi keberhasilan versi luar berdasarkan penilaian seperti Bhisopskor (Bhisop-like score).
Skor 0 1 2 3
Pembukaan serviks 0 1-2 3-4 5+
Panjang serviks (cm) 3 2 1 0
Station -3 -2 -1 +1,+2
Konsistensi Kaku Sedang Lunak
Position Posterio Mid Anterio
Artinya: Keberhasilan 0% jika nilai <2 100="" dan="" jika="" nilai="">9. Kalau versi luar gagal karena penderita menegangkan otot-otot dinding perut, penggunaan narkosis dapat dipertimbangkan, tetapi kerugiannya antara lain: narkosis harus dalam, lepasnya plasenta karena tidak merasakan sakit dan digunakannya tenaga yang berlebihan, sehingga penggunaan narkosis dihindari pada versi luar . <!--2--></2></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Dalam Persalinan
Menolong persalinan letak sungsang diperlukan lebih banyak ketekunan dan kesabaran dibandingkan dengan persalinan letak kepala. Pertama-tama hendaknya ditentukan apakah tidak ada kelainan lain yang menjadi indikasi seksio, seperti kesempitan panggul, plasenta previa atau adanya tumor dalam rongga panggul.
Pada kasus dimana versi luar gagal/janin tetap letak sungsang, maka penatalaksanaan persalinan lebih waspada. Persalinan pada letak sungsang dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal (seksio sesaria). Pervaginam dilakukan jika tidak ada hambatan pada pembukaan dan penurunan bokong. Syarat persalinan pervaginam pada letak sungsang: bokong sempurna (complete) atau bokong murni (frank breech), pelvimetri, klinis yang adekuat, janin tidak terlalu besar, tidak ada riwayat seksio sesaria dengan indikasi CPD, kepala fleksi. Mekanisme persalinan letak sungsang berlangsung melalui tiga tahap yaitu:
Persalinan bokong </div>
<div style="text-align: justify;">
a. Bokong masuk ke pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring. </div>
<div style="text-align: justify;">
b. Setelah trokanter belakang mencapai dasar panggul, terjadi putaran paksi dalam sehingga trokanter depan berada di bawah simfisis. </div>
<div style="text-align: justify;">
c. Penurunan bokong dengan trokanter belakangnya berlanjut, sehingga distansia bitrokanterika janin berada di pintu bawah panggul. </div>
<div style="text-align: justify;">
d. Terjadi persalinan bokong, dengan trokanter depan sebagai hipomoklion.</div>
<div style="text-align: justify;">
e. Setelah trokanter belakang lahir, terjadi fleksi lateral janin untuk persalinan trokanter depan, sehingga seluruh bokong janin lahir. </div>
<div style="text-align: justify;">
f. Terjadi putar paksi luar, yang menempatkan punggung bayi kearah perut ibu. </div>
<div style="text-align: justify;">
g. Penurunan bokong berkelanjutan sampai kedua tungkai bawah lahir.
Persalinan bahu </div>
<div style="text-align: justify;">
a. Bahu janin memasuki pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring. </div>
<div style="text-align: justify;">
b. Bahu belakang masuk dan turun sampai mencapai dasar panggul. </div>
<div style="text-align: justify;">
c. Terjadi putar paksi dalam yang menempatkan bahu depan dibawah simpisis dan bertindak sebagai hipomoklion. </div>
<div style="text-align: justify;">
d. Bahu belakang lahir diikuti lengan dan tangan belakang. </div>
<div style="text-align: justify;">
e. Penurunan dan persalinan bahu depan diikuti lengan dan tangan depan sehingga seluruh bahu janin lahir.
f. Kepala janin masuk pintu atas panggul dengan posisi melintang atau miring. </div>
<div style="text-align: justify;">
g. Bahu melakukan putaran paksi dalam.
Persalinan kepala janin </div>
<div style="text-align: justify;">
a. Kepala janin masuk pintu atas panggul dalam keadaan fleksi dengan posisi dagu berada dibagian posterior. </div>
<div style="text-align: justify;">
b. Setelah dagu mencapai dasar panggul, dan kepala bagian belakang tertahan oleh simfisis kemudian terjadi putar paksi dalam dan menempatkan suboksiput sebagai hipomiklion. </div>
<div style="text-align: justify;">
c. Persalinan kepala berturut-turut lahir: dagu, mulut, hidung, mata, dahi dan muka seluruhnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
d. Setelah muka, lahir badan bayi akan tergantung sehingga seluruh kepala bayi dapat lahir. </div>
<div style="text-align: justify;">
e. Setelah bayi lahir dilakukan resusitasi sehingga jalan nafas bebas dari lendir dan mekoneum untuk memperlancar pernafasan.
Perawatan tali pusat seperti biasa. Persalinan ini berlangsung tidak boleh lebih dari delapan menit.
Mekanisme letak sungsang dapat dilihat dalam gambar berikut:
Tipe dari presentasi bokong: </div>
<div style="text-align: justify;">
• Penurunan bokong dengan trokanter belakangnya berlanjut, sehingga distansia bitrokanterika janin berada di pintu bawah panggul.</div>
<div style="text-align: justify;">
• Bokong masuk ke pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring. </div>
<div style="text-align: justify;">
• Setelah trokanter belakang mencapai dasar panggul, terjadi putaran paksi dalam sehingga trokanter depan berada di bawah simfisis </div>
<div style="text-align: justify;">
a) Presentasi bokong (frank breech) </div>
<div style="text-align: justify;">
b) Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech) </div>
<div style="text-align: justify;">
c) Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete or footling ) </div>
<div style="text-align: justify;">
• Jika bokong tidak mengalami kemajuan selama kontraksi berikutnya, episiotomi dapat dilakukan dan bokong dilahirkan dengan traksi ke bawah perut. </div>
<div style="text-align: justify;">
• Terjadi putar paksi luar, yang menempatkan punggung bayi ke arah perut ibu.
• Penurunanbokong berkelanjutan sampai kedua tungkai bawah lahir. </div>
<div style="text-align: justify;">
• Terjadi persalinan bokong, dengan trokanter depan sebagai hipomoklion. </div>
<div style="text-align: justify;">
• Setelah trokanter belakang lahir, terjadi fleksi lateral janin untuk persalinan trokanter depan, sehingga seluruh bokong janin lahir. </div>
<div style="text-align: justify;">
• Bahu janin mencapai pelvic 'gutter' (jalan sempit) dan melakukan putar paksi dalam sehingga diameter biacromion terdapat pada diameter anteroposterior diameter pelvic bagian luar. </div>
<div style="text-align: justify;">
• Secara simultan, bokong melakukan rotasi anterior 90 derajat. Kepala janin kemudian masuk ke tepi pelvik, sutura sagitalis berada pada tepi diameter transversal.
Penurunan ke dalam pelvic terjadi dengan flexi dari kepala </div>
<div style="text-align: justify;">
• Jika kaki janin telah keluar, penolong dapat menyusupkan tangan sepanjang kaki anterior dan melahirkan kaki dengan flexi dan abduksi sehingga bagian badan lainnya dapat dilahirkan </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
J. Jenis-jenis persalinan sungsang : </div>
<div style="text-align: justify;">
1. Persalinan Pervaginam
Berdasarkan tenaga yang dipakal dalam melahirkan janin pervaginam, persalinan pervaginam dibagi menjadi 3, yaitu: </div>
<div style="text-align: justify;">
a) Persalinan spontan (spontaneous breech), janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri. Cara ini lazim disebut cara, Bracht. </div>
<div style="text-align: justify;">
b) Manual aid (partial breech extraction; assisted breech delivery), janin dilahirkan sebagian menggunakan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian lagi dengan tenaga penolong. </div>
<div style="text-align: justify;">
c) Ekstraksi sungsang (total breech extraction), janin dilahirkan seluruhnya dengan memakai tenaga, penolong.
2. Persalinan perabdominam (seksio sesaria).
Prosedur pertolongan persalinan spontan
Tahapan :
1) Tahap pertama : fase lambat, yaitu mulai melahirkan bokong sampai pusat (skapula depan). </div>
<div style="text-align: justify;">
2) Tahap kedua: fase cepat, yaitu mulai dari lahirnya pusat sampai lahirnya mulut. </div>
<div style="text-align: justify;">
3) Tahap ketiga: fase lambat, yaitu mulai lahirnya mulut sampai seluruh kepala lahir.
Teknik : </div>
<div style="text-align: justify;">
1) Sebelum melakukan pimpinan persalinan penolong harus memperhatikan sekali lagi persiapan untuk ibu, janin, maupun penolong. Pada persiapan kelahiran. janin harus selalu disediakan cunam Piper. </div>
<div style="text-align: justify;">
2) Ibu tidur dalam posisi litotomi, sedang penolong berada didepan vulva. Ketika timbul his ibu disuruh mengejan dan merangkul kedua pangkal paha. Pada saat bokong mulai membuka vulva (crowning) disuntikan 2-5unit oksitosin intramuskuler. </div>
<div style="text-align: justify;">
3) Episiotomi dikerjakan saat bokong membuka vulva. Segera setelah bokong lahir, bokong dicengkram secara Bracht, yaitu kedua ibu jari penolong sejajar sumbu panjang paha, sedangkan jani-jari lain memegang panggul. </div>
<div style="text-align: justify;">
4) Pada setiap his, ibu disuruh mengejan. Pada waktu tali pusat lahir dan tampak teregang, tali pusat dikendorkan. Kemudian penolong melakukan hiperlordosis pada badan janin guna mengikuti gerakan rotasi anterior, yaitu punggung janin didekatkan ke punggung ibu. Penolong hanya mengikuti gerakan ini tanpa melakukan tarikan, sehingga gerakan tersebut disesuaikan dengan gaya berat badan janin. Bersamaan dengan dilakukannya hiferlordossis, seorang asisten melakukan ekspresi Kristeller pada fundus uteri sesuai dengan sumbu panggul. Dengan gerakan hiperlordossis ini berturut-turut lahir pusar, perut, badan lengan, dagu, mulut dan akhirnya kepala. </div>
<div style="text-align: justify;">
5) Janin yang baru lahir segera diletakan diperut ibu. Bersihkan jalan nafas dan rawat tali pusat.
Keuntungan :
Dapat mengurangi terjadinya bahaya infeksi oleh karena tangan penolong tidak ikut masuk ke dalam jalan lahir. Dan juga cara ini yang paling mendekati persalinan fisiologik, sehingga mengurangi trauma pada janin.
Kerugian :
Dapat mengalami kegagalan sehingga tidak semua persalinan letak sungsang dapat dipimpin secara Bracht. Terutama terjadi peda keadaan panggul sempit, janin besar, jalan lahir kaku seperti pada primigravida, adanya lengan menjungkit atau menunjuk.
Prosedur Manual Aid
Indikasi :
Dilakukan jika pada persalinan dengan cara Bracht mengalami kegagalan, misalnya terjadi kemacetan saat melahirkan bahu atau kepala. Dan memang dari awal sudah direncanakan untuk manual aid.
Tahapan : </div>
<div style="text-align: justify;">
1. Tahap pertama :lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri. </div>
<div style="text-align: justify;">
2. Tahap kedua : lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong.
Cara/teknik untuk melahirkan bahu dan lengan ialah secara :</div>
<div style="text-align: justify;">
a) Klasik (Deventer)</div>
<div style="text-align: justify;">
b) Mueller</div>
<div style="text-align: justify;">
c) Lovset</div>
<div style="text-align: justify;">
d) Bickenbach. </div>
<div style="text-align: justify;">
3. Tahap ketiga : lahirnya kepala, dapat dengan, cara </div>
<div style="text-align: justify;">
a) Mauriceau (Veit-Smellie) </div>
<div style="text-align: justify;">
b) Najouks </div>
<div style="text-align: justify;">
c) Wigand Martin-Winckel </div>
<div style="text-align: justify;">
d) Parague terbalik </div>
<div style="text-align: justify;">
e) Cunam piper
Tehnik :
Tahap pertama persalinan secara bracht sampai pusat lahir. Tahap kedua melahirkan bahu dan langan oleh penolong: </div>
<div style="text-align: justify;">
1) Cara klasik
Prinsip melahirkan bahu dan lengan secara klasik ini melahirkan lengan belakang lebih dulu karena lengan belakang berada di ruang yang luas (sacrum), kemudian melahirkan lengan depan yang berada di bawaah simpisis. Kedua kaki janin dipegang dengan tangan kanan penolong pada pergelangan kakinya dan dielevasi ke atas sejauh mungkin sehingga perut janin mendekati perut ibu. Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan lahir dan dengan jari tengah dan telunjuk menelusuri bahu janin sampai pada fossa kubiti kemudian lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolah-olah lengan bawah mengusap muka janin. Untuk melahirkan lengan depan, pergelangan kaki janin diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke bawah sehingga punggung janin mendekati punggung ibu.
Dengan cara yang sama lengan depan dilahirkan. Keuntunga cara klasik adalah pada umumnya dapat dilakukan pada semua persalinan letak sungsang tetapi kerugiannya lengan janin relative tinggi didalam panggul sehingga jari penolong harus masuk ke dalam jalan lahir yang dapat manimbulkan infeksi. </div>
<div style="text-align: justify;">
2) Cara Mueller
Prinsip melahirkan bahu dan lengan secara Mueller ialah melahirkan bahu dan lengan depan lebih dulu dengan ekstraksi, baru kemudian melahirkan bahu dan lengan belakang. Bokong janin dipegang dengan femuro - pelvik yaitu kedua ibu jari penolong diletakkan sejajar spina sakralis media dan jari telunjuk pada krisat iliaka dan jari-jari lain mencengkram bagian depan.
Kemudian badan ditarik ke curam ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan tampak di bawah simpisis dan lengan depan dilahirkan dengan mengait lengan bawahnya. Setelah bahu depan dan lengan lahir, tarik badan janin ke atas sampai bahu belakang lahir. Tangan penolong tidak masuk ke dalam jalan lahir sehingga mengurangi infeksi. </div>
<div style="text-align: justify;">
3) Cara lovset
Prinsip melahirkan persalinan secara Lovset ialah memutar badan janin dalam setengah lingkaran bolak-balik sambil dilakukan traksi curam ke bawah sehingga bahu yang sebelumnya berada di belakang akhirnya lahir dibawah simpisis dan lengan dapat dilahirkan.
Keuntungannya yaitu sederhana dan jarang gagal, dapat dilakukan pada semua letak sungsang, minimal bahay infeksi. Cara lovset tidak dianjurkan dilakukan pada sungsang dengan primigravida, janin besar, panggul sempit. </div>
<div style="text-align: justify;">
4) Cara Bickhenbach
Prinsip melahirkan ini merupakan kombinasi antara cara Mueller dengan cara klasik.
Tahap ketiga : melahirkan kepala yang menyusul (after coming head )</div>
<div style="text-align: justify;">
1) Cara Mauriceau
Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan ke dalam jalan lahir. Jari tengah dimasukkan ke dalam mulut dan jari telunjuk dan jari keempat mencengkeram fossa kanina, sedang jari lain mencengkeram leher. Badan anak diletakkan diatas lengan bawah penolong seolah-olah janin menunggang kuda. Jari telunjuk dan jari ketiga penolong yang lain mencengkeram leher janin dari punggung. Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah sambil seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Tenaga tarikan terutama dilakukan oleh penolong yang mencengkeram leher janin dari arah punggung. Bila suboksiput tampak dibawah simpisis, kepala dielevasi keatas dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga berturut-turut lahir dagu, mulut, hidung, mata dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya lahirnya seluruh kepala janin. </div>
<div style="text-align: justify;">
2) Cara Naujoks
Teknik ini dilakukan apabila kepala masih tinggi sehingga jari penolong tidak dimasukkan ke dalam mulut janin. Kedua tangan penolong yang mencengkeram leher janin menarik bahu curam kebawah dan bersamaan dengan itu seorang asisten mendorong kepala janin kearah bawah. Cara ini tidak dianjurkan lagi karena menimbulkan trauma yang berat.</div>
<div style="text-align: justify;">
3) Cara Prague Terbalik
Teknik ini dipakai bila oksiput dengan ubun-ubun kecil berada di belakang dekat sacrum dan muka janin menghadap simpisis. Satu tangan penolong mencengkeram leher dari bawah dan punggung janin diletakkan pada telapak tangan penolong. Tangan penolong yang lain memegang kedua pergelangan kaki, kemudian ditarik keatas bersamaan dengan tarikan pada bahu janin sehingga perut janin mendekati perut ibu. Dengan laring sebagai hipomoklion, kepala janin dapat dilahirkan. </div>
<div style="text-align: justify;">
4) Cara Cunam Piper
Seorang asisten memegang badan janin pada kedua kaki dan kedua lengan janin diletakkan dipunggung janin. Kemudian badan janin dielevasi ke atas sehingga punggung janin mendekati punggung ibu. Pemasangan cunam piper sama prinsipnya dengan pemasangan pada letak belakang kepala. Hanya saja cunam dimasukkan dari arah bawah sejajar dengan pelipatan paha belakang. Setelah oksiput tampak dibawah simpisis, cunam dielevasi ke atas dan dengan suboksiput sebagai hipomoklion berturut-turut lahir dagu, mulut, muka, dahi dan akhirnya seluruh kepala lahir.
Prosedur Ekstraksi Sungsang </div>
<div style="text-align: justify;">
1. Teknik ekstraksi kaki
Tangan dimasukkan ke dalam jalan lahir mencari kaki depan dengan menelusuri bokong, pangkal paha sampai lutut, kemudian melakukan abduksi dan fleksi pada paha janin sehingga kaki bawah menjadi fleksi. Tangan yang dikuar mendorong fundus uterus ke bawah. Setelah kaki bawah fleksi pergelangan kaki dipegang oleh jari kedua dan jari ketiga dan dituntun keluar dari vagina sampai batas lutut. Kedua tangan memegang betis janin, kaki ditarik curam kebawah sampai pangkal paha lahir.
Pangkal paha dipegang kemudian tarik curam ke bawah trokhanter depan lahir. Kemudian pangkal paha dengan pegangan yang sama dielevasi keatas sehingga trokhanter belakang lahir dan bokong pun lahir. Setelah bokong lahir maka untuk melahirkan janin selanjutnya dipakai teknik pegangan femuro-pelviks, badan janin ditarik curam kebawah sampai pusat lahir. Selanjutnya untuk melahirkan badan janin yang lainnya dilakukan cara persalinan yang sama seperti pada manual aid. </div>
<div style="text-align: justify;">
2. Teknik ekstraksi bokong
Dilakukan pada letak bokong murni (frank breech) dan bokong sudah berada di dasar panggul sehingga sukar menurunkan kaki. Jari telunjuk tangan penolong yang searah bagian kecil janin dimasukkan ke dalam jalan lahir dan diletakkan di pelipatan paha depan. Dengan jari telunjuk ini pelipatan paha dikait dan ditarik curam kebawah, sehingga trokhanter tampak dibawah simpisis, maka jari telunjuk penolong yang lain segera mengait pelipatan paha ditarik curam kebawah sampai bokong lahir. Setelah bokong lahir, bokong dipegang secara femuro-pelviks kemudian janin dapat dilahirkan dengan cara manual aid.
Prosedur Persalinan Sungsang Perabdominam Persalinan letak sungsang dengan seksio sesaria sudah tentu merupakan yang terbaik ditinjau dari janin. Banyak ahli melaporkan bahwa persalinan letak sungsang pervaginam memberi trauma yang sangat berarti bagi janin. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua letak sungsang harus dilahirkan perabdominam.
Persalinan diakhiri dengan seksio sesaria bila: </div>
<div style="text-align: justify;">
1. Persalinan pervaginam diperkirakan sukar dan berbahaya (disproporsi feto pelvic atau skor Zachtuchni Andros ≤ 3).
Skor Zachtuchni Andros
Paramenter Nilai
0 1 2
Paritas Primi Multi -
Pernah letak sungsang Tidak Satu kali Dua kali
TBJ > 3650 g 3649-3176 g < 3176 g
Usia kehamilan >39 minggu 38 minggu <37 -2="" -3="" atau="" minggu="" station="">
Pembukaan servik 2cm 3cm 4cm
Arti nilai:
≤ 3 : persalinan perabdominam
4 : evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan janin, bila nilai tetap dapat dilahirkan pervaginam.
>5 : dilahirkan pervaginam. <!--37--></37></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Tali pusat menumbung pada primi/multigravida. </div>
<div style="text-align: justify;">
3. Didapatkan distosia </div>
<div style="text-align: justify;">
4. Umur kehamilan:
o Prematur (EFBW=2000 gram)
o Post date (umur kehamilan ≥ 42 minggu) </div>
<div style="text-align: justify;">
5. Nilai anak (hanya sebagai pertimbangan)
Riwayat persalinan yang lalu: riwayat persalinan buruk, milai social janin tinggi. </div>
<div style="text-align: justify;">
6. Komplikasi kehamilan dan persalinan:
o Hipertensi dalam persalinan
o Ketuban pecah dini </div>
<div style="text-align: justify;">
K. KOMPLIKASI
Komplikasi persalinan letak sungsang antara lain:
1. Dari faktor ibu:
Perdarahan oleh karena trauma jalan lahir atonia uteri, sisa placenta.
Infeksi karena terjadi secara ascendens melalui trauma (endometritits)
Trauma persalinan seperti trauma jalan lahir, simfidiolisis.
2. Dari faktor bayi:
Perdarahan seperti perdarahan intracranial, edema intracranial, perdarahan alat-alat vital intra-abdominal.
Infeksi karena manipulasi
Trauma persalinan seperti dislokasi/fraktur ektremitas, persendian leher, rupture alat-alat vital intraabdominal, kerusakan pleksus brachialis dan fasialis, kerusakan pusat vital di medulla oblongata, trauma langsung alat-alat vital (mata, telinga, mulut), asfiksisa sampai lahir mati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.G et al. 2005. Breech Presentation and Delivery In: Williams Obstetrics.22 st edition. New York: Mc Graw Hill Medical Publising Division, 509-536.
2. Kampono, Nugroho, dkk. 2008. Persalinan Sungsang. Available from: http://geocities.com/abudims/cklobpt9.html. (Accessed: 2008, October 26).
3. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Malpresentation. In: Obstetrics normal and problem pregnancies. 3rd ed. New York: Churchill Livingstone. Ltd. 2000:478-90.
4. Giuliani A, Scholl WMJ, Basver A, Tamussino KF. Mode of delivery and outcome of 699 term singleton breeech deliveries at a single center. Am J Obstet Gynecol 2002;187:1694-8.
5. Manuaba, I.B. 1995. Persalinan Sungsang dalam: Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Dokter Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 174-201.
6. Supono. Pimpinan persalinan letak sungsang. Dalam: Ilmu kebidanan bagian patologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin, Palembang, 1983;15-33.
7. Winkjosastro, Hanifa, dkk. 2006. Letak Sungsang, dalam Ilmu kebidanan, edisi keenam. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 606-622
8. Winkjosastro, Hanifa, dkk. 2000. Ilmu Bedah Kebidanan edisi pertama, cetakan kelima. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 103-132.
9. Wiknjosastro H. 2002. Patologi Persalinan dan Penanganannya dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka: 607-622.
10. Jeremy Oats and Suzanne Abraham. 2005. Llewellyn-Jones Fundamentals of Obstetrics and Gynaecology 8th Edition. Elsevier Mosby, Edinburgh: 168-171
<!--37--><!--2--></div>
</div>
Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-84746801973314124772013-05-22T09:06:00.003-07:002013-05-22T09:06:56.870-07:00ASKEP Epilepsi2.1. Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ”embrio” epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th)
Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
2.3. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Gambar 2: bagian- bagian neuron
2.4. Klasifikasi Kejang
2.4.1. Berdasarkan penyebabnya
a. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.4.2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
Visual : terlihat cahaya
Auditoris : terdengar sesuatu
Olfaktoris : terhidu sesuatu
Gustatoris : terkecap sesuatu
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
Hanya dengan penurunan kesadaran
Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
Dengan automatisme
Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
2.5. Manifestasi Klinis dan Perilaku
a) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
b) Kelainan gambaran EEG
c) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
d) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
e) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
f) Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
h) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i) Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
j) Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
k) Gigi geliginya terkancing
l) Hitam bola matanya berputar- putar
m) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
Gambar1: Kejang epilepsi
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.
2.6. Pemeriksaan Diagnostik
a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
menilai fungsi hati dan ginjal
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
2.7. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
a) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
b) Melakukan terapi simtomatik
c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut “aura”. Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
2.8. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
2.9. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.11
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.11
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.11
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.11
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.11
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.11
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.
2.10. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat penyakit dahulu:
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
Tumor Otak
Kelainan pembuluh darah
demam,
stroke
gangguan tidur
penggunaan obat
hiperventilasi
stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f) Riwayat psikososial
Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat).
g) Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
h) Analisis Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS:
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi terkunci, lidah menjulur perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol Resiko cedera
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi Bersihan jalan napas tidak efektif
DS: terjadi aura (mendengar bunyi yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat sesuatu), halusinasi, perasaan bingung, melayang2.
DO: penurunan respon terhadap stimulus, terjadi salah persepsi Terjadi depolarisasi berlebih
Bangkitan listrik di bagian otak serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ sensori persepsi Gangguan persepsi sensori
DS: klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau “ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri Isolasi sosial
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas cepat atau tidak teratur Terjadi kejang epilepsi
Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit
Bingung Ansietas
DS: pasien mengeluh sesak
DO: RR meningkat dan tidak teratur, Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas Ketidakefektifan pola napas
DS: klien merasa lemas, klien mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi, takipnea, terjadi bangkitan listrik di otak
menyebar ke MO
mengganggu pusat kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas Intoleransi aktivitas
DS: pasien menunjukkan kelelahan, diam, tidak banyak bergerak
DO: penurunan kesadaran, penurunan kemampuan persepsi sensori, tidak ada reflek CO menurun
Suplai darah ke otak berkurang
Iskemia jaringan serebral (O2 tidak adekuat) Resiko penurunan perfusi serebral
3.2. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
4) Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5) Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6) Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7) Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
3.3. Intervensi dan rasional
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi
menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
3.4. Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)
4) Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal
6) Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7) Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
Status kesadaran pasien membaik
<blockquote></blockquote>Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-74488615854724216382010-07-12T04:50:00.000-07:002010-07-12T04:52:55.923-07:00askep bronkitis<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/TDsB_lDBI4I/AAAAAAAAAFs/9S8U92PTypo/s1600/ppok.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 254px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/TDsB_lDBI4I/AAAAAAAAAFs/9S8U92PTypo/s320/ppok.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5492986362296607618" /></a><br />Pengertian Bronkitis Kronis<br /><br /><br />Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002).<br /><br />Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.<br /><br />Patofisiologi Bronkitis Kronis<br /><br />Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.<br /><br />Tanda dan Gejala Bronkitis Kronis<br /><br />Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.<br /><br />Pemeriksaan Penunjang<br /><br />1. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia<br /><br />2. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar<br /><br />3. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.<br /><br />4. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat<br /><br />Bronkiektasis<br /><br />Pengertian Bronkiektasis<br /><br />Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe. (Bruner & Suddarth)<br /><br />Patofisiologi Bronkiektasis<br /><br />Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.<br /><br />Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.<br /><br />Tanda dan Gejala Bronkiektasis<br /><br />1. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak<br /><br />2. Jari tabuh, karena insufisiensi pernapasan<br /><br />3. Riwayat batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten negatif terhadap tuberkel basil<br /><br />Pemeriksaan Penunjang<br /><br />Bronkografi<br />Bronkoskopi<br />CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial<br />Emfisema<br /><br />Pengertian Emfisema<br /><br />Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)<br /><br />Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).<br /><br />Patofisiologi Emfisema<br /><br />Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.<br /><br />Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.<br /><br />Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.<br /><br />Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.<br /><br />Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.<br /><br />Pengertian Bronkitis Kronis<br /><br />Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002).<br /><br />Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.<br /><br />Patofisiologi Bronkitis Kronis<br /><br />Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.<br /><br />Tanda dan Gejala Bronkitis Kronis<br /><br />Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.<br /><br />Pemeriksaan Penunjang<br /><br />1. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia<br /><br />2. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar<br /><br />3. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.<br /><br />4. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat<br /><br />Bronkiektasis<br /><br />Pengertian Bronkiektasis<br /><br />Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe. (Bruner & Suddarth)<br /><br />Patofisiologi Bronkiektasis<br /><br />Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.<br /><br />Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.<br /><br />Tanda dan Gejala Bronkiektasis<br /><br />1. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak<br /><br />2. Jari tabuh, karena insufisiensi pernapasan<br /><br />3. Riwayat batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten negatif terhadap tuberkel basil<br /><br />Pemeriksaan Penunjang<br /><br />Bronkografi<br />Bronkoskopi<br />CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial<br />Emfisema<br /><br />Pengertian Emfisema<br /><br />Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)<br /><br />Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).<br /><br />Patofisiologi Emfisema<br /><br />Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.<br /><br />Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.<br /><br />Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.<br /><br />Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.<br /><br />Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.<br /><br />Tanda dan Gejala Asma<br /><br />Batuk<br />Dispnea<br />Mengi<br />Hipoksia<br />Takikardi<br />Berkeringat<br />Pelebaran tekanan nadi<br />Pemeriksaan Penunjang<br /><br />1. Rontgen dada : hiperinflasi dan pendataran diafragma<br /><br />2. Pemeriksaan sputum dan darah : eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil). Peningkatan kadar serum Ig E pada asma alergik<br /><br />3. AGD : hipoksi selama serangan akut<br /><br />4. Fungsi pulmonari :<br /><br />Biasanya normal<br />Serangan akut : Peningkatan TLC dan FRV; FEV dan FVC agak menurun<br />Asuhan Keperawatan PPOM<br /><br />Pengkajian<br /><br />Pengkajian mencakup pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang jelas dari proses penyakit :<br /><br />Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan ?<br />Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? Jenis aktivitas apa?<br />Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?<br />Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?<br />Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?<br />Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan kondisinya?<br />Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan; pertanyaan yang patut dipertimbangkan untuk mendapatkan data lebih lanjut termasuk :<br /><br />Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien?<br />Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya?<br />Apakah pasien mengkonstriksi otot-otot abdomen selama inspirasi?<br />Apakah pasien menggunakan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?<br />Apakah tampak sianosis?<br />Apakah vena leher pasien tampak membesar?<br />Apakah pasien mengalami edema perifer?<br />Apakah pasien batuk?<br />Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?<br />Bagaimana status sensorium pasien?<br />Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?<br />Diagnosa Keperawatan PPOM<br /><br />a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.<br /><br />b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi<br /><br />c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea<br /><br />d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi<br /><br />e) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang informasi.<br /><br /><br />Intervensi PPOM<br /><br />a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.<br /><br />Intervensi :<br /><br />Mandiri<br /><br />Auskultasi bunyi nafas<br />Kaji frekuensi pernapasan<br />Kaji adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan dan penggunaan otot bantu pernapasan<br />Berikan posisi yang nyaman pada pasien : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.<br />Hindarkan dari polusi lingkungan misal : asap, debu, bulu bantal<br />Dorong latihan napas abdomen<br />Observasi karakteristik batuk misalnya : menetap, batuk pendek, basah<br />Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung<br />Berikan air hangat<br />Kolaborasi :<br /><br />Berikan obat sesuai indikasi : bronkodilator, Xantin, Kromolin, Steroid oral/IV dan inhalasi, antimikrobial, analgesik<br />Berikan humidifikasi tambahan : misal nebuliser ultranik<br />Fisioterapi dada<br />Awasi GDA, foto dada, nadi oksimetri<br />b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi<br /><br />Mandiri :<br /><br />Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan alat bantu pernapasan<br />Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk bernapas<br />Kaji kulit dan warna membran mukosa<br />Dorong mengeluarkan sputum,penghisapan bila diindikasikan<br />Auskulatasi bunyi nafas<br />Palpasi fremitus<br />Awasi tingkat kesadaran<br />Batasi aktivitas pasien<br />Awasi TV dan irama jantung<br />Kolaborasi :<br /><br />Awasi GDA dan nadi oksimetri<br />Berikan oksigen sesuai indikasi<br />Berikan penekan SSP (antiansietas, sedatif atau narkotik)<br />Bantu intubasi, berikan ventilasi mekanik<br />c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea<br /><br />Intervensi :<br /><br />Mandiri :<br /><br />Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Evalusi berat badan<br />Auskultasi bunyi usus<br />Berikan perawatan oral sering<br />Berikan porsi makan kecil tapi sering<br />Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat<br />Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin<br />Timbang BB<br />Kolaborasi :<br /><br />Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna<br />Kaji pemeriksaan laboratorium seperti albumin serum<br />Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi<br />Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi<br />d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi<br /><br />Intervensi :<br /><br />Awasi suhu<br />Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan msukan cairan adekuat<br />Observasi warna, karakter, bau sputum<br />Awasi pengunjung<br />Seimbangkan aktivitas dan istirahat<br />Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat<br />Kolaborasi :<br /><br />Dapatkan spesimen sputum<br />Berikan antimikrobial sesuai indikasi<br />e) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang informasi.<br /><br />Jelaskan proses penyakit<br />Jelaskan pentingnya latihan nafas, batuk efektif<br />Diskusikan efek samping dan reaksi obat<br />Tunjukkan teknik penggunaan dosis inhaler<br />Tekankan pentingnya perawatan gigi /mulut<br />Diskusikan pentingya menghindari orang yang sedang infeksi<br />Diskusikan faktor lingkungan yang meningkakan kondisi seperti udara terlalu kering, asap, polusi udara. Cari cara untuk modifikasi lingkungan<br />Jelaskan efek, bahaya merokok<br />Berikan informasi tentang pembatasan aktivitas, aktivitas pilihan dengan periode istirahat<br />Diskusikan untuk mengikuti perawatan dan pengobatan<br />Diskusikan cara perawatan di rumah jika pasien diindikasikan pulangNs.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-82011729201125965472010-07-06T07:25:00.000-07:002010-07-06T07:29:04.905-07:00Askep Dermatitis<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/TDM9kcDBNWI/AAAAAAAAAFk/ZEirZC-ROfw/s1600/19323.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 256px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/TDM9kcDBNWI/AAAAAAAAAFk/ZEirZC-ROfw/s320/19323.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5490800066908206434" /></a><br />A. Definisi<br />Dermatitis adalah epidermo yang berupa gejala subyektif pruritus dan obyektif tampak imflamasi eritema<br /> ( arief masjoer.1998.Kapita Selekta.Edisi 3.Jakarta:EGC)<br /><br />Dermatitis adalah peradangan pada kulit ( umlamasi pada kulit ) yang disertai dengan pengelupasan kulit ari<br /> ( Brunner dan Suddart dan pembentukkan sisik 2000 )<br /><br />Dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal<br /> ( www.blogdokter,net2007)<br /><br />B. Etiologi<br />Penyebab Dermatitisbelum diketahui secara pasti. Sebagian besar merupakan respon kulit terhadap agen-agen misal nya zat kimia, bakteri dan fungi selain itu alergi makanan juga bisa menyebabkan dermatitis ( Arief Mansjoer.1998.”Kapita selekta” ). Dermatitis juga ada klasifikasinya (1.) Dermatutus kontak yang disebabkan oleh kontak dengan zat pewarna,zat detergen (2.) dermatitis atopik yang disebabkan sensitif terhadap serum . obat-obatan, reaksi abnormal karena perubahan suhu.<br /><br />C. Patofisiologis<br />Histamin dianggap sebagian zat penting yang memberikan reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotoksis dan menekan produksi sel,sehingga sel mempunyai kemampuan untuk melepaskan histamin. Sementara histamin itu sendiri tidak dapat menyebabkan lesi pada kulit tapi zat tersebut dapat menyebabkan pruritus dan eritema , mungkin karena garukan akibat gatal menimbulkan lesi pada kulit<br />D. Manifestasi klinis<br />Adanya tanda-tanda radang akut terutama pruritus ( gatal ), kenaikan suhu tubuh, kemerahan, edema misalnya pada muka ( terutama palpebra dan bibis ) dan gangguan fungsi kulit.<br /><br /> Obyektif, biasanya batas kelainan tidak tegas dan terdapat lesi polimorfi, yang dapat timbul secara serentak atau berturut-turut. Pada permulaan timbul secara serentak atau berturut-turut. Pada permulaan timbul eritema dan edema. Edema sangat jeas pada kulit yang longgar misalnya muka ( terutama palpebra dan bibir. Dan genetalia eksterna. Infiltrasi biasanya terdiri atas papul.<br /><br /> Dermatitis madidans ( basah ) berarti terdapat eksudasi. Disana-sini terdapat sumber dermatitis artinya terdapat vesikel-vesikel pungtiformis yang berkelompok dan kemudian membesar. Kelainan tersebut dapat disertai bula atau pustul jika disertai infeksi.<br /><br /> Dermatitis sika ( kering ) berarti tidak madidas. Bila gelembung-gelembung mengering maka akan terlihat erosi atau ekskoriasi dengan krusta. Hal ini berarti dermatitis menjadi kering disebut dermatitis sika. Pada stadium tersebut terjadi deskuamasi artinya timbul sisik-sisik. Bila proses menjadi kronis tampak likenifikasi dan sebagian sekuele terlihat hiperpigmrntas atau hipopigmentasi.<br /><br />E. Komplikasi<br />- Infeksi saluran nafas atas<br />- Bronkitis <br />- Infeksi kulit<br /><br />F. Penatalaksanaan medis<br />1. Pemeriksaan penunjang :<br />a. Percobaan asetikolin ( suntikan dalam intracutan, solusio asetilkolin 1/5000).<br />b. Percobaan histamin hostat disuntikkan pada lesi.<br /><br /><br /><br />2. Terapi<br />a. Terapi sitemik<br />Pada dermatitis ringan diberi antihistamin atau kombinasi antihistamin, antiserotonin, antigraditinin, arit – SRS – A dan pada kasus berat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid.<br />b. Terapi tropikal<br />Dermatitis akut diberi kompres bila sub akut cukup diberi bedak kocok bila kronik diber saleb<br />c. Diet<br />Tinggi kalori dan tinggi protein ( TKTP )<br />Contoh : daging, susu, ikan, kacang-kacangan, jeruk, pisang, dan lain-lain.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-16009717969225188372010-05-08T00:15:00.000-07:002010-05-08T00:16:31.255-07:00askep gadar pendarahanDefinisi <br /> Perdarahan terjadi jika pembuluh darah putus atau pecah. <br /> Perdarahan luar <br /> Perdarahan dalam <br /> Perdarahan hebat, dapat membahayakan shock hipovolemik <br /> Klafisikasi : perdarahan kapiler, perdarahan arteri, perdarahan vena.<br /><br />Asuhan Keperawatan <br />Pengkajian <br />Pengkajian ABCD, pucat, kulit dingin dan lembab, tekanan darah turun, nadi cepat tapi lemah, nafas dalam dan cepat, menurunnya produksi urine.<br />Diagnosa keperawatan <br />Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan kehilangan darah aktif. <br />Penurunan kardiak output berhubungan dengan penurunan preload, kehilangan darah. <br />Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan kehilangan darah.<br />Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan perfusi otak. <br />Tujuan keperawatan <br /> Mengontrol perdarahan. <br /> Mempertahankan volume darah sirkulasiadekuat untuk oksigenasi. <br /> Mencegah shock. <br /><br /><br />Penatalaksanaan kedaruratan <br />Potong baju pasien untuk mengidentifikasi area perdarahan dan lakukan pengkajian fisik dengan cepat. <br /> Beri penekanan pada area perdarahan. <br />• Penekanan langsung <br />Tekan langsung area perdarahan dengan telapak tangan atau menggunakan pembalut atau kainyang bersih selama kurang lebih 15 menit, dan pasang balutan tekanan kuat. <br />• Penekanan arteri <br />Penekanan dilakukan pada ujung arteri yang sesuai (ujung dimana arteri ditekan melawan tulang yang berada dibawahnya). <br />Enam titik utama penekanan <br /> Arteri temporalis : pada daerah depan masing-masing telinga dan dapat ditekan pada tulang tengkorak. <br /> Arteri fasialis : terletak dibawah dagu dan 2,5 cm sebelah dalam dagu. <br /> Arteri karotis komunis : pada sisi samping trachea. Saat dilakukan tekanan observasi pernapasan pasien dan tidak boleh pada kedua arteri karotis dalam waktu bersamaan. <br /> Arteri subklavia : terletak dibawah kedua sisi klavikula (tulang collar). Penekanan harus dilakukan pada posisi melintang dibelakang dan kira – kira setengah panjang klavikula. <br /> Arteri brakhialis : pada pertengahan antara siku dan bahu, terletak pada daerah yang lebih dalam dari lengan atas antara otot biseps dan triseps. <br /> Arteri femoralis : dapat dirasakan pada lipat paha. <br />• Torniket <br /> Pemasanagan torniket pada ekstremitas hanya sebagai upaya terakhir ketika perdarahan tidak dapat dikontrol dengan metode lain.<br /> Torniket dipasang tepat proksimal dengan luka ; torniket cukup kencang untuk mengontrol aliran darah arteri. <br /> Berikan tanda pada kulit pasien dengan pulpen atau plester dengan tanda T, menyatakan lokasi dan waktu pemasangan torniket. <br /> Longgarkan torniket sesuai petunjuk untuk mencegah kerusakan vascular atau neurologik. Bila sudah tidak ada perdarahan arteri, lepasakan torniket dan coba lagi balut dengan tekanan. <br /> Pada kejadian amputasi traumatic, jangan lepaskan torniket sampai pasien masuk ruang operasi. <br /> Tinggikan atau elevasikan bagian yang luka untuk memperlambat mengalirnya darah. <br /> Baringkan korban untuk mengurangi derasnya darah keluar. <br /> Berikan cairan pengganti sesuai saran, meliputi cairan elektrolit isotonic, plasma atau protein plasma, atau terapi komponen darah (bergantung perkiraan tipe dan volume cairan yang hilang). <br />• Darah segar diberikan bila ada kehilangan darah massif. <br />• Tamabahan trombosit dan factor pembekuan darah diberikan ketika jumlah darah yang besar diperlukan karena darah penggantian kekurangan factor pembekuan. <br /> Lakukan pemeriksaan darah arteri untuk menentukan gas darah dan memantau tekanan hemodinamik. <br /> Awasi tanda – tanda shock atau gagal jantung karena hipovolemia dan anoksia. <br /><br /><br />REFERENSI <br />Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta. <br />Hudak, Carolyn M. 1996. Keperawatan Kritis-Pendekatan holistic, Ed. 6. Vol. 2. EGC : Jakarta. <br />Pusponegoro, A.D. Dkk . Buku Panduan Penanggulangan Penderita gawat Darurat. Ambulance 118 : Jakarta. <br />Skeet, Muriel. 1995. Tindakan paramedic Terrhadap Kegawatan dan Pertolongan Pertama, Ed. 2. EGC : Jakarta.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-41160307753281995332010-05-08T00:14:00.001-07:002010-05-08T00:14:51.055-07:00Hemoglobin (Hb)Haemoglobin adalah kompleks protein-pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat didalam eritrosit. Sebuah molekul haemoglobin memiliki empat gugus haeme yang mengandung besi fero dan empat rantai globin. Terdapat beberapa bentuk haaemoglobin : tipe fetal (HbF) dan dua bentuk utama haemoglobin dewasa (HbA1 dan HbA2). Haemoglobin membawa oksigen, sebagian karbondioksida dan mendapat perubahan pH.<br />Glycosylated haemoglobin (HbA1) ---> kadar HbA1 menunjukkan kadar gula darah selama periode beberapa bulan dan dapat digunakan untuk menilai derajat pengendalian pada Diabetes mellitus.<br />Nilai normal Hb untuk laki-laki adalah 13 gr% - 18 gr%, dan untuk wanita adalah 11,5 gr% - 16,5 gr% (Brooker, 2001). <br /><br />Haemoglobin adalah Sebuah substansi didalam sel darah merah (erithrocyte) dan tanggung jawab masing-masing warna, terdiri dari pigmen haeme (zat besi - berisi porphyrin) terkait dengan protein globin. Haemoglobin memiliki sifat unik dapat menyatu dengan oksigen dan merupakan pengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Haemoglobin membawa oksigen dalam aliran darah melewati paru-paru dan bersama dengan darah sampai ke jaringan tubuh. Darah biasanya mengandung 12-18 g / dl dari hemoglobin.<br /><br /><br />Myohaemoglobin : zat besi - yang mengandung protein, menyerupai hemoglobin, ditemukan dalam sel otot. Seperti hemoglobin yang berisi kumpulan haeme. Ikatan yang mengandung oksigen, bertindak sebagai reservoir oksigen di dalam serabut otot .<br /><br />Oxyhaemoglobin : substansi darah merah dibentuk bila pigmen hemoglobin dalam sel darah merah menyatu kembali dengan oksigen. Oxyhaemoglobin adalah bentuk oksigen yang diangkut dari paru-paru ke sel-sel, di mana oksigen dilepaskan.<br /><br />Methahaemoglobin : substansi yang dibentuk apabila atom besi dari pigmen hemoglobin darah telah mengoksidasi dari ferrous ke bentuk ferric (bandingkan oxyhaemoglobin). Methahaemoglobin yang tidak dapat mengikat oksigen molekular dan karenanya tidak dapat mentransportasi oksigen ke seluruh tubuh. Keberadaan methahaemoglobin dalam darah (methahaemoglobinaemia) mungkin akibat menelan zat oksid dari narkoba atau dari warisan keabnormalan dari molekul hemoglobin. Gejala - gejala termasuk kelelahan, sakit kepala, pusing dan cyanosis (oxford electric medical dictionary).<br /><br />Referensi :<br />Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan.EGC : Jakarta.<br />oxford electric medical dictionary (Indonesian Translete by Patriani)Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-90575405203747796192010-05-08T00:13:00.001-07:002010-05-08T00:13:42.562-07:00askep ulkus dekubitusDefinisi<br />Ulkus dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dari bawah kulit bahkan menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus – menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah.<br />Ulkus dekubitus adalah ulkus yang ditimbulkan karena tekanan yang kuat oleh berat badan pada tempat tidur.<br />Luka dekubitus adalah nekrosis pada jaringan lunak antara tonjolan tulang dan permukaan padat, paling umum akibat imobilisasi.<br /><br />Etiologi<br />a) Tekanan<br />b) Kelembaban<br />c) Gesekan<br /><br /><br />Patofisiologi<br />Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, kalau salah satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan). Jaringan yang lebih dalam dekat tulang, terutama jaringan otot dengan suplai darah yang baik akan bergeser kearah gradient yang lebih rendah, sementara kulit dipertahankan pada permukaan kontak oleh friksi yang semakin meningkat dengan terdapatnya kelembaban, keadaan ini menyebabkan peregangan dan angggulasi pembuluh darah (mikro sirkulasi) darah yang dalam serta mengalami gaya geser jaringan yang dalam, ini akan menjadi iskemia dan dapat mengalami nekrosis sebelum berlanjut ke kulit.<br /><br />Manifestasi Klinis dan Komplikasi<br />a) Tanda cidera awal adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan ibu jari.<br />b) Pada cidera yang lebih berat dijumpai ulkus dikulit.<br />c) Dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih.<br />d) Dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kelemahan dan perawatan di Rumah Sakit yang berkepanjangan bahkan pada ulkus kecil.<br /><br />Pemeriksaan Diagnostik<br />a) Kultur : pertumbuhan mikroorganisme tiruan atau sel – sel jaringan.<br />b) Albumin serum : protein utama dalam plasma dan cairan serosa lain.<br /><br />Penatalaksanaan medis<br />a) Merubah posisi pasien yang sedang tirah baring.<br />b) Menghilangkan tekanan pada kulit yang memerah dan penempatan pembalut yang bersih dan tipis apabila telah berbentuk ulkus dekubitus.<br />c) Sistemik : antibiotic spectrum luas, seperti :<br />Amoxilin 4x500 mg selama 15 – 30 hari.<br />Siklosperm 1 – 2 gram selama 3 – 10 hari.<br />Topical : salep antibiotic seperti kloramphenikol 2 gram.<br /><br />Manajemen Keperawatan<br />1.Pengkajian<br />a)Aktivitas/ istirahat<br />Tanda : penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan rentang gerak.pada area yang sakit gangguannya misalnya otot perubahan tunas.<br />b) Sirkulasi<br />Tanda : hipoksia, penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cidera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin, pembentukan edema jaringan.<br />c) Eleminasi<br />Tanda : keluaran urin menurun adalah tidak adanya pada fase darurat, warna mungkin hitam kemerahan , bila terjadi, mengidentifiasi kerusakan otot.<br />d)Makanan/cairan<br />Tanda : edema jaringan umum, anoreksia, mual dan muntah.<br />e) Neurosensori<br />Gejala : area kebas/kesemutan<br />f) Pernapasan<br />Gejala :menurunnya fungsi medulla spinalis, edema medulla, kerusakan neurology, paralysis abdominal dan otot pernapasan.<br />g) Integritas ego<br />Gejala : masalah keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.<br />Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, mmenarik diri, marah.<br />h) Keamanan<br />Tanda : adanya fraktur akibat dilokasi (jatuh, kecelakaan, kontraksi otot tetanik, sampai dengan syok listrik).<br /><br />2.Diagnosa Keperawatan<br />1)Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.<br />2)Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, status yang dikondisikan, kehilangan control motorik akibat perubahan status mental.<br />3)Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral.<br />4)Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.<br />5)Risiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, tindakan dan perawatan dirumah.<br /><br />3.Intervensi dan Implementasi<br />1)Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.<br />- Terapkan prinsip pencegahan luka dekubitus.<br />R : prinsip pencegahan luka dekubitus, meliputi mengurangi atau merotasi tekanan dari jaringan lunak.<br />- Atur posis pasien senyaman mungkin.<br />R : meminimalkan terjadinya jaringan yang terkena dekubitus.<br />- Balut luka dengan balutan yang mempertahankan kelembaban lingkungan diatas dasar luka.<br />R : luka yang lembab dapat mempercepat kesembuhan.<br /><br />2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, status yang dikondisikan, kehilangan control motorik akibat perubahan status mental.<br />- Dukungan mobilisasi ketingkat yang lebih tinggi.<br />R : gerakan teratur menghilangkan tekanan konsisten diatas tonjolan tulang.<br />- Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan, seperti mandi.<br />R : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan control pasien dalam situasi dan peningkatan kesehatan lingkungan.<br />- Berikan perhatian khusus pada kulit.<br />R : penelitian menunjukkan bahwa kulit sangat rentan untuk mengalami kerusakan karena konsentrasi berat badan.<br /><br />3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral.<br />- Beri makan dalm jumlah kecil, sering dan dalam keadaan hangat.<br />R : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukkan, menambah napsu makan.<br />- Bantu kebersihan oral sebelum makan.<br />R : mulut/peralatan bersih meningkatkan napsu makan yang baik.<br />- Pertahankan kalori yang ketat.<br />R : pedoman tepat untuk pemasukkan kalori yang tepat.<br /><br />4) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.<br />- Gunakan tehnik yang tepat selama mengganti balutan.<br />R : teknik yang baik mengurangi masuknya mikroorganisme pathogen kedalam luka.<br /> Ukur tanda – tanda vital .<br />R : peningkatan suhu tubuh, takikardia menunjukkan adanya sepsis.<br />- Gunakan sarung tangan steril setiap mengganti balutan.<br />R : setiap ulkus terkontaminasi oleh mikroorganisme yang berbeda, tindakan ini dapat mencegah infeksi.<br />- Cuci dasar luka dengan larutan NaCl 0,9 %.<br />R : Dapat membuang jaringan yang mati pada permukaan kulit dan mengurangi mikroorganisme.<br />- Berikan obat antibiotic sesuai indikasi.<br />R : antibiotic pilihanpada ulkus dekubitus berguna melawan organisme gram negative dan gram positif.<br /><br />5) Risiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, tindakan dan perawatan dirumah.<br />- Anjurkan tindakan untuk mencegah luka dekubitus.<br />R : pencegahan luka dekubitus lebih mudah dari pengobatan.<br />- Anjurkan tindakan untuk mengobati luka dekubitus.<br />R : instruksi spesifik ini membantu pasien dan keluarga belajar untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah infeksi.<br /><br />4. Evaluasi<br />1) Pasien dapat mencegah dan mengidentifikasi factor penyebab luka dekubitus; menunjukkan kemajuan penyembuhan.<br />2) Pasien mempunyai kulit tanpa neritema dan tidak pucat.<br />3) Pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan massa otot.<br />4) Kulit tidak akan teritasi akibat pemajanan terhadap fekal atau urine drainage.<br />5) Menunjukkan hasil pembelajaran yang efektif untuk tujuan pemulangan dan perawatan pasien dirumah.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Capernito, Linda Juall. 1999. Rencana Diagnosa dan Dokumentasi Keperawatan : Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif Ed.2. Jakarta : EGC.<br />Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Keperawatan : Pedoman Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.<br />Nurachman, Elly. 2001. Nutrisi Dalam Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-16540262245441283812010-05-08T00:12:00.001-07:002010-05-08T00:12:43.888-07:00askep kolesistitisA. Definisi<br />Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang menrupakan inflamasi akut <br />dinding kandung empedu disertai nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas<br />badan. Dikenal dua klasifikasi yaitu akut dan kronis (Brooker, 2001).<br />Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya<br />merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara<br />tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa (www.medicastore.com). <br />Kolesistitis Kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu,<br />yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat<br />(www.medicastore.com).<br />Cholesistektomy adalah bedah pengangkatan kandung empedu (biasanya untuk<br />relief batu empedu sakit) (Dictionary: WordNet).<br /><br />B. Etiologi<br /> Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut, memiliki batu empedu.<br />Kadang suatu infeksi bakteri menyebabkan terjadinya peradangan.<br />Kolesistitis akut tanpa batu merupakan penyakit yang serius dan cenderung<br />timbul setelah terjadinya: - cedera,<br />- pembedahan<br />- luka bakar<br />- sepsis (infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh)<br />- penyakit-penyakit yang parah (terutama penderita yang menerima makanan lewat<br />infus dalam jangka waktu yang lama).<br />Sebelum secsara tiba-tiba merasakan nyeri yang luar biasa di perut bagian<br />atas, penderita biasanya tidak menunjukan tanda-tanda penyakit kandung empedu.<br />Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut,<br />yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan<br />kandung empedu.Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu.<br />Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat<br />pada usia diatas 40 tahun.<br />Faktor resiko terjadinya kolesistitis kronis adalah adanya riwayat<br />kolesistitis akut sebelumnya (www.medicastore.com).<br /><br /><br />C. Patofisiologi<br />Kandung empedu memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan cairan empedu dan<br />memekatkan cairan empedu yang ada didalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan<br />elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel<br />hati.<br />Pada individu normal, cairan empedu mengalir ke kandung empedu pada saat <br />katup Oddi tertutup. Dalam kandung empedu, cairan empedu dipekatkan dengan<br />mengabsorpsi air. Derajat pemekatannya diperlihatkan oleh peningkatan konsentrasi<br />zat-zat padat. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan<br />supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. <br />Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis<br />empedu, dapat menyebabkan infeksi kandung empedu (www.mamashealth.com).<br /><br />D. Gejala<br />Timbulnya gejala bisa dipicu oleh makan makanan berlemak. Gejala bisa berupa:<br />- Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan <br />bagian atas.<br />- Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke<br />bahu kanan.<br />- Biasanya terdapat mual dan muntah. <br />- Nyeri tekan perut<br />- Dalam beberapa jam, otot-otot perut sebelah kanan menjadi kaku.<br />- Pada mulanya, timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi.<br />- Serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu.<br />- Gangguan pencernaan menahun<br />- Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar)<br />- Sendawa.<br /><br />E. KOMPLIKASI<br /> Demam tinggi, menggigil, peningkatan jumlah leukosit dan berhentinya gerakan<br />usus (ileus) dapat menunjukkan terjadinya abses, gangren atau perforasi kandung<br />empedu.<br /> Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus balik dari empedu ke<br />dalam hati menunjukkan bahwa saluran empedu telah tersumbat sebagian oleh batu<br />empedu atau oleh peradangan.<br /> Jika pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar enzim amilase, mungkin<br />telah terjadi peradangan pankreas (pankreatitis) yang disebabkan oleh penyumbatan<br />batu empedu pada saluran pankreas (duktus pankreatikus).<br /><br />F. Pemeriksaan penunjang<br />- CT scan perut<br />- Kolesistogram oral<br />- USG perut.<br />- blood tests (looking for elevated white blood cells)<br /><br />G. Penatalaksanaan medis<br /> - Pengobatan yang biasa dilakukan adalah pembedahan.<br />- Kolesistektomi bisa dilakukan melalui pembedahan perut maupun melalui<br />laparoskopi.<br />- Penderita yang memiliki resiko pembedahan tinggi karena keadaan medis lainnya,<br />dianjurkan untuk menjalani diet rendah lemak dan menurunkan berat badan.<br />- Bisa diberikan antasid dan obat-obat antikolinergik.<br /><br /><br />MANAJEMEN KEPERAWATAN<br />A. PENGKAJIAN<br />Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara<br />menyeluruh (Boedihartono, 1994).<br />Pengkajian pasien Post operatif (Doenges, 1999) adalah meliputi :<br />1). Sirkulasi<br />Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular <br />perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan<br />trombus).<br />2). Integritas ego<br />Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress<br />multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.<br />Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ;<br />stimulasi simpatis.<br />3). Makanan / cairan<br />Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/<br />ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa <br />yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi<br />4). Pernapasan<br />Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.<br />5). Keamanan<br />Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; <br />Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan<br />penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat<br />keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat<br />penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat<br />mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.<br />Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.<br />6). Penyuluhan / Pembelajaran<br />Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi,<br />kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic,<br />dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau<br />tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan<br />rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal,<br />yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga<br />potensial bagi penarikan diri pasca operasi).<br /><br />B. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post Operatif meliputi :<br />1. Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan<br />perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru, obstruksi trakeobronkial.<br />2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia misalnya penggunaan<br />obat-obat farmasi, hipoksia ; lingkungan terapeutik yang terbatas misalnya<br />stimulus sensori yang berlebihan ; stress fisiologis.<br />3. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pembatasan<br />pemasukkan cairan tubuh secara oral, hilangnya cairan tubuh secara tidak<br />normal, pengeluaran integritas pembuluh darah.<br />4. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integrittas<br />otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang (Doenges,1999).<br /><br />C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI<br />Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan<br />untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,<br />1994).<br />Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang<br />telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi ,1995).<br />Intervensi keperawatan pada pasien post Operatif (Doenges, 1999) meliputi :<br />DP 1 :<br />Tujuan : menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau<br />tanda-tanda hipoksia lainnya.<br />Kriteria hasil : tidak ada perubahan pada frekuensi dan kedalaman pernapasan.<br />INTERVENSI<br /> - Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hiperekstensi rahang,<br />aliran udara faringeal oral.<br />R : mencegah obstruksi jalan napas.<br /> - Auskultasi suara napas. Dengarkan ada/tidaknya suara napas.<br />R : kurangnya suara napas adalah indikasi adanya obstruksi oleh mukus atau<br />lidah dan dapat dibenahi dengan mengubah posisi ataupun pengisapan.<br />- Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan, pemakaian otot-otot bantu<br />pernapasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernapasan cuping hidung,<br />warna kulit, dan aliran udara.<br />R : dilakukan untuk memastikan efektivitas pernapasan sehingga upaya<br />memperbaikinya dapat segerra dilakukan.<br /> - Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan<br />dan jenis pembedahan.<br />R : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari<br />muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian<br />bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.<br /> - Lakukan latihan gerak sesegera mungkin pada pasien yang reaktif dan lanjutkan<br />pada periode pascaoperasi.<br />R : ventilasi dalam yang aktif membuka alveolus, mengeluarkan sekresi,<br />meningkatkan pengangkutan oksigen, membuang gas anastesi ; batuk membantu<br />mengeluarkan sekresi dari sistem pernapasan.<br /> - Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan.<br />R : obstruksi jalan napas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus dalam <br />tenggorok atau trakhea.<br />- Kolaborasi, pemberian oksigen sesuai kebutuhan.<br />R : dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang<br />akan diikat oleh Hb yang menggantikan tempat gas anastesi dan mendorong<br />pengeluaran gas terssebut melalui zat-zat inhalasi.<br /><br />DP 2:<br />Tujuan : meningkatkan tingkat kesadaran.<br />Kriteria hasil : pasien mampu mengenali keterbatasan diri dan mencari sumber<br />bantuan sesuai kebutuhan.<br />INTERVENSI<br /> - Orientasikan kembali pasien secara terus menerus setelah keluar dari pengaruh<br />anastesi ; nyatakan bahwa operasi telah selesai dilakukan.<br />R : karena pasien telah meningkat kesadarannya, maka dukungan dan jaminan akan<br />membantu menghilangkan ansietas.<br /> - Bicara pada pasien dengan suara yang jelaas dan normal tanpa membentak, sadar<br />penuh akan apa yang diucapkan.<br />R : tidak dapat ditentukan kapan pasien akan sadar penuh, namun sensori<br />pendengaran merupakan kemampuan yang pertama kali akan pulih.<br /> - Evaluasi sensasi/pergerakkan ekstremitas dan batang tenggorok yang sesuai.<br />R : pengembalian fungsi setelah dilakukan blok saraf spinal atau lokal yang<br />bergantung pada jenis atau jumlah obat yang digunakan dan lamanya prosedur<br />dilakukan.<br />- Gunakan bantalan pada tepi tempat tidur, lakukan pengikatan jika diperlukan.<br />R : berikan keamanan bagi pasien selama tahap darurat, mencegah terjadinya<br />cedera pada kepala dan ekstremitas bila pasien melakukan perlawanan selama<br />masa disorientasi.<br />- Periksa aliran infus, selang endotrakeal, kateter, bila dipasang dan pastikan<br />kepatenannya.<br />R : pada pasien yang mengalami disorientasi, mungkin akan terjadi bendungan<br />pada aliran infus dan sistem pengeluaran lainnya, terlepas, atau tertekuk.<br /> - Pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman.<br />R : stimulus eksternal mungkin menyebabkan abrasi psikis ketika terjadi<br />disosiasi obat-obatan anastesi yang telah diberikan.<br /><br /><br />DP 3 :<br />Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat.<br />Kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil,<br />kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran mukosa<br />lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).<br />INTERVENSI<br />- Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi.<br />R : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran<br />cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi<br />intervensi.<br /> - Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan.<br />R : mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan setelaha prosedur pada<br />sistem genitourinarius dan atau struktur yang berdekatan mengindikasikan<br />malfungsi ataupun obstruksi sistem urinarius.<br />- Pantau tanda-tanda vital.<br />R : hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan<br />kekurangan cairan.<br /> - Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan<br />dan jenis pembedahan.<br />R : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari<br />muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian<br />bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.<br /> - Periksa pembalut, alat drain pada interval reguler. Kaji luka untuk terjadinya<br />pembengkakan.<br />R : perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia/hemoragi.<br /> - Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.<br />R : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan<br />sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.<br /> - Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander<br />sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan.<br />R : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu<br />penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, <br />misalnya ketidak seimbangan.<br /><br />DP 4:<br />Tujuan : pasien mengatakan bahwa rasa nyeri telah terkontrol atau hilang.<br />Kriteria hasil : pasien tampak rileks, dapat beristirahat/tidur dan melakukan<br />pergerakkan yang berarti sesuai toleransi.<br />INTERVENSI<br /> - Evaluasi rasa sakit seccara reguler, catat karakteristik, lokasi dan<br />intensiitas (0-10).<br />R : sediakan informasi mengenai kebutuhan/efektivitas intervensi.<br /> - Catat munculnya rasa cemas/takut dan hubungkan dengan lingkungan dan persiapan<br />untuk prosedur.<br />R : perhatikan hal-hal yang tidak diketahui dan/atau persiapan inadekuat<br />misalnya apendikstomi darurat) dapat memperburuk persepsi pasien akan rasa <br />sakit.<br /> - Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardia, hipertensi dan peningkatan<br />pernapasan, bahkan jika pasien menyangkal adanya rasa sakit.<br />R : dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan.<br /> - Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan.<br />R : pahami penyebab ketidaknyamanan, sediakan jaminan emosional.<br /> - Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalnya semi – Fowler ; miring.<br />R : mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi – <br />Fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan otot pungguung<br />artritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal.<br /> - Observasi efek analgetik.<br />R : respirasi mungkin menurun pada pemberian narkotik, dan mungkin menimbulkan<br />efek-efek sinergistik dengan zat-zat anastesi.<br /> - Kolaborasi, pemberian analgetik IV sesuai kebutuhan.<br />R : analgetik IV akan dengan segera mencapai pusat rasa saki, menimbulkan<br />penghilang yang lebih efektif dengan obat dosis kecil.<br /><br />B. EVALUASI<br />Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam<br />pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan<br />atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).<br />Evaluasi yang diharapkan pada pasien post Operatif meliputi : 5<br />1. Menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-<br />tanda hipoksia lainnya.<br />2. Meningkatkan tingkat kesadaran.<br />3. Keseimbangan cairan tubuh adekuat.<br />4. Pasien mengatakan bahwa rasa nyeri telah terkontrol atau hilang.<br /><br />DAFTAR REFERENSI :<br />Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta : EGC.<br />http://arifs45.multiply.com/journal/item/8<br />http://kamus.landak.com/cari/cholecystectomy<br />http://www.mamashealth.com/stomach/cholecy.asp<br />http://www.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=607<br />http://www.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=608<br />Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula, Edisi I. Jakarta : EGC.<br />Syaifudin, H, B.Ac, Drs. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, Edisi 2. <br />Jakarta: EGC.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-38007326870971407442010-05-08T00:11:00.001-07:002010-05-08T00:11:22.274-07:00TonsilitisA.Pengertian<br />Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga disebabkan oleh virus, pada tonsilitis ada dua yaitu :<br />-Tonsilitis Akut dan<br />-Tonsilitis Kronik<br /><br />B.Etiologi<br />Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus.<br />Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.<br /><br /><br />C.Patofisiologi<br />Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang – kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut.<br />1.Pada Tonsilitis Akut<br />Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear.<br />2.Pada Tonsilitif Kronik<br />Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.<br />Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu – abu atau kekuningan pada permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak – bercak tersebut sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman – kuman baik yang hidup maupun yang sudah mati.<br /><br />D. Manisfestasi Klinis<br />Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang – kadang pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau, yaitu :<br />• Suhu tubuh naik sampai 40 oC.<br />• Rasa gatal atau kering ditenggorokan.<br />• Lesu.<br />• Nyeri sendi, odinofagia.<br />• Anoreksia dan otolgia.<br />• Bila laring terkena suara akan menjadi serak.<br />• Tonsil membengkak.<br />• Pernapasan berbau.<br /><br />E. Komplikasi<br />• Otitis media akut.<br />• Abses parafaring.<br />• Abses peritonsil.<br />• Bronkitis,<br />• Nefritis akut, artritis, miokarditis.<br />• Dermatitis.<br />• Pruritis.<br />• Furunkulosis.<br /><br />F. Pemeriksaan Penunjang<br />• Kultur dan uji resistensi bila perlu.<br />• Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.<br /><br />G. Penatalaksanaan Medis<br />Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan – makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi untuk menyegarkan badan.<br />Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah penisilin. Kadang – kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari.<br />Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang – kadang dibutuhkan suntikan benzatin penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat.<br />• Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.<br />• Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari.<br />• Antipiretik.<br />• Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan.<br />• Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Belden MD. THT : www. emedicine. com. Last Updated 24 Juni 2003.<br />Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. FKUI. Jakarta.<br />Saten S. Chalazion. Taken From : www. emedicine. com. Last Updated : 5 Juli 2007Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-40890919942259965962010-05-08T00:08:00.000-07:002010-05-08T00:10:38.169-07:00AsKep AnemiaA. Pengertian<br />Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah (Doenges, 1999).<br />Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935).<br />Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).<br />Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium.<br /><br />B. Etiologi<br />Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.<br /><br />Penyebab umum dari anemia:<br />Perdarahan hebat<br />Akut (mendadak)<br />Kecelakaan<br />Pembedahan<br />Persalinan<br />Pecah pembuluh darah<br />Penyakit Kronik (menahun)<br />Perdarahan hidung<br />Wasir (hemoroid)<br />Ulkus peptikum<br />Kanker atau polip di saluran pencernaan<br />Tumor ginjal atau kandung kemih<br />Perdarahan menstruasi yang sangat banyak<br />Berkurangnya pembentukan sel darah merah<br />Kekurangan zat besi<br />Kekurangan vitamin B12<br />Kekurangan asam folat<br />Kekurangan vitamin C<br />Penyakit kronik<br />Meningkatnya penghancuran sel darah merah<br />Pembesaran limpa<br />Kerusakan mekanik pada sel darah merah<br />Reaksi autoimun terhadap sel darah merah<br />Hemoglobinuria nokturnal paroksismal<br />Sferositosis herediter<br />Elliptositosis herediter<br />Kekurangan G6PD<br />Penyakit sel sabit<br />Penyakit hemoglobin C<br />Penyakit hemoglobin S-C<br />Penyakit hemoglobin E<br />Thalasemia (Burton, 1990).<br /><br />C. Patofisiologi<br />Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.<br />Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.<br />Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).<br /><br />D. Manifestasi klinis<br />Gejala klinis yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan kurus kerempeng), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah).<br />Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung(Sjaifoellah, 1998).<br /><br />E. Komplikasi<br />Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak (Sjaifoellah, 1998).<br /><br />F. Pemeriksaan penunjang<br />Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hemalokrit menurun.<br />Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV (molume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata) menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB), peningkatan (AP). Pansitopenia (aplastik).<br />Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat (respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis).<br />Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat mengindikasikan tipe khusus anemia).<br />LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal : peningkatan kerusakan sel darah merah : atau penyakit malignasi.<br />Masa hidup sel darah merah : berguna dalam membedakan diagnosa anemia, misal : pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu hidup lebih pendek.<br />Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).<br />SDP : jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik).<br />Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau tinggi (hemolitik)<br />Hemoglobin elektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.<br />Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik).<br />Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia sehubungan dengan defisiensi masukan/absorpsi<br />Besi serum : tak ada (DB); tinggi (hemolitik)<br />TBC serum : meningkat (DB)<br />Feritin serum : meningkat (DB)<br />Masa perdarahan : memanjang (aplastik)<br />LDH serum : menurun (DB)<br />Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)<br />Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster, menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).<br />Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam hidroklorik bebas (AP).<br />Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk, membedakan tipe anemia, misal: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan penurunan sel darah (aplastik).<br />Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi perdarahan : perdarahan GI (Doenges, 1999).<br />G. Penatalaksanaan Medis<br />Tindakan umum :<br />Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang hilang.<br />1. Transpalasi sel darah merah.<br />2. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.<br />3. Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.<br />4. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan oksigen<br />5. Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.<br />6. Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.<br />Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :<br />1. Anemia defisiensi besi<br />Penatalaksanaan :<br />Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan makanan yang diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.<br />Pemberian preparat fe<br />Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan<br />Peroglukonat 3x 200 mg/hari /oral sehabis makan.<br />2. Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12<br />3. Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral<br />4. Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok dengan pemberian cairan dan transfusi darah.<br /><br />MANAJEMEN KEPERAWATAN<br />A. Pengkajian<br />Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluru(Boedihartono, 1994).<br />Pengkajian pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :<br />1) Aktivitas / istirahat<br />Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas ; penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.<br />Tanda : takikardia/ takipnae ; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunujukkan keletihan.<br />2) Sirkulasi<br />Gejala : riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI kronis, menstruasi berat (DB), angina, CHF (akibat kerja jantung berlebihan). Riwayat endokarditis infektif kronis. Palpitasi (takikardia kompensasi).<br />Tanda : TD : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural. Disritmia : abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi jantung : murmur sistolik (DB). Ekstremitas (warna) : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabu-abuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (AP). Sklera : biru atau putih seperti mutiara (DB). Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia) (DB). Rambut : kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature (AP).<br />3) Integritas ego<br />Gejala : keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya penolakan transfusi darah.<br />Tanda : depresi.<br />4) Eleminasi<br />Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB). Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan haluaran urine.<br />Tanda : distensi abdomen.<br />5) Makanan/cairan<br />Gejala : penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk sereal tinggi (DB). Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring). Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan sebagainya (DB).<br />Tanda : lidah tampak merah daging/halus (AP; defisiensi asam folat dan vitamin B12). Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit : buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas (DB). Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir : selitis, misalnya inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah. (DB).<br />6) Neurosensori<br />Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidak mampuan berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah ; parestesia tangan/kaki (AP) ; klaudikasi. Sensasi manjadi dingin.<br />Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental : tak mampu berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik : hemoragis retina (aplastik, AP). Epitaksis : perdarahan dari lubang-lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar, dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis (AP).<br />7) Nyeri/kenyamanan<br />Gejala : nyeri abdomen samara : sakit kepala (DB)<br />8) Pernapasan<br />Gejala : riwayat TB, abses paru. Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.<br />Tanda : takipnea, ortopnea, dan dispnea.<br />9) Keamanan<br />Gejala : riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia,. Riwayat terpajan pada radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan. Riwayat kanker, terapi kanker. Tidak toleran terhadap dingin dan panas. Transfusi darah sebelumnya. Gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk, sering infeksi.<br />Tanda : demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati umum. Ptekie dan ekimosis (aplastik).<br />10) Seksualitas<br />Gejala : perubahan aliran menstruasi, misalnya menoragia atau amenore (DB). Hilang libido (pria dan wanita). Imppoten.<br />Tanda : serviks dan dinding vagina pucat.<br /><br />B. Diagnosa Keperawatan<br />Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).<br />Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :<br />1. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)).<br />2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.<br />3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.<br />4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.<br />5. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.<br />6. Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.<br />7. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.<br /><br />C. Intervensi/Implementasi keperawatan<br />Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994)<br />Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).<br />Intervensi dan implementasi keperawatan pasien dengan anemia (Doenges, 1999) adalah :<br />1) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)).<br />Tujuan : Infeksi tidak terjadi.<br />Kriteria hasil : - mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi.<br />- meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.<br /><br />INTERVENSI & IMPLEMENTASI<br /> Tingkatkan cuci tangan yang baik ; oleh pemberi perawatan dan pasien.<br />Rasional : mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bacterial. Catatan : pasien dengan anemia berat/aplastik dapat berisiko akibat flora normal kulit.<br /> Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan luka.<br />Rasional : menurunkan risiko kolonisasi/infeksi bakteri.<br /> Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.<br />Rasional : menurunkan risiko kerusakan kulit/jaringan dan infeksi.<br /> Motivasi perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk dan napas dalam.<br />Rasional : meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.<br /> Tingkatkan masukkan cairan adekuat.<br />Rasional : membantu dalam pengenceran secret pernapasan untuk mempermudah pengeluaran dan mencegah stasis cairan tubuh misalnya pernapasan dan ginjal.<br /> Pantau/batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan.<br />Rasional : membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi. Perlindungan isolasi dibutuhkan pada anemia aplastik, bila respons imun sangat terganggu.<br /> Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam.<br />Rasional : adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan evaluasi/pengobatan.<br /> Amati eritema/cairan luka.<br />Rasional : indikator infeksi lokal. Catatan : pembentukan pus mungkin tidak ada bila granulosit tertekan.<br /> Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas sesuai indikasi (kolaborasi)<br />Rasional : membedakan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen khusus dan mempengaruhi pilihan pengobatan.<br /> Berikan antiseptic topical ; antibiotic sistemik (kolaborasi).<br />Rasional : mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi local.<br /><br />2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.<br />Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi<br />Kriteria hasil : - menunujukkan peningkatan/mempertahankan berat badan dengan nilai laboratorium normal.<br />- tidak mengalami tanda mal nutrisi.<br />- Menununjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang sesuai.<br /><br /><br />INTERVENSI & IMPLEMENTASI<br /> Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.<br />Rasional : mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi.<br /> Observasi dan catat masukkan makanan pasien.<br />Rasional : mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.<br /> Timbang berat badan setiap hari.<br />Rasional : mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.<br /> Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.<br />Rasional : menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan mencegah distensi gaster.<br /> Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang berhubungan.<br />Rasional : gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.<br /> Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut. Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral luka.<br />Rasional : meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat.<br /><br /> Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.<br />Rasional : membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.<br /> Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium.<br />Rasional : meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.<br /> Kolaborasi ; berikan obat sesuai indikasi.<br />Rasional : kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanyan masukkan oral yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.<br /><br />3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.<br />Tujuan : dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.<br />Kriteria hasil : - melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari)<br />- menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam rentang normal.<br /><br />INTERVENSI & IMPLEMENTASI<br /> Kaji kemampuan ADL pasien.<br />Rasional : mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.<br /> Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan kelemahan otot.<br />Rasional : menunjukkan perubahan neurology karena defisiensi vitamin B12 mempengaruhi keamanan pasien/risiko cedera.<br /> Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.<br />Rasional : manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.<br /> Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan kurangi suara bising, pertahankan tirah baring bila di indikasikan.<br />Rasional : meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.<br /> Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan pasien istirahat bila terjadi kelelahan dan kelemahan, anjurkan pasien melakukan aktivitas semampunya (tanpa memaksakan diri).<br />Rasional : meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan memperbaiki tonus otot/stamina tanpa kelemahan. Meingkatkan harga diri dan rasa terkontrol.<br />4) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.<br />Tujuan : peningkatan perfusi jaringan<br />Kriteria hasil : - menunjukkan perfusi adekuat, misalnya tanda vital stabil.<br /><br /><br /><br />INTERVENSI & IMPLEMENTASI<br /> Awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku.<br />Rasional : memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan dan membantu menetukan kebutuhan intervensi.<br /> Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.<br />Rasional : meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler. Catatan : kontraindikasi bila ada hipotensi.<br /> Awasi upaya pernapasan ; auskultasi bunyi napas perhatikan bunyi adventisius.<br />Rasional : dispnea, gemericik menununjukkan gangguan jajntung karena regangan jantung lama/peningkatan kompensasi curah jantung. <br /> Selidiki keluhan nyeri dada/palpitasi.<br />Rasional : iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/ potensial risiko infark.<br /> Hindari penggunaan botol penghangat atau botol air panas. Ukur suhu air mandi dengan thermometer.<br />Rasional : termoreseptor jaringan dermal dangkal karena gangguan oksigen.<br /> Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium. Berikan sel darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.<br />Rasional : mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan /respons terhadap terapi.<br /> Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.<br />Rasional : memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.<br /><br />5) Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.<br />Tujuan : dapat mempertahankan integritas kulit.<br />Kriteria hasil : - mengidentifikasi factor risiko/perilaku individu untuk mencegah cedera dermal.<br /><br />INTERVENSI & IMPLEMENTASI<br /> Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat local, eritema, ekskoriasi.<br />Rasional : kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.<br /> Reposisi secara periodic dan pijat permukaan tulang apabila pasien tidak bergerak atau ditempat tidur.<br />Rasional : meningkatkan sirkulasi kesemua kulit, membatasi iskemia jaringan/mempengaruhi hipoksia seluler.<br /> Anjurkan pemukaan kulit kering dan bersih. Batasi penggunaan sabun.<br />Rasional : area lembab, terkontaminasi, memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan organisme patogenik. Sabun dapat mengeringkan kulit secara berlebihan.<br /> Bantu untuk latihan rentang gerak.<br />Rasional : meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.<br /> Gunakan alat pelindung, misalnya kulit domba, keranjang, kasur tekanan udara/air. Pelindung tumit/siku dan bantal sesuai indikasi. (kolaborasi)<br />Rasional : menghindari kerusakan kulit dengan mencegah /menurunkan tekanan terhadap permukaan kulit.<br /><br />6) Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.<br />Tujuan : membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.<br />Kriteria hasil : - menunjukkan perubahan perilaku/pola hidup, yang diperlukan sebagai penyebab, factor pemberat.<br /><br />INTERVENSI & IMPLEMENTASI<br /> Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah.<br />Rasional : membantu mengidentifikasi penyebab /factor pemberat dan intervensi yang tepat.<br /> Auskultasi bunyi usus.<br />Rasional : bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.<br /> Awasi intake dan output (makanan dan cairan).<br />Rasional : dapat mengidentifikasi dehidrasi, kehilangan berlebihan atau alat dalam mengidentifikasi defisiensi diet.<br /> Dorong masukkan cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung.<br />Rasional : membantu dalam memperbaiki konsistensi feses bila konstipasi. Akan membantu memperthankan status hidrasi pada diare.<br /> Hindari makanan yang membentuk gas.<br />Rasional : menurunkan distress gastric dan distensi abdomen<br /> Kaji kondisi kulit perianal dengan sering, catat perubahan kondisi kulit atau mulai kerusakan. Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila terjadi diare.<br />Rasional : mencegah ekskoriasi kulit dan kerusakan.<br /> Kolaborasi ahli gizi untuk diet siembang dengan tinggi serat dan bulk.<br />Rasional : serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal dan dengan demikian menghasilkan bulk, yang bekerja sebagai perangsang untuk defekasi.<br /> Berikan pelembek feses, stimulant ringan, laksatif pembentuk bulk atau enema sesuai indikasi. Pantau keefektifan. (kolaborasi)<br />Rasional : mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi.<br /> Berikan obat antidiare, misalnya Defenoxilat Hidroklorida dengan atropine (Lomotil) dan obat mengabsorpsi air, misalnya Metamucil. (kolaborasi).<br />Rasional : menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.<br />7) Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.<br />Tujuan : pasien mengerti dan memahami tentang penyakit, prosedur diagnostic dan rencana pengobatan.<br />Kriteria hasil : - pasien menyatakan pemahamannya proses penyakit dan penatalaksanaan penyakit.<br />- mengidentifikasi factor penyebab.<br />- Melakukan tiindakan yang perlu/perubahan pola hidup.<br /><br />INTERVENSI & IMPLEMENTASI<br /> Berikan informasi tentang anemia spesifik. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya anemia.<br />Rasional : memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program terapi.<br /> Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic.<br />Rasional : ansietas/ketakutan tentang ketidaktahuan meningkatkan stress, selanjutnya meningkatkan beban jantung. Pengetahuan menurunkan ansietas.<br /> Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.<br />Rasional : megetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.<br /> Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.<br />Rasional : dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.<br /> Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.<br />Rasional : diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.<br /> Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.<br />Rasional : mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.<br /><br />D. Evaluasi<br />Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Lynda Juall Capenito, 1999:28)<br />Evaluasi pada pasien dengan anemia adalah :<br />1) Infeksi tidak terjadi.<br />2) Kebutuhan nutrisi terpenuhi.<br />3) Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.<br />4) Peningkatan perfusi jaringan.<br />5) Dapat mempertahankan integritas kulit.<br />6) Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.<br />7) Pasien mengerti dan memahami tentang penyakit, prosedur diagnostic dan rencana pengobatan.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Boedihartono. 1994. Proses Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta.<br />Burton, J.L. 1990. Segi Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Binarupa Aksara : Jakarta<br />Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. EGC : Jakarta<br />Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien. ed.3. EGC : Jakarta<br />Effendi , Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC : Jakarta.<br />Hassa. 1985. Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI : Jakarta<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia<br />http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0611/30/104458.htm<br />Noer, Sjaifoellah. 1998. Standar Perawatan Pasien. Monica Ester : Jakarta.<br />Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-68096624319015769512010-05-08T00:07:00.000-07:002010-05-08T00:08:12.531-07:00AsKep Trauma DadaA. PENGERTIAN<br />Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).<br />Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).<br />Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).<br />Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks, hematompneumothoraks (FKUI, 1995).<br />Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Hudak, 1999).<br />Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah. Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan (www.iwansain.wordpress.com).<br /><br />B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI<br />1) Tamponade jantung : disebabkan luka tusuk dada yang tembus ke mediastinum/daerah jantung.<br />2) Hematotoraks : disebabkan luka tembus toraks oleh benda tajam, traumatik atau spontan<br />3) Pneumothoraks : spontan (bula yang pecah) ; trauma (penyedotan luka rongga dada) ; iatrogenik (“pleural tap”, biopsi paaru-paru, insersi CVP, ventilasi dengan tekanan positif) (FKUI, 1995).<br /><br />C. PATOFISIOLOGI<br />Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, ,spontan -> Trauma dada ->1. Tamponade jantung -> Perdarahan dalam perikardium -> Nyeri akut -> Pengaliran darah kembali ke atrium -> Lambat tertolong dapat menyebabkan kematian.<br />2. Hematotoraks -> Perdarahan/syok -> Ketidakefektifan pola napas<br />3. Pneumothoraks ->Udara masuk kedalam rongga pleural ->Udara tidak dapat keluar -> Tekanan pleura meningkat.<br />1,2, & 3 dapat menyebabkan Ketidakefektifan pola napas.<br /><br /><br /><br /><br />D. MANIFESTASI KLINIS<br />1) Tamponade jantung :<br /> Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung.<br /> Gelisah.<br /> Pucat, keringat dingin.<br /> Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).<br /> Pekak jantung melebar.<br /> Bunyi jantung melemah.<br /> Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.<br /> ECG terdapat low voltage seluruh lead.<br /> Perikardiosentesis keluar darah (FKUI, 1995).<br />2) Hematotoraks :<br /> Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD.<br /> Gangguan pernapasan (FKUI, 1995).<br />3) Pneumothoraks :<br /> Nyeri dada mendadak dan sesak napas.<br /> Gagal pernapasan dengan sianosis.<br /> Kolaps sirkulasi.<br /> Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas yang terdengar jauh atau tidak terdengar sama sekali.<br /> pada auskultasi terdengar bunyi klik (Ovedoff, 2002).<br />Jarang terdapat luka rongga dada, walaupun terdapat luka internal hebat seperti aorta yang ruptur. Luka tikaman dapat penetrasi melewati diafragma dan menimbulkan luka intra-abdominal (Mowschenson, 1990).<br /><br />E. KOMPLIKASI<br />1) Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.<br />2) Pleura, paru-paru, bronkhi : hemo/hemopneumothoraks-emfisema pembedahan.<br />3) Jantung : tamponade jantung ; ruptur jantung ; ruptur otot papilar ; ruptur klep jantung.<br />4) Pembuluh darah besar : hematothoraks.<br />5) Esofagus : mediastinitis.<br />6) Diafragma : herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal (Mowschenson, 1990).<br /><br />F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1) Radiologi : foto thorax (AP).<br />2) Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.<br />3) Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.<br />4) Hemoglobin : mungkin menurun.<br />5) Pa Co2 kadang-kadang menurun.<br />6) Pa O2 normal / menurun.<br />7) Saturasi O2 menurun (biasanya).<br />8) Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,<br /><br />G. PENATALAKSANAAN<br />1) Darurat<br /> Anamnesa yang lengkap dan cepat. Anamnesa termasuk pengantar yang mungkin melihat kejadian. yang ditanyakan :<br />• Waktu kejadian<br />• Tempat kejadian<br />• Jenis senjata<br />• Arah masuk keluar perlukaan<br />• Bagaimana keadaan penderita selama dalam transportasi.<br /> Pemeriksaan harus lengkap dan cepat, baju penderita harus dibuka, kalau perlu seluruhnya.<br />• Inspeksi :<br />- Kalau mungkin penderita duduk, kalau tidak mungkin tidur. Tentukan luka masuk dan keluar.<br />- Gerakkan dan posisi pada akhir inspirasi.<br />- Akhir dari ekspirasi.<br />• Palpasi :<br />- Diraba ada/tidak krepitasi<br />- Nyeri tekan anteroposterior dan laterolateral.<br />- Fremitus kanan dan kiri dan dibandingkan.<br />• Perkusi :<br />- Adanya sonor, timpanis, atau hipersonor.<br />- Aadanya pekak dan batas antara yang pekak dan sonor seperti garis lurus atau garis miring.<br />• Auskultasi :<br />- Bising napas kanan dan kiri dan dibandingkan.<br />- Bising napas melemah atau tidak.<br />- Bising napas yang hilang atau tidak.<br />- Batas antara bising napas melemah atau menghilang dengan yang normal.<br />- Bising napas abnormal dan sebutkan bila ada.<br /> Pemeriksaan tekanan darah.<br /> Kalau perlu segera pasang infus, kalau perlu s yang besar.<br /> Pemeriksan kesadaran.<br /> Pemeriksaan Sirkulasi perifer.<br /> Kalau keadaan gawat pungsi.<br /> Kalau perlu intubasi napas bantuan.<br /> Kalau keadaan gawat darurat, kalau perlu massage jantung.<br /> Kalau perlu torakotomi massage jantung internal.<br /> Kalau keadaan stabil dapat dimintakan pemeriksaan radiologik (Foto thorax AP, kalau keadaan memungkinkan).<br /><br />2) Therapy<br /> Chest tube / drainase udara (pneumothorax).<br /> WSD (hematotoraks).<br /> Pungsi.<br /> Torakotomi.<br /> Pemberian oksigen.MANAJEMEN KEPERAWATANA. PENGKAJIAN<br />Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).<br />Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi :<br /> Aktivitas / istirahat<br />Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.<br /> Sirkulasi<br />Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah, tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ.<br /> Integritas ego<br />Tanda : ketakutan atau gelisah.<br /> Makanan dan cairan<br />Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.<br /> Nyeri/ketidaknyamanan<br />Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.<br />Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah.<br /> Pernapasan<br />Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit paru kronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial menyebar, keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.<br />Tanda : Takipnea ; peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ; fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan ; mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif.<br /> Keamanan<br />Geajala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan.<br /> Penyuluhan/pembelajaran<br />Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah intratorakal/biopsy paru.<br /><br />B. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.<br />2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.<br />3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.<br />4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.<br />5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.<br />6. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.<br /><br />C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI<br />Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)<br />Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).<br />Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma thorax (Wilkinson, 2006) meliputi :<br />1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.<br />Tujuan : Pola pernapasan efektive.<br />Kriteria hasil :<br />o Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.<br />o Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.<br />o Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.<br />Intervensi :<br /> Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.<br />R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.<br /> Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.<br />R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.<br /> Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.<br />R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.<br /> Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.<br />R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.<br /> Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.<br />R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.<br /> Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam :<br />1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.<br />R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.<br />2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.<br />R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.<br />3) Observasi gelembung udara botol penempung.<br />R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.<br /><br />4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.<br />R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.<br />5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.<br />R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.<br /> Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :<br />1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.<br /> Pemberian antibiotika.<br /> Pemberian analgetika.<br /> Fisioterapi dada.<br /> Konsul photo toraks.<br />R/ Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.<br /><br />2) Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.<br />Tujuan : Jalan napas lancar/normal<br />Kriteria hasil :<br />• Menunjukkan batuk yang efektif.<br />• Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.<br />• Klien nyaman.<br />Intervensi :<br /> Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.<br />R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.<br /> Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.<br />R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.<br />1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.<br />R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.<br />2) Lakukan pernapasan diafragma.<br />R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.<br />3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.<br />4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.<br />R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.<br /> Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.<br />R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.<br /> Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.<br />R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.<br /> Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.<br />R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.<br /> Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :<br />Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.<br /> Pemberian expectoran.<br /> Pemberian antibiotika.<br /> Fisioterapi dada.<br /> Konsul photo toraks.<br />R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.<br />3) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.<br />Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.<br />Kriteria hasil :<br />• Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.<br />• Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri.<br />• Pasien tidak gelisah.<br />Intervensi :<br /> Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.<br />R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.<br />1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.<br />R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.<br />2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.<br />R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.<br /> Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.<br />R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.<br /> Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.<br />R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.<br /> Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.<br />R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.<br /> Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.<br />R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.<br /><br />4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.<br />Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.<br />Kriteria Hasil :<br />• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.<br />• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.<br />• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.<br />Intervensi :<br /> Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.<br />R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.<br /> Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.<br />R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.<br /> Pantau peningkatan suhu tubuh.<br />R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.<br /> Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.<br />R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.<br /> Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.<br />R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.<br /> Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.<br />R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.<br /> Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.<br />R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.<br /><br />5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.<br />Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.<br />Kriteria hasil :<br />• penampilan yang seimbang..<br />• melakukan pergerakkan dan perpindahan.<br />• mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :<br /> 0 = mandiri penuh<br /> 1 = memerlukan alat Bantu.<br /> 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.<br /> 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.<br /> 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.<br />Intervensi :<br /> Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.<br />R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.<br /> Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.<br />R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.<br /> Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.<br />R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.<br /> Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.<br />R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.<br /> Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.<br />R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.<br /><br />6) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.<br />Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.<br />Kriteria hasil :<br />• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.<br />• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.<br />• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.<br />Intervensi :<br /> Pantau tanda-tanda vital.<br />R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.<br /> Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.<br />R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.<br /> Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.<br />R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.<br /> Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.<br />R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.<br /> Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.<br />R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.<br /><br />D. EVALUASI<br />Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, Christine. 2001).<br />Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma thorax/dada adalah :<br />1) Pola pernapasan efektive.<br />2) Jalan napas lancar/normal<br />3) Nyeri berkurang/hilang.<br />4) Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.<br />5) pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal<br />6) infeksi tidak terjadi / terkontrol<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.<br />Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.<br />Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.<br />Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.<br />FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta<br />Hudak, C.M. 1999. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.<br />Mowschenson, Peter M. 1990. Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk pemula. Edisi 2. Binarupa Aksara : Jakarta.<br />Nasrul Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.<br />Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.<br />Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.<br />www.iwansain.wordpress.comNs.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-91142941749225244712010-05-08T00:06:00.001-07:002010-05-08T00:06:24.711-07:00AsKep Trauma AbdomenTRAUMA ABDOMENA. PENGERTIAN<br />Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).<br />Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).<br />Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).<br />Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).<br />Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).<br /><br />B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI<br />1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).<br />Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.<br />2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).<br />Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).<br /><br /><br />C. PATOFISIOLOGI<br />Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-Trauma abdomen- :<br />1. Trauma tumpul abdomen<br /> Kehilangan darah.<br /> Memar/jejas pada dinding perut.<br /> Kerusakan organ-organ.<br /> Nyeri<br /> Iritasi cairan usus<br />2.Trauma tembus abdomen<br /> Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ<br /> Respon stres simpatis<br /> Perdarahan dan pembekuan darah<br /> Kontaminasi bakteri<br /> Kematian sel<br /> 1 & 2 menyebabkan :<br />Kerusakan integritas kulit<br />Syok dan perdarahan<br />Kerusakan pertukaran gas<br />Risiko tinggi terhadap infeksi<br />Nyeri akut (FKUI, 1995).<br />D. TANDA DAN GEJALA<br />1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :<br /> Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ<br /> Respon stres simpatis<br /> Perdarahan dan pembekuan darah<br /> Kontaminasi bakteri<br /> Kematian sel<br />2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).<br /> Kehilangan darah.<br /> Memar/jejas pada dinding perut.<br /> Kerusakan organ-organ.<br /> Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.<br /> Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).<br /><br />E. KOMPLIKASI<br /> Segera : hemoragi, syok, dan cedera.<br /> Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).<br /><br />F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br /> Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.<br /> Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.<br /> Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.<br /> IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.<br /> Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.<br /> Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).<br /><br />G. PENATALAKSANAAN<br /> Penatalaksanaan kedaruratan ; ABCDE.<br /> Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.<br /> Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar (perdarahan).<br /> Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).<br /><br />MANAJEMEN KEPERAWATAN<br />A. PENGKAJIAN<br />Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).<br />Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :<br />1. Trauma Tembus abdomen<br /> Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).<br /> Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.<br /> Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).<br /> Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.<br /> Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.<br /> Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.<br /><br />2. Trauma tumpul abdomen<br /> Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah). dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :<br />• Metode cedera.<br />• Waktu awitan gejala.<br />• Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.<br />• Waktu makan atau minum terakhir.<br />• Kecenderungan perdarahan.<br />• Penyakit danmedikasi terbaru.<br />• Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.<br />• Alergi.<br /> Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.<br /><br />PENATALAKSANAAN KEDARURATAN<br />1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.<br />2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.<br />a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.<br />b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.<br />c) Gunting baju dari luka.<br />d) Hitung jumlah luka.<br />e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.<br />3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.<br />4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.<br />a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.<br />b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.<br />c) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.<br />d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.<br />5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.<br />6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah nkekeringan visera.<br />a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.<br />b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.<br />7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.<br />8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.<br />9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.<br />10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.<br />a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.<br />b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.<br />c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.<br />11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.<br />12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).<br />13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.<br /><br />PENATALAKSANAAN DIRUANG PERAWATAN LANJUTAN<br />B. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).<br />Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :<br />1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.<br />2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.<br />3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.<br />4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.<br />5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.<br /><br />C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI<br />Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994).<br />Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).<br />Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :<br />1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.<br />Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.<br />Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.<br />- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.<br />- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.<br />Intervensi dan Implementasi :<br />a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.<br />R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.<br />b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.<br />R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.<br />c. Pantau peningkatan suhu tubuh.<br />R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.<br />d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.<br />R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.<br />e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.<br />R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.<br />f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.<br />R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.<br />g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.<br />R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.<br /><br />2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.<br />Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.<br />Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.<br />- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.<br />- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.<br />Intervensi dan Implementasi :<br />a. Pantau tanda-tanda vital.<br />R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.<br />b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.<br />R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.<br />c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.<br />R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.<br />d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.<br />R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.<br />e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.<br />R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.<br /><br />3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.<br />Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.<br />Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang<br />- Klien tampak tenang.<br />Intervensi dan Implementasi :<br />a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga<br />R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif<br />b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri<br />R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri<br />c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri<br />R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri<br />d. Observasi tanda-tanda vital.<br />R/ untuk mengetahui perkembangan klien<br />e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik<br />R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.<br /><br />4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.<br />Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.<br />Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.<br />- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.<br />- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.<br />Intervensi dan Implementasi :<br />a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.<br />R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.<br />b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.<br />R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.<br />c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.<br />R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.<br />d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.<br />R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.<br /><br />5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.<br />Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.<br />Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..<br />- melakukan pergerakkan dan perpindahan.<br />- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :<br /> 0 = mandiri penuh<br /> 1 = memerlukan alat Bantu.<br /> 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.<br /> 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.<br /> 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.<br />Intervensi dan Implementasi :<br />a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.<br />R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.<br />b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.<br />R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.<br />c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.<br />R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.<br />d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.<br />R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.<br />e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.<br />R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.<br /><br />D. EVALUASI<br />Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).<br />Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :<br />1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.<br />2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.<br />3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.<br />4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.<br />5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.<br />Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.<br />Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.<br />FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta<br />Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.<br />Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-38313763773575646812010-05-08T00:03:00.000-07:002010-05-08T00:05:27.147-07:00AsKep MiocarditisA. PENGERTIAN<br />Myocardium lapisan medial dinding jantung yang terdiri atas jaringan otot jantung yang sangat khusus (Brooker, 2001).<br />Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. pada umumnya disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi, tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan efek toxin bahan-bahan kimia dan radiasi (FKUI, 1999).<br />Myocarditis adalah peradangan dinding otot jantung yang disebabkan oleh infeksi atau penyebab lain sampai yang tidak diketahui (idiopatik) (Dorland, 2002).<br />Miokarditis adalah inflamasi fokal atau menyebar dari otot jantung (miokardium) (Doenges, 1999).<br />Dari pebgertian diatas dapat disimpulkan bahwa myocarditis adalah peradangan/inflamasi otot jantung oleh berbagai penyebab terutama agen-agen infeksi.<br /><br /><br />B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI<br />1) Acute isolated myocarditis adalah miokarditis interstitial acute dengan etiologi tidak diketahui.<br />2) Bacterial myocarditis adalah miokarditis yang disebabkan oleh infeksi bakteri.<br />3) Chronic myocarditis adalah penyakit radang miokardial kronik.<br />4) Diphtheritic myocarditis adalah mikarditis yang disebabkan oleh toksin bakteri yang dihasilkan pada difteri : lesi primer bersifat degeneratiff dan nekrotik dengan respons radang sekunder.<br />5) Fibras myocarditis adalah fibrosis fokal/difus mikardial yang disebabkan oleh peradangan kronik.<br />6) Giant cell myocarditis adalah subtype miokarditis akut terisolasi yang ditandai dengan adanya sel raksasa multinukleus dan sel-sel radang lain, termasuk limfosit, sel plasma dan makrofag dan oleh dilatasi ventikel, trombi mural, dan daerah nekrosis yang tersebar luas.<br />7) Hypersensitivity myocarditis adalah mikarditis yang disebabkan reaksi alergi yang disebabkan oleh hipersensitivitas terhadap berbagai obat, terutama sulfonamide, penicillin, dan metildopa.<br />8) Infection myocarditis adalah disebabkan oleh agen infeksius ; termasuk bakteri, virus, riketsia, protozoa, spirochaeta, dan fungus. Agen tersebut dapat merusak miokardium melalui infeksi langsung, produksi toksin, atau perantara respons immunologis.<br />9) Interstitial myocarditis adalah mikarditis yang mengenai jaringan ikat interstitial.<br />10) Parenchymatus myocarditis adalah miokarditis yang terutama mengenai substansi ototnya sendiri.<br />11) Protozoa myocarditis adalah miokarditis yang disebabkan oleh protozoa terutama terjadi pada penyakit Chagas dan toxoplasmosis.<br />12) Rheumatic myocarditis adalah gejala sisa yang umum pada demam reumatik.<br />13) Rickettsial myocarditis adalah mikarditis yang berhubungan dengan infeksi riketsia.<br />14) Toxic myocarditis adalah degenerasi dan necrosis fokal serabut miokardium yang disebabkan oleh obat, bahan kimia, bahan fisik, seperti radiasi hewan/toksin serangga atau bahan/keadaan lain yang menyebabkan trauma pada miokardium.<br />15) Tuberculosis myocarditis adalah peradangan granulumatosa miokardium pada tuberkulosa.<br />16) Viral myocarditis disebabkan oleh infeksi virus terutama oleh enterovirus ; paling sering terjadi pada bayi, wanita hamil, dan pada pasien dengan tanggap immune rendah (Dorland, 2002).<br /><br />C. PATOFISIOLOGI<br />Kerusakan miokard oleh kuman-kuman infeksius dapat melalui tiga mekanisme dasar :<br />1) Invasi langsung ke miokard.<br />2) Proses immunologis terhadap miokard.<br />3) Mengeluarkan toksin yang merusak miokardium.<br />Proses miokarditis viral ada 2 tahap :<br />Fase akut berlangsung kira-kira satu minggu, dimana terjadi invasi virus ke miokard, replikasi virus dan lisis sel. Kemudian terbentuk neutralizing antibody dan virus akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan bantuan makrofag dan natural killer cell (sel NK).<br />Pada fase berikutnya miokard diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan system immune akan diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibody terhadap miokard, akibat perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus. Fase ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti kerusakan miokard dari yang minimal sampai yang berat (FKUI, 1999).<br />D. GEJALA KLINIS<br /> Letih.<br /> Napas pendek.<br /> Detak jantung tidak teratur.<br /> Demam.<br /> Gejala-gejala lain karena gangguan yang mendasarinya (Griffith, 1994).<br /> Menggigil.<br /> Demam.<br /> Anoreksia.<br /> Nyeri dada.<br /> Dispnea dan disritmia.<br /> Tamponade ferikardial/kompresi (pada efusi perikardial) (DEPKES, 1993).<br /><br />E. KOMPLIKASI<br />1) Kardiomiopati kongestif/dilated.<br />2) Payah jantung kongestif.<br />3) Efusi perikardial.<br />4) AV block total.<br />5) Trombi Kardiac (FKUI, 1999).<br /><br />F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1) Laboratorium : leukosit, LED, limfosit, LDH.<br />2) Elektrokardiografi.<br />3) Rontgen thorax.<br />4) Ekokardiografi.<br />5) Biopsi endomiokardial (FKUI, 1999).<br /><br />G. PENATALAKSANAAN<br />1) Perawatan untuk tindakan observasi.<br />2) Tirah baring/pembatasan aktivitas.<br />3) Antibiotik atau kemoterapeutik.<br />4) Pengobatan sistemik supportif ditujukan pada penyakti infeksi sistemik (FKUI, 1999).<br />5) Antibiotik.<br />6) Obat kortison.<br />7) Jika berkembang menjadi gagal jantung kongestif : diuretik untuk mnegurangi retensi ciaran ; digitalis untuk merangsang detak jantung ; obat antibeku untuk mencegah pembentukan bekuan (Griffith, 1994).<br /><br />MANAJEMEN KEPERAWATAN<br />A. PENGKAJIAN<br />Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).<br />Pengkajian pasien myocarditis (Marilynn E. Doenges, 1999) meliputi :<br /> Aktivitas / istirahat<br />Gejala : kelelahan, kelemahan.<br />Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas.<br /> Sirkulasi<br />Gejala : riwayat demam rematik, penyakit jantung congenital, bedah jantung, palpitasi, jatuh pingsan.<br />Tanda : takikardia, disritmia, perpindaha titik impuls maksimal, kardiomegali, frivtion rub, murmur, irama gallop (S3 dan S4), edema, DVJ, petekie, hemoragi splinter, nodus osler, lesi Janeway.<br /> Eleminasi<br />Gejala : riwayat penyakit ginjal/gagal ginjal ; penurunan frekuensi/jumlsh urine.<br />Tanda : urin pekat gelap.<br /> Nyeri/ketidaknyamanan<br />Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakkan menelan, berbaring.<br />Tanda : perilaku distraksi, misalnya gelisah.<br /> Pernapasan<br />Gejala : napas pendek ; napas pendek kronis memburuk pada malam hari (miokarditis).<br />Tanda : dispnea, DNP (dispnea nocturnal paroxismal) ; batuk, inspirasi mengi ; takipnea, krekels, dan ronkhi ; pernapasan dangkal.<br /> Keamanan<br />Gejala : riwayat infeksi virus, bakteri, jamur (miokarditis ; trauma dada ; penyakit keganasan/iradiasi thorakal ; dalam penanganan gigi ; pemeriksaan endoskopik terhadap sitem GI/GU), penurunan system immune, SLE atau penyakit kolagen lainnya.<br />Tanda : demam.<br /> Penyuluhan / Pembelajaran<br />Gejala : terapi intravena jangka panjang atau pengguanaan kateter indwelling atau penyalahgunaan obat parenteral.<br /><br />B. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).<br />Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :<br />1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi miokardium, efek-efek sistemik dari infeksi, iskemia jaringan.<br />2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung.<br />3. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan degenerasi otot jantung, penurunan/kontriksi fungsi ventrikel.<br />4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, rencana pengobatan berhubungan dengan kurang pengetahuan/daya ingat, mis- intepretasi informasi, keterbatasan kognitif, menyangkal diagnosa.<br /><br />C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI<br />Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)<br />Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).<br />Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999).<br />1. Nyeri<br />Tujuan : nyeri hilang atau terkontrol.<br />Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang<br />- Klien tampak tenang.<br />Intervensi dan Implementasi :<br /> Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan awitan dan faktor pemberat atau penurun. Perhatikan petunjuk nonverbal dari ketidaknyamanan, misalnya ; berbaring dengan diam/gelisah, tegangan otot, menangis.<br />R : pada nyeri ini memburuk pada inspirasi dalam, gerakkan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak/membungkuk.<br /> Berikan lingkungan yang tenang dan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, penggunaan kompres hangat/dingin, dukungan emosional.<br />R : tindakan ini dapat menurunkan ketidaknyamanan fisik dan emosional pasien.<br /> Berikan aktivitas hiburan yang tepat.<br />R : mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.<br /> Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi (agen nonsteroid : aspirin, indocin ; antipiretik ; steroid).<br />R : dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi, menurunkan demam ; steroid diberikan untuk gejala yang lebih berat.<br /> kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.<br />R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung.<br /><br />2. Intoleransi aktivitas<br />Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.<br />Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.<br />- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.<br />- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.<br /><br />Intervensi dan Implementasi :<br /> Kaji respons pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya perubahan dan keluhan kelemahan, keletiahan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas.<br />R : miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan fungsi sel-sel miokardial.<br /> Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan.<br />R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.<br /> Pertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi.<br />R : meningkatkan resolusi inflamasi selama fase akut.<br /> Rencanakan perawatan dengan periode istirahat/tidur tanpa gangguan.<br />R : memberikan keseimbangan dalam kebutuhan dimana aktivitas bertumpu pada jantung.<br /> Bantu pasien dalam program latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur, mencatat respons tanda vital dan toleransi pasien pada peningkatan aktivitas.<br />R : saat inflamasi/kondisi dasar teratasi, pasien mungkin mampu melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali kerusakan miokard permanen/terjadi komplikasi.<br /> kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.<br />R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung.<br /><br />3. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung<br />Tujuan : mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.<br />Kriteria Hasil : - melaporkan/menunjukkan penurunan periode dispnea, angina, dan disritmia.<br />- memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil.<br />Intervensi dan Implementasi :<br /> Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan.<br />R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.<br /> Pertahankan tirah baring dalam posisi semi-Fowler.<br />R : menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung.<br /> Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan jarak/muffled tonus jantung, murmur, gallop S3 dan S4.<br />R : memberikan deteksi dini dari terjadinya komplikasi misalnya : GJK, tamponade jantung.<br /> Berikan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, dan aktivitas hiburan dalam tolerransi jantung.<br />R : meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali perhatian.<br /><br />4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar)<br />Tujuan : menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.<br />Kriteria hasil : - mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu diperhatikan.<br />- memperlihatan perubahan perilaku untuk mencegah komplikasi..<br />Intervensi dan Implementasi :<br /> Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.<br />R : Perasaan sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minat pasien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit.<br /> Jelaskan efek inflamasi pada jantung, secara individual pada pasien. Ajarakkn untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/berulangnya dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan, contoh ; demam, peningkatan nyeri dada yang tak biasanya, peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap aktivitas.<br />R : untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan tanda/gejala yang menunjukan kekambuhan/komplikasi.<br /><br /> Anjurkan pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan dan efek samping obat; kebutuhan diet ; pertimbangan khusus ; aktivitas yang diijinkan/dibatasi.<br />R : informasi perlu untuk meningkatkan perawatan diri, peningkatan keterlibatan pada program terapeutik, mencegah komplikasi.<br /> Kaji ulang perlunya antibiotic jangka panjang/terapy antimicrobial.<br />R : perawatan di rumah sakit lama/pemberian antibiotic IV/antimicrobial perlu sampai kultur darah negative/hasil darah lain menunjukkan tak ada infeksi.<br /><br />D. EVALUASI<br />Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).<br />Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :<br />1. Nyeri hilang atau terkontrol<br />2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.<br />3. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.<br />4. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.DEPKES. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. EGC : Jakarta.Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-42017796842866713282010-05-07T23:59:00.000-07:002010-05-08T00:00:45.369-07:00AsKep VertigoPengertian<br />Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar. Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan pusing. Dari (http://www.kalbefarma.com).<br /><br /><br />Etiologi<br />Menurut (Burton, 1990 : 170) yaitu :<br />a) Lesi vestibular<br /> Fisiologik<br /> Labirinitis<br /> Menière<br /> Obat ; misalnya quinine, salisilat.<br /> Otitis media<br /> “Motion sickness”<br /> “Benign post-traumatic positional vertigo”<br />b) Lesi saraf vestibularis<br /> Neuroma akustik<br /> Obat ; misalnya streptomycin<br /> Neuronitis vestibular<br />c) Lesi batang otak, serebelum atau lobus temporal<br /> Infark atau perdarahan pons<br /> Insufisiensi vertebro-basilar<br /> Migraine arteri basilaris<br /> Sklerosi diseminata<br /> Tumor<br /> Siringobulbia<br /> Epilepsy lobus temporal<br />Menurut(http://www.kalbefarma.com)<br />1. Penyakit Sistem Vestibuler Perifer :<br />a. Telinga bagian luar : serumen, benda asing.<br />b. Telinga bagian tengah: retraksi membran timpani, otitis media purulenta akuta, otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan perdarahan.<br />c. Telinga bagian dalam: labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular, alergi, hidrops labirin (morbus Meniere ), mabuk gerakan, vertigo postural.<br />d. Nervus VIII. : infeksi, trauma, tumor.<br />e. Inti<br />Vestibularis: infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli posterior inferior, tumor, sklerosis multipleks.<br />2. Penyakit SSP :<br />a. Hipoksia Iskemia otak. : Hipertensi kronis, arterios-klerosis, anemia, hipertensi kardiovaskular, fibrilasi atrium paroksismal, stenosis dan insufisiensi aorta, sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi ortostatik, blok jantung.<br />b. Infeksi : meningitis, ensefalitis, abses, lues.<br />c. Trauma kepala/ labirin.<br />d. Tumor.<br />e. Migren.<br />f. Epilepsi.<br />3. Kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula adrenal, keadaan menstruasi-hamil-menopause.<br />4. Kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia.<br />5. Kelainan mata: kelainan proprioseptik.<br />6. Intoksikasi.<br /><br />Patofisiologi<br />Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.<br />Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.<br />Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam<br />keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya (http://www.kalbefarma.com).<br /><br />Klasifikasi Vertigo<br />Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok :<br />1. Vertigo paroksismal<br />Yaitu vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan. Vertigo jenis ini dibedakan menjadi :<br />1) Yang disertai keluhan telinga :<br />Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii posterior, kelainan gigi/ odontogen.<br />2) Yang tanpa disertai keluhan telinga; termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de L'enfance), Labirin picu (trigger labyrinth).<br />3) Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi, termasuk di sini adalah : Vertigo posisional paroksismal laten, Vertigo posisional paroksismal benigna.<br />2. Vertigo kronis<br />Yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 47) serangan akut, dibedakan menjadi:<br />1) Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin.<br />2) Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler, intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin.<br />3) Vertigo yang dipengaruhi posisi : Hipotensi ortostatik, Vertigo servikalis.<br />3. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang, dibedakan menjadi :<br />1) Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta, perdarahan labirin, neuritis n.VIII, cedera pada auditiva interna/arteria vestibulokoklearis.<br />2) Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks, hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior.<br />Ada pula yang membagi vertigo menjadi :<br />1. Vertigo Vestibuler: akibat kelainan sistem vestibuler.<br />2. Vertigo Non Vestibuler: akibat kelainan sistem somatosensorik dan visual.<br /><br />Manifestasi klinik<br />Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis.<br /><br />Pemerikasaan Penunjang<br />1) Pemeriksaan fisik :<br /> Pemeriksaan mata<br /> Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh<br /> Pemeriksaan neurologik<br /> Pemeriksaan otologik<br /> Pemeriksaan fisik umum.<br />2) Pemeriksaan khusus :<br /> ENG<br /> Audiometri dan BAEP<br /> Psikiatrik<br />3) Pemeriksaan tambahan :<br /> Laboratorium<br /> Radiologik dan Imaging<br /> EEG, EMG, dan EKG.<br /><br />Penatalaksanaan medis.<br />Terapi menurut (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 48) :<br />Terdiri dari :<br />1. Terapi kausal<br />2. Terapi simtomatik<br />3. Terapi rehabilitatif<br /><br />Manajemen Keperawatan<br />1. Pengkajian<br />a. Aktivitas / Istirahat<br />• Letih, lemah, malaise<br />• Keterbatasan gerak<br />• Ketegangan mata, kesulitan membaca<br />• Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala<br />• Sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja) atau karena perubahan cuaca.<br />b. Sirkulasi<br />• Riwayat hypertensi<br />• Denyutan vaskuler, misal daerah temporal<br />• Pucat, wajah tampak kemerahan.<br />c. Integritas Ego<br />• Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu<br />• Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi<br />• Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala<br />• Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik)<br />d. Makanan dan cairan<br />• Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang, keju, alkohol, anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus, hotdog, MSG (pada migrain).<br />• Mual/muntah, anoreksia (selama nyeri)<br />• Penurunan berat badan<br />e. Neurosensoris<br />• Pening, disorientasi (selama sakit kepala)<br />• Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke.<br />• Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.<br />• Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis.<br />• Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore<br />• Perubahan pada pola bicara/pola pikir<br />• Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.<br />• Penurunan refleks tendon dalam<br />• Papiledema.<br />f. Nyeri/ kenyamanan<br />• Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain, ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.<br />• Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah<br />• Fokus menyempit<br />• Fokus pada diri sndiri<br />• Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah.<br />• Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.<br />g. Keamanan<br />• Riwayat alergi atau reaksi alergi<br />• Demam (sakit kepala)<br />• Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis<br />• Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus)<br />h. Interaksi sosial<br />• Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit.<br />i. Penyuluhan / pembelajaran<br />• Riwayat hypertensi, migrain, stroke, penyakit pada keluarga<br />• Penggunaan alcohol/obat lain termasuk kafein. Kontrasepsi oral/hormone, menopause.<br /><br />2. Diagnosa Keperawatan (Doengoes, 1999:2021)<br />1) Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan stress dan ketegangan, iritasi/ tekanan syaraf, vasospressor, peningkatan intrakranial ditandai dengan menyatakan nyeri yang dipengaruhi oleh faktor misal, perubahan posisi, perubahan pola tidur, gelisah.<br />2) Koping individual tak efektif berhubungan dengan ketidak-adekuatan relaksasi, metode koping tidak adekuat, kelebihan beban kerja.<br />3) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mengingat ditandai oleh memintanya informasi, ketidak-adekuatannya mengikuti instruksi.<br /><br />3. Intervensi Keperawatan<br />a) Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan stress dan ketegangan, iritasi/ tekanan syaraf, vasospasme, peningkatan intrakranial ditandai dengan menyatakan nyeri yang dipengaruhi oleh faktor misal, perubahan posisi, perubahan pola tidur, gelisah.<br />Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang<br />Kriteria hasil : - klien mengungkapkan rasa nyeri berkurang<br />- tanda-tanda vital normal<br />- pasien tampak tenang dan rileks<br />Intervensi/Implementasi<br /> Pantau tanda-tanda vital, intensitas/skala nyeri<br />Rasional : Mengenal dan memudahkan dalam melakukan tindakan keperawatan.<br /> Anjurkan klien istirahat ditempat tidur<br />Rasional : istirahat untuk mengurangi intesitas nyeri<br /> Atur posisi pasien senyaman mungkin<br />Rasional : posisi yang tepat mengurangi penekanan dan mencegah ketegangan otot serta mengurangi nyeri.<br /><br /> Ajarkan teknik relaksasi dan napas dalam<br />Rasional : relaksasi mengurangi ketegangan dan membuat perasaan lebih nyaman<br /> Kolaborasi untuk pemberian analgetik.<br />Rasional : analgetik berguna untuk mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi lebih nyaman.<br /><br />b) Koping individual tak efektif berhubungan dengan ketidak-adekuatan relaksasi, metode koping tidak adekuat, kelebihan beban kerja.<br />Tujuan : koping individu menjadi lebih adekuat<br />Kriteria Hasil : - mengidentifikasi prilaku yang tidak efektif<br />- mengungkapkan kesadaran tentang kemampuan koping yang di miliki<br />- megkaji situasi saat ini yang akurat<br />- menunjukkan perubahan gaya hidup yang diperlukan atau situasi yang tepat.<br />Intervensi/Implementasi<br /> Kaji kapasitas fisiologis yang bersifat umum.<br />Rasional : Mengenal sejauh dan mengidentifikasi penyimpangan fungsi fisiologis tubuh dan memudahkan dalam melakukan tindakan keperawatan<br /> Sarankan klien untuk mengekspresikan perasaannya.<br />Rasional : klien akan merasakan kelegaan setelah mengungkapkan segala perasaannya dan menjadi lebih tenang<br /> Berikan informasi mengenai penyebab sakit kepala, penenangan dan hasil yang diharapkan.<br />Rasional : agar klien mengetahui kondisi dan pengobatan yang diterimanya, dan memberikan klien harapan dan semangat untuk pulih.<br /><br /> Dekati pasien dengan ramah dan penuh perhatian, ambil keuntungan dari kegiatan yang dapat diajarkan.<br />Rasional : membuat klien merasa lebih berarti dan dihargai.<br /><br />a) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mengingat ditandai oleh memintanya informasi, ketidak-adekuatannya mengikuti instruksi.<br />Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.<br />Kriteria Hasil : - melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.<br />- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.<br />Intervensi / Implementasi :<br /> Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.<br />Rasional : megetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.<br /> Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.<br />Rasional : dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.<br /> Diskusikan penyebab individual dari sakit kepala bila diketahui.<br />Rasional : untuk mengurangi kecemasan klien serta menambah pengetahuan klien tetang penyakitnya.<br /> Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.<br />Rasional : mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.<br /><br /><br /> Diskusikan mengenai pentingnya posisi atau letak tubuh yang normal<br />Rasional : agar klien mampu melakukan dan merubah posisi/letak tubuh yang kurang baik.<br /> Anjurkan pasien untuk selalu memperhatikan sakit kepala yang dialaminya dan faktor-faktor yang berhubungan.<br />Rasional : dengan memperhatikan faktor yang berhubungan klien dapat mengurangi sakit kepala sendiri dengan tindakan sederhana, seperti berbaring, beristirahat pada saat serangan.<br /><br />4. Evaluasi<br />Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Carpenito, 1999:28)<br />Tujuan Pemulangan pada vertigo adalah :<br />a. Nyeri dapat dihilangkan atau diatasi.<br />b. Perubahan gaya hidup atau perilaku untuk mengontrol atau mencegah kekambuhan.<br />c. Memahami kebutuhan atau kondisi proses penyakit dan kebutuhan terapeutik.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />1. Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC, Jakarta, 1999.<br />2. Marilynn E. Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien, ed.3, EGC, Jakarta, 1999.<br />3. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/14415TerapiAkupunkturuntukVertigo.pdf/144_15TerapiAkupunkturuntukVertigo.html<br />4. Kang L S,. Pengobatan Vertigo dengan Akupunktur, Cermin Dunia Kedokteran No. 144, Jakarta, 2004.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-35018865005940854402010-04-17T04:11:00.000-07:002010-04-17T04:15:51.464-07:00askep CRF (gagal ginjal kronik)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S8mYRFKu8VI/AAAAAAAAAFc/WuLNTOvbCo0/s1600/ginjal2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 280px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S8mYRFKu8VI/AAAAAAAAAFc/WuLNTOvbCo0/s320/ginjal2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5461063442375831890" /></a><br />A. Pengertian <br />CRF adalah Suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001)<br />Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001)<br />Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversible. (Sidobulear, dkk. 1990)<br />Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun ,berlangsung progresif dan cukup lama sehingga kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia.<br />B. Etiologi<br />1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)<br />2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis) primer dan sekunder<br /> Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan fifiologis utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, penigkatan aldoeteron menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan nampak ginjal mengkerut, berat lebig kurang dengan permukaan bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri.<br />3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)<br /> Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaiknya GGK dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme. Retensi Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari system rennin, angiotensin dan defisiensi prostaclandin, keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit putih.<br />4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)<br />5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)<br /> Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan ekskresi H+ dari tubulus ginjal/kehilangan HCO3 dalam kemih walaupun GFR yang mamadai tetap dipertahankan, akibatnya timbul asidosis metabolic.<br />6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)<br />7. Nefropati toksik<br />8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)<br />C. Patofisiologi<br />1. Manifestasi Klinis<br />1. Kelainan hemapoetik<br />1) anemia<br />- Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoetis pada sumsum tulang menurun.<br />- Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrisit dalam suasana uremia toksik.<br />- Defisiensi besi, asam folat dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang.<br />- Perdarahan saluran cerna dan kulit<br />- Abrosis sum-sum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.<br />2) Purpura / diatesis hemoragic trombositopenia<br />2. Kelainan saluran cerna<br />a. Mual, muntah, anoreksia dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan metabolism bakteri usus seperti ammonia dan metal quinidin seperti lembarnya membrane mukosa usus.<br />b. Fosfor uremik disebabkan ureum yang berlebihan pada air liur, diubah oleh bakteri di mulut manjadi ammonia sehingga nafas berbau ammonia, akibat lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.<br />c. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui.<br />d. Gastritis, erosive, ulkus peptikum dan colitis uremik.<br /><br /><br />3. Kelainan kulit<br />a. Pruritus / gatal – gatal dengan ekskuriasi akibat toksin uremia dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.<br />b. Uremic frost akibat kristalisasi yang ada pada keringat (jarang di jumpai)<br />c. Kulit berwarna pucat akibat uremia dan kekuning-kuningan akibat timbunan urokrom.<br />d. Bekas – bekas garukan karena gatal.<br />4. Kelainan kardiovaskuler<br />a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam / peningkatan aktivitas system rennin angiotensin – aldosteron.<br />b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis dini akibat penimbunan cairan dan hipertensi.<br />c. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, akibatkan penimbunan cairan dan hipertensi.<br />d. Edema akibat penimbunan cairan<br />5. Kelainan neurologi<br />a. Retless leg syndrome<br /> Penderita merasa gatal ditungkai bawah dan selalu menggerakkan kakinya.<br />b. Burning feet syndrome<br /> Rasa kesemutan seperti terbakar terutama di telapak kaki.<br />c. Ensefalopati metabolic<br />1. Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi<br />2. Tremor, asteriksis, miokionus<br />3. Kejang-kejang<br />d. Miopati<br /> Kelemahan dan hipotropi otot – otot ekstremitas proksimal<br />6. Disfungsi endokrin<br />Gangguan seksual, gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolic lemak dan gangguan metabolism vitamin D.<br />7. Kelainan respiratori<br /> Infeksi paru, efusi pleura, tachypnea, edema pulmonal, kusmaul respirasi.<br />8. Kelaianan Urinaria<br /> Poliuria, nocturia, oliguria, anuria, proteinuria, hematonuria.<br />9. Kelainan Muskuloskletal<br /> Nyeri tulang, fraktur patogik, osteodistropi ginjal, kelemahan otot dan kram.<br />2. Proses Perjalanan Penyakit<br />Penurunan GFR<br />Serum kreatinin dan nitrogen<br />Nefron bekrja hipertropi<br />Produksi urin meningkat<br />Reabsorbsi elektrolit<br />Kerusakan ginjal progresif<br />3. Komplikasi<br />a. Hipertensi<br />b. Hiperkalemia<br />c. Anemia<br />d. Asidosis<br />e. Osteodistropi ginjal<br />f. Hiperurisemia<br />g. Neuropati perifer<br />h. Retinopati<br />i. Encepalopati<br /><br /><br /><br />C. Penatalaksanaan Medis<br />1. Terapi Pengobatan<br />Pengobatan dapat dibagi 2 golongan:<br />1. Pengobatan konservatif<br /> Pengobatan pengganti (Replacement treatment)<br />Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan, bila klirens kreatinin lebih dari 5 ml/menit , tetapi bila sudah turun sampai kurang dari 5 ml/menit, harus ditetapkan apakah penderita tersebut mungkin diberi pengobatan pengganti. Tujuan pengobatan konservatif adalah memanfaatkan faal ginjal yang masih bisa, mencegah faktor-faktor pemberat dan di mana mungkin mencoba memperlambat progresi gagal ginjal.<br />Pengobatan pengganti pada dasarnya adalah dialisis dan transplantasi <br />Pengobatan konservatif terdiri dari:<br />1. Minum yang cukup<br />2. Pengaturan diet rendah protein (0,4-0,8 gram/kg BB) bisa memperlambat perkembangan gagal ginjal kronis.<br />3. Asupan garam biasanya tidak dibatasi kecuali jika terjadi edema (penimbunan cairan di dalam jaringan) atau hipertensi<br />4. Tambahan vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani diet ketat atau menjalani dialisa.<br />5. Pada penderita gagal ginjal kronis biasanya kadar trigliserida dalam darah tinggi. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi, seperti stroke dan serangan jantung. Untuk menurunkan kadar trigliserida, diberikan gemfibrozil.<br />6. Kadang asupan cairan dibatasi untuk mencegah terlalu rendahnya kadar garam (natrium) dalam darah.<br />7. Makanan kaya kalium harus dihindari. Hiperkalemia (tingginya kadar kalium dalam darah) sangat berbahaya karena meningkatkan resiko terjadinya gangguan irama jantung dan cardiac arrest.<br />8. Jika kadar kalium terlalu tinggi, maka diberikan natrium polisteren sulfonat untuk mengikat kalium, sehingga kalium dapat dibuang bersama tinja.<br />9. Kadar fosfat dalam darah dikendalikan dengan membatasi asupan makanan kaya fosfat (misalnya produk olahan susu, hati, polong, kacang-kacangan dan minuman ringan).<br />10. Bisa diberikan obat-obatan yang bisa mengikat fosfat, seperti kalsium karbonat, kalsium asetat dan alumunium hidroksida.<br />11. Anemia terjadi karena ginjal gagal menghasilkan eritropoeitin dalam jumlah yang mencukupi. Eritropoietin adalah hormon yang merangsang pembentukan sel darah merah.<br />12. Respon terhadap penyuntikan poietin sangat lambat.<br />13. Transfusi darah hanya diberikan jika anemianya berat atau menimbulkan gejala.<br />14. Kecenderungan mudahnya terjadi perdarahan untuk sementara waktu bisa diatasi dengan transfusi sel darah merah atau platelet atau dengan obat-obatan (misalnya desmopresin atau estrogen).<br />15. Tindakan tersebut mungkin perlu dilakukan setelah penderita mengalami cedera atau sebelum menjalani prosedur pembedahan maupun pencabutan gigi.<br />16. Gejala gagal jantung biasanya terjadi akibat penimbunan cairan dan natrium.<br />17. Pada keadaan ini dilakukan pembatasan asupan natrium atau diberikan diuretik (misalnya furosemid, bumetanid dan torsemid).<br />18. Hipertensi sedang maupun hipertensi berat diatasi dengan obat hipertensi standar.<br />19. Jika pengobatan awal untuk gagal ginjal tersebut tidak lagi efektif, maka dilakukan dialisa jangka panjang atau pencangkokan ginjal.<br />2. Tes Diagnostik<br />a. Urine<br />1. Volume : biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam (oliguria) / anuria.<br />2. Warna : secara abnormal urine keruh, mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat lunak, sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah Hb, mioglobulin, forfirin.<br />3. Berat jenis : < 1,051 (menetap pada 1.010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).<br />4. Osmolalitas : < 350 Mosm / kg menunjukkan kerusakan mubular dan rasio urine / sering 1: 1.<br />5. Kliren kreatinin : mungkin agak menurun<br />6. Natrium : > 40 ME o /% karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.<br />7. Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara bulat, menunjukkan kerusakan glomerulus jika SDM dan fagmen juga ada.<br />8. PH, kekeruhan, glokuso, ketan, SDP dan SDM.<br />b. Darah<br />1. BUN<br /> Urea adalah produksi akhir dari metabolism protein, peningkatan BUN dapat merupakan indikasi dehidrasi, kegagalan pre renal atau gagal ginjal.<br />2. Kreatinin<br /> Produksi katabolisme otot dari pemecahan kreatinin otot dan kreatinin posfat. Bila 50 % nefron rusak maka kadar kreatinin meningkat.<br />3. Elektrolit<br /> Natrium, kalium, calcium dan phosfat<br />4. Hematologi : Hb, thrombosit, Ht, dan leukosit<br />c. TKK : kreatinin serum + BUN<br />d. LED<br />e. Serum kreatinin<br />f. Hb : anemia<br />g. Elekktrolit darah : Na, K, bikarbonat, kalsium dan posfat.<br />h. KSD radiologi jantung<br />i. Dielografi intravena<br />j. Foto polos abdomen + tomogram<br />k. Berat jenis urine<br />l. Radiologi<br />m. USG : renogram<br /><br /><br /><br /><br />D. Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik <br />1. Pengkajian<br />1) Aktivitas / istirahat<br /> Gejala : kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise.<br /> Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)<br /> Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.<br />2) Sirkulasi <br /> Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat.<br /> Palpitasi, nyeri dada (angina) <br />Tanda : Hipertensi, DJJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak tangan disritmia jantung.<br />Nadi lemeh halus, hipotensi ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir.<br /> Pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.<br /> Kecendrungan perdarahan.<br />3) Integritas Ego<br /> Gejala : factor setres, contoh tinansial, hubungan, perasaan tidak berdaya, tidak ada kekuatan.<br /> Tanda : menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.<br />4) Eliminasi<br />Gejala : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare,atau konstipasi.<br />Tanda : perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.<br />5) Makanan / Cairan<br />Gejala : peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi). Anoreksia, nyeri ulu hati, mual / muntah, rasa metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan ammonia)<br />Tanda : distensi abdomen, pembesaran hati, perubahan turgor kulit, edema, ulserasi gusi, perdarahan gusi / lidah, penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tidak bertenaga.<br />6) Neurosensori<br />Gejala : sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot / kejang sindrom “kaki gelisah” kebas rasa terbakar pada telapak kaki.<br />Tanda : gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis,kuku rapuh dan tipis.<br />7) Nyeri / kenyamanan<br /> Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot / nyeri kaku (memburuk saat malam hari).<br /> Tanda : perilaku berhati-hati, distraksi, gelisah.<br />8) Pernafasan<br />Gejala : nafas pendek, dyspepsia nocturnal paroksismal, batuk dengan tanpa sputum kental dan banyak.<br />Tanda : tkipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalam (pernafasan kusmaul), batuk produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru).<br />9) Keamanan<br /> Gejala : kulit gatal, ada / berulangnya infeksi<br />Tanda : pruritus, demam (sepsis, dehidrasi) normotermia dapat secara actual terjadi penigkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal (efek GGK / depresi respon imun), ptekie, area ekimosis pada kulit.<br />10) Seksualitas<br /> Gejala : penurunan libido, amenorea, infertilitas.<br />11) Interaksi social<br />Gejala : kesulitan menentukan kondisi, contoh tidak mampu bekerja, memepertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.<br />12) Penyuluhan / pembelajaran<br />Gejala : riwayat DM keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyalit polikistik, nefritis herediter, kalkulus urinaria, malignansi. Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan. Penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini / berulang.<br /><br /><br />2. Diagnosa Keperawatan<br />1. Resiko tinggi terjadinya penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi/penumpukan urea toksin, kalsifikasi jaringan lunak.<br />2. Resiko tinggi terjadi cedera (profil darah abnormal) berhubungan dengan penekanan, produksi/sekresi eritpoietin, penurunan produksi Sel Darah Merah gangguan faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskuler.<br />3. Perubahan proses pikir berhubungan dengan akumulasi toksin, asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit kalsifikasi metastase pada otak.<br />4. Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolik, sirkulasi (anemia, iskemia jaringan) dan sensasi (neuropati ferifer), penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum pada kulit.<br />5. Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan penurunan saliva, pemabatasan cairan, perubahan urea dalam saliva menjadi amonia.<br />6. Anemia berhubungan dengan menurunnya produksi eritropeitin.<br />7. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala<br />8. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.<br />9. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.<br />10. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan metabolisme protein.<br /><br />3. Intervensi<br />1. Resiko tinggi terjadinya penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi/penumpukan urea toksin, kalsifikasi jaringan lunak.<br />Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung,<br />Intervensi :<br />a. Monitor tekanan darah, nadi, catat bila ada perubahan tekanan darah akibat perubahan posisi Auskultasi suara jantung dan paru. Evaluasi adanya edema, perifer, kongesti vaskuler dan keluhan dispnoe.<br />R/ Adanya edema paru, kongesti vaskuler, dan keluhan dispnea manunjukan adanya renal failure.<br />R/ Hipertensi yang signifikan merupakan akibat dari gangguan renin angiotensin dan aldosteron. Tetapi ortostatik hipotensi juga dapat terjadi akibat dari defisit intravaskular fluid.<br />b. Kaji tingkat kemampuan klien beraktivitas.dan batasi aktivitas berlebihan<br />R/ Kelemahan dapat terjadi akibat dari tidak lancarnya sirkulasi darah.dan b eban jantung dipengaruhi oleh aktivitas berlebihan<br />c. Beri tambahan O2 sesuai indikasi<br /> R/ meningkatkan sediaan oksigen pada miokard<br />d. Kolaborasi dalam:<br />Pemeriksaan laboratorium (Na, K), BUN, Serum kreatinin, Kreatinin klirens.<br />Pemeriksaan thoraks foto.<br />Pemberian obat-obatan anti hipertensi.<br />2. Resiko tinggi terjadi cedera (profil darah abnormal) berhubungan dengan penekanan, produksi/sekresi eritpoietin, penurunan produksi Sel Darah Merah gangguan faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskuler.<br />Tujuan : Tidak terjadi cedera<br />Kriteria : Tidak mengalami tanda-tanda perdarahan,lab. Dalam batas normal.<br />Intervensi :<br />a. Perhatikan keluhan peningkatan kelelahan, kelemahan, takikardia, mukosa / kulit pucat, dispnoe, nyeri dada.<br />R/ Dapat menunjukan anemia, dan respon jantung untuk mempertahankan oksigensi sel.<br />b. Awasi tingkat kesadaran dan prilaku.<br />R/ Anemia dapat menyebabkan hipoksia, serebral, perubahan prilaku mental dan orientasi.<br />c. Evaluasi respon terhadap aktivitas.<br />R/ Anemia menurunkan oksigenasi jaringan, meningkatkan kelelahan, memerlukan perubahan aktivitas (istirahat).<br />d. Observasi perdarahan terus menerus dari tempat penusukan, atau pada area mukosa.<br />R/ Mengalami kerapuhan kapiler.<br />e. Awasi haematemesis atau sekresi GI / darah feses.<br />R/ Stress dan abnormalitas hemostatik dapat mengakibatkan perdarahan GI track.<br />f. Berikan sikat gigi halus, pencukur elektrik, gunakan jarum kecil pada saat penyuntikan, lakukan penekanan lebih lama setelah penyuntikan.<br />R/ Menurunkan resiko perdarahan / pembentukan hematoma.<br /><br />Kolaborasi :<br />g. Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap, Thrombosit, Faktor Pembekuan dan Protrombin.<br />R./ Uremia, menurunkan produksi eritropoetin, menekan produksi Sel Darah Merah. Pada gagal ginjal kronik, Hb, hematokrit biasanya rendah.<br />h. Pemberian transfusi.<br />R./ Mengatasi anemia simtomatik.<br />i. Pemberian obat – obatan :<br />Sediaan besi, asam folat, sianokobalamin.<br />R./ Memperbaiki gejala anemi.<br />Cimetidin (Actal).<br />R./ Profilaksis menetralkan asam lambung.<br />Hemostatik (Amicar).<br />R./ Menghambat perdarahan.<br />Pelunak feses.<br />R./ Mengurangi perdarahan mukosa.<br /><br />3. Perubahan proses pikir berhubungan dengan akumulasi toksin, asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit kalsifikasi metastase pada otak.<br />Tujuan : Meningkatkan tingkat mental.<br />Kriteria : Klien mengenal tempat, orang, waktu, tidak menarik diri, tidak ada gangguan kognitif.<br />Rencana :<br />a. Kaji luasnya gangguan kemampuan berpikir, memori, orientasi, perhatikan lapang perhatian.<br />R./ Efek sindrom uremik dapat terjadi dengan Kekacauan minor dan berkembang ke perubahan kepribadian.<br />b. Pastikan orang terdekat, tingkat mental pasien biasanya.<br />R./ Memberikan perbandingan.<br />c. Berikan lingkungan tenang, ijinkan menggunakan TV. Radio dan kunjungan.<br />R./ Meminimalkan rangsangan lingkungan.<br />d. Orientasikan kembali terhadap lingkungan orang dan waktu.<br />R./ Memberikan petunjuk untuk membantu pengenalan kenyataan.<br />e. Hadirkan kenyataan secara singkat dan ringkas.<br />R./ Meningkatkan penolakan terhadap kenyataan.<br />f. Komunikasikan informasi dalam kalimat pendek.<br />R./ Komunikasi akan dipahami/diingat.<br />g. Tingkatkan istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur.<br />R./ Gangguan tidur dapat mengganggu kemampuan kognitif.<br />Kolaborasi :<br />h. Pemberian tambahan oksigen.<br />R./ Perbaikan hipoksia dapat memperbaiki kognitif.<br />i. Hindari penggunaan barbiturat/opiat.<br />R./ Memperburuk kekacauan.<br /><br />4. Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolik, sirkulasi (anemia, iskemia jaringan) dan sensasi (neuropati ferifer), penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum pada kulit.<br />Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.<br />Kriteria : kulit tidak lecet, klien mampu mendemonstrasikan cara untuk mencegah terjadinya kerusakan integritas kulit.<br /><br /><br />intervensi :<br />a. Inspeksi kulit terhadap Perubahan Warna, turgor, perhatikan kemerahan,ekskoriasi.<br />R/ Menandakan area sirkulasi buruk, yang dapat menimbulkan dekubitus.<br />b. Kaji keadaan kulit terhadap kemerahan dan adanya excoriasi.<br />R/ Sirkulasi darah yang kurang menyebabkan kulit mudah rusak dan memudahkan timbulnya dicubitus/ infeksi.<br />c. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit, membran mukosa.<br />R/ Deteksi adanya dehidrasi yang mempengaruhi integritas jaringan pada tingkat seluler.<br />d. Ganti posisi tiap 2 jam sekali, beri bantalan pada tonjolan tulang , pelindung siku dan tumit.<br />R/ Mengurangi/ menurunkan tekanan pada daerah yang edema, daerah yang perfusinya kurang baik untuk mengurangi/menurunkan iskemia jaringan.<br />e. Jaga keadaan kulit agar tetap kering dan bersih.<br />R/ Kulit yang basah terus menerus memicu terjadi iritasi yang mengarah terjadinya dikubitus.<br />f. Anjurkan pada klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan kering yang menyerap keringat dan bebas keriput.<br />R/ Mencegah iritasi kulit dan meningkatkan evaporasi.<br />g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin.<br />R/ Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan resiko cedera.<br />h. Kolaborasi dalam pemberian foam dan tempat tidur angin.<br />R/ Mencegah penekanan yang terlalu lama pada jaringan yang dapat membatasi ferfusi seluler, sehingga dapat mengurangi iskemik jaringan.<br /><br />5. Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan penurunan saliva, pemabatasan cairan, perubahan urea dalam saliva menjadi amonia.<br />Tujuan : Mempertahankan membran mukosa.<br />Kriteria : Mukosa lembab, inflamasi, ulserasi tidak ada, bau amonia berkurang/hilang.<br /><br /><br />intervensi :<br />a. Inspeksi rongga mulut, perhatikan kelembaban, karakter saliva adanya inflamasi dan ulserasi.<br />R./ Deteksi untuk mencegah infeksi.<br />b. Berikan cairan sepanjang 24 jam dalam abatas yang ditentukan.<br />R./ Mencegah kekeringan mulut.<br />c. Berikan perawatan mulut sering cuci dengan larutan Asam asetik 25%, berikan permen karet, permen keras antara makan.<br />R./ Perawatan mulut menyejukan, melumasi, dan membantu menyegarkan mulut yang tidak menyenangkan karena uremia.<br />d. Anjurkan hygiene yang baik setelah makan dan saat akan tidur.<br />R./ Menurunkan pertumbuhan bakteri.<br /><br />e. Anjurkan klien untuk menghentikan merokok, dan menghindari produk pencuci mulut yang mengandung alkohol.<br />R./ Alkohol, mengiritasi mukosa dan efeknya mengeringkan.<br />Kolaborasi :<br />f. Pemberian obat-obatan sesuai dengan indikasi Antihistamin, Kiproheptadin.<br />R./ Menghilangkan gatal.<br /><br />6. Anemia berhubungan dengan menurunnya produksi eritropeitin.<br />Tujuan : Terjadi peningkatan kadar Hb.<br />Kriteria : Kadar Hb dalam batas normal, perfusi jaringan baik, akral hangat, merah dan kering.<br />intervensi :<br />a. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering.<br />R/ kekeringan meningkatkan sensitivitas kulit dengan merangsang ujung saraf.<br />b. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan mempertahankan suhu ruangan yang sejuk dengan kelembaban yang rendah, hindari pakaian yang terlalu tebal.<br />R/ penghangatan yang berlebihan meningkatkan sensitivitas melalui vaso dilatasi.<br />c. Anjurkan tidak menggaruk.<br />R/ Garukan merangsang pelepasan histamin.<br />d. Observasi tanda-tanda vital.<br />R/ Deteksi dini terhadap perkembangan klien dan penentuan terhadap tindakan selanjutnya.<br />e. Kolaborasi dalam:<br />Pemberian transfusi<br />Pemeriksaan laboratorium Hb.<br /><br />7. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala.<br />Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.<br />Kriteria : Klien mudah tidur dalam waktu 30 – 40 menit.<br />Klien tenang dan wajah segar.<br />Klien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.<br />Rencana :<br />a. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.<br />R./ Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat<br />b. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.<br />R./ Mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien ketika tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.<br />c. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek obat-obatan dan suasana ramai.<br />R./ Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan dirasakan pasien.<br />d. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi.<br />R./ Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur, teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.<br />e. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.<br />R./ Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan tidur/istirahat.<br /><br />8. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.<br />Tujuan : Klien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.<br />Kriteria : Klien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.<br />Klien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.<br />intervensi :<br />a. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit gagal ginjal kronik dan Hipertensi.<br />R./ Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.<br />b. Kaji latar belakang pendidikan pasien.<br />R./ Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.<br />c. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.<br />R./ Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.<br />d. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien didalamnya.<br />R./ Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.<br />e. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan (jika ada / memungkinkan).<br />R./ Gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan.<br /><br /><br /><br /><br />9. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.<br />Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.<br />Kriteria : Klien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.<br />Emosi stabil., pasien tenang.<br />Istirahat cukup.<br />intervensi :<br />a. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.<br />R./ Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.<br />b. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.<br />R./ Dapat meringankan beban pikiran pasien.<br />c. Gunakan komunikasi terapeutik.<br />R./ Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.<br />d. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.<br />R./ Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.<br />e. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.<br />R./ Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.<br />f. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.<br />R./ Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.<br />g. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman<br />R./ Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas pasien.<br /><br /><br />10. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan metabolisme protein.<br />Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.<br />Kriteria : Berat badan dan tinggi badan ideal.<br />Pasien mematuhi dietnya.<br />Mual berkurang dan muntah tidak ada.<br />Tekanan darah 140/90 mmHg.<br />intervensi :<br />a. Kaji/catat pemasukan diet status nutrisi dan kebiasaan makan.<br />R./ Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.<br />b. Identifikasi perubahan pola makan.<br />R/ Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.<br />c. Berikan makanan sedikit dan sering.<br />R/ Meminimalkan anoreksia dan mual.<br />d. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.<br />R/Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipertensi yang lebih berat.<br />e. Tawarkan perawatan mulut, berikan permen karet atau penyegar mulut diantara waktu makan.<br />R/ Menghindari membran mukosa mulut kering dan pecah.<br />f. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.<br />R./ Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).<br />g. Kolaborasi: konsul dengan dokter untuk pemberikan obat sesuai dengan indikasi; Nabic, Anti emetik dan anti hipertensi.<br />R./ Nabic dapat mengatasi/memperbaiki asidosis. anti emitik akan mencegah mual/muntah dan obat anti hipertensi akan mempercepat penurunan tekanan darah.<br />h. Kolaborasi: konsul dengan ahli gizi untuk pemberian diet tinggi kalori, rendah protein, rendah garam (TKRPRG).<br />R./ Pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan tekanan darah dan mencegah komplikasi.<br />4. Implementasi <br />Pelaksanaan bertujuan untuk mengatasi diagnosa dan masalah keperawatan, kolaborasi dan membantu dalam pencapaian tujuan yang ditetapkan dan mempasilitas koping, tahapan tindakan keperawatan ada 3 antara lain :<br />1. Persiapan : Perawat menyiapkan segala sesuatu yang perlu dalam tindakan keperawatan, yaitu mengulang tindakan keperawatan yang diidentifikasikan pada tahap intervensi,menganalisa pengetahuan dan ketermpilan yang diperlukan dalam mengetahui komplikasi dari tindakan yang mungkin muncul, menentukan kelengkapan dan menentukan lingkungan yang kondusif. Mengidentifikasi aspek hukum dan kode etik terhadap resiko dari kesalahan tindakan.<br />2. Intervensi : Pelaksanaan tindakan keperawatan yang bertjuan untuk <br />memenuhi kebutuhan fisik dan emosional, adapun sifat tindakan keperawatan yaitu independen, interindependen,dan dependen.<br />3. Dokumentasi : Mendokumentasikan suatu proses keperawatan secara lengkap <br /> dan akurat.<br />5. Evaluasi <br />Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan melihat sejauh mana diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan dan mengevaluasi kesalahan yang terjadi selama pengkajian, analisa, intervensi, mengimplementasi keperawatan.<br />a. Formatif<br />Evaluasi setelah rencana keperawata dilakukan untuk membantu keefektifan tindakan yang dilakukan secara berkelanjutan hingga tujuan tercapai.<br />b. Sumatif<br />Evaluasi yang diperlukan pada akhir tindakan keperawatan secara obyektif, <br />fleksibel dan efisien. <br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2; EGC. Jakarta.<br />Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3. EGC : Jakarta <br />Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. EGC : Jakarta <br />Apotik online dan media informasi obat - penyakit : m e d i c a s t o r e . c o m<br />WWW. GOOGLE.COMNs.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-82630482013427017442010-04-17T04:08:00.001-07:002010-04-17T04:10:46.298-07:00askep Hipertensi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S8mXC2uzbjI/AAAAAAAAAFU/PQcVHrd7TlQ/s1600/images.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 124px; height: 100px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S8mXC2uzbjI/AAAAAAAAAFU/PQcVHrd7TlQ/s320/images.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5461062098470792754" /></a><br />HIPERTENSI<br />Pengertian<br /><br />Hipertensi adalah peningkatan abnormal pada tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolic 120 mmHg (Sharon, L.Rogen, 1996).<br /><br />Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmHG (Luckman Sorensen,1996).<br /><br />Hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolic 90 mmHg ataulebih. (Barbara Hearrison 1997)<br /><br /><br />Etiologi<br />Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan perifer.<br />Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:<br />Genetik: Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi atautransport Na.<br />Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkantekanan darah meningkat.<br />Stress Lingkungan.<br />Hilangnya Elastisitas jaringan and arterisklerosis pada orang tua sertapelabaran pembuluh darah.<br /><br />Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu:<br />Hipertensi Esensial (Primer)<br />Penyebab tidak diketahui namun banyak factor yang mempengaruhi seperti genetika, lingkungan, hiperaktivitas, susunan saraf simpatik, systemrennin angiotensin, efek dari eksresi Na, obesitas, merokok dan stress.<br />Hipertensi SekunderDapat diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vakuler renal.<br />Penggunaan kontrasepsi oral yaitu pil. Gangguan endokrin dll.<br /><br />Patofisiologi <br />Menurunnya tonus vaskuler meransang saraf simpatis yang diterukan ke seljugularis. Dari sel jugalaris ini bias meningkatkan tekanan darah. Danapabila diteruskan pada ginjal, maka akan mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan adanya perubahan pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah.Selain itu juga dapat meningkatkan hormone aldosteron yang menyebabkanretensi natrium. Hal tersebut akan berakibat pada peningkatan tekanandarah. Dengan Peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan pada organ organ seperti jantung.<br /><br /><br />Manifestasi Klinis<br />Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi adalah :<br />Peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg<br />Sakit kepala<br />Epistaksis<br />Pusing / migrain<br />Rasa berat ditengkuk<br />Sukar tidur<br />Mata berkunang kunang<br />Lemah dan lelah<br />Muka pucat<br />Suhu tubuh rendah<br /><br />Pemeriksaan Penunjang<br />Pemeriksaan Laborat<br />Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti : hipokoagulabilitas, anemia.<br />BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal.<br />Glucosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapatdiakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.<br />Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal danada DM.<br />CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati<br />EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.<br />IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal,perbaikan ginjal.<br />Photo dada : Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,pembesaran jantung.<br /><br />Penatalaksanaan<br />Penatalaksanaan Non Farmakologis<br />DietPembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.<br />Aktivitas<br />Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan denganbatasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,bersepeda atau berenang.<br />Penatalaksanaan Farmakologis<br />Secara garis besar terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:<br />Mempunyai efektivitas yang tinggi.<br />Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.<br />Memungkinkan penggunaan obat secara oral.<br />Tidak menimbulakn intoleransi.<br />Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.<br />Memungkinkan penggunaan jangka panjang.<br />Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi sepertigolongan diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis kalsium,golongan penghambat konversi rennin angitensin.<br />Download Askep Hipertensi di sini <br /><br />Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hipertensi<br /><br /><br />Pengkajian<br />Aktivitas/ Istirahat<br />Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.<br />Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.<br />Sirkulasi<br />Gejala :Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.<br />Tanda :Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisiankapiler mungkin lambat/ bertunda.<br />Integritas Ego<br />Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress multiple(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.<br />Tanda :Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian,tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara.<br />Eliminasi<br />Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayatpenyakit ginjal pada masa yang lalu).<br />Makanan/cairan<br />Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini(meningkat/turun) Riowayat penggunaan diuretic<br />Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.<br />Neurosensori<br />Genjala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyu, sakit kepala,subojksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontansetelah beberapa jam) Gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,epistakis).<br />Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,efek, proses piker, penurunan keuatan genggaman tangan.<br />Nyeri/ ketidaknyaman<br />Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakitkepala.<br />Pernafasan<br />Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja takipnea,ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.<br />Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyinafas tambahan (krakties/mengi), sianosis.<br />Keamanan<br />Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.<br /><br />Diagnosa Keperawatan yang Muncul<br />Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular.<br />Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.<br />Gangguan rasa nyaman : nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral.<br />Potensial perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan gangguan sirkulasi.<br /><br />Intervensi<br />Diagnosa Keperawatan 1. :<br />Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular.<br />Tujuan : Afterload tidak meningkat, tidak terjadi vasokonstriksi, tidak terjadi iskemia miokard.<br />Kriteria Hasil : Klien berpartisifasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah / bebankerja jantung , mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapatditerima, memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentangnormal pasien.<br />Intervensi :<br />Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat.<br />Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer.<br />Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.<br />Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler.<br />Catat edema umum.<br />Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas.<br />Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditemapt tidur/kursi<br />Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan<br />Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher<br />Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan<br />Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah<br />Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi<br />Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi.<br /><br />Diagnosa Keperawatan 2. :<br />Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.<br />Tujuan : Aktivitas pasien terpenuhi.<br />Kriteria Hasil :Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan / diperlukan,melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.<br />Intervensi :<br />Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter :frekwensi nadi 20 per menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatanTD, dipsnea, atau nyeridada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat,pusig atau pingsan. (Parameter menunjukan respon fisiologis pasienterhadap stress, aktivitas dan indicator derajat pengaruh kelebihan kerja/ jantung).<br />Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan kelemahan / kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian padaaktivitas dan perawatan diri. (Stabilitas fisiologis pada istirahatpenting untuk memajukan tingkat aktivitas individual).<br />Dorong memajukan aktivitas / toleransi perawatan diri. (Konsumsioksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatantiba-tiba pada kerja jantung).<br />Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi / rambut dengan duduk dan sebagainya. (teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen).<br />Dorong pasien untuk partisifasi dalam memilih periode aktivitas.(Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas danmencegah kelemahan).<br /><br />Diagnosa Keperawatan 3. :<br />Gangguan rasa nyaman : nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral<br />Tujuan : Tekanan vaskuler serebral tidak meningkat.<br />Kriteria Hasil :Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala dan tampak nyaman.<br />Intervensi :<br />Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan<br />Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan.<br />Batasi aktivitas.<br />Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin.<br />Beri obat analgesia dan sedasi sesuai pesanan.<br />Beri tindakan yang menyenangkan sesuai indikasi seperti kompres es, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan imajinasi, hindari konstipasi.<br /><br />Diagnosa keperawatan 4. :<br />Potensial perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan gangguan sirkulasi.<br />Tujuan : Sirkulasi tubuh tidak terganggu.<br />Kriteria Hasil :Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala, pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas normal.<br />Intervensi :<br />Pertahankan tirah baring; tinggikan kepala tempat tidur.<br />Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan pemantau tekanan arteri jika tersedia.<br />Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai pesanan.<br />Amati adanya hipotensi mendadak.<br />Ukur masukan dan pengeluaran.<br />Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai pesanan.<br />Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Doengoes, Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000<br />Gunawan, Lany. Hipertensi : Tekanan Darah Tinggi , Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2001<br />Sobel, Barry J, et all. Hipertensi : Pedoman Klinis Diagnosis dan Terapi, Jakarta, Penerbit Hipokrates, 1999<br />Kodim Nasrin. Hipertensi : Yang Besar Yang Diabaikan, @ tempointeraktif.com, 2003<br />Smith Tom. Tekanan darah Tinggi : Mengapa terjadi, Bagaimana mengatasinya ?, Jakarta, Penerbit Arcan, 1995<br />Semple Peter. Tekanan Darah Tinggi, Alih Bahasa : Meitasari Tjandrasa Jakarta, Penerbit Arcan, 1996<br />Brunner & Suddarth. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2, Jakarta, EGC, 2002<br />Chung, Edward.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler, Edisi III, diterjemahkan oleh Petrus Andryanto, Jakarta, Buku Kedokteran EGC, 1995<br />Marvyn, Leonard. Hipertensi : Pengendalian lewat vitamin, gizi dan diet, Jakarta, Penerbit Arcan, 1995<br />Tucker, S.M, et all . Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, diagnosis dan evaluasi , Edisi V, Jakarta, Buku Kedokteran EGC, 1998Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-25612451505416428332010-03-14T00:45:00.000-08:002010-03-14T00:49:32.610-08:00mengganti luka pada pasien luka gangreneURAIAN UMUM<br /><br />Luka kotor adalah luka yang terinfeksi<br /><br />Gangren adalah luka yang terinfeksi disertai dengan adanya jaringan yang mati. Oleh karena itu perlu diganti balutan secara khusus<br /><br />Gunanya untuk<br /><br />- Mencegah meluasnya infeksi<br /><br />- Memberi rasa nyaman pada klien<br /><br />Operasional dilakukan pada :<br /><br />- Luka terbuka / kotor<br /><br />- Luka gangren<br /><br />PERSIAPAN<br /><br />Persiapan Alat<br /><br />a. Alat Seteril ( bak instrument bersisi ) :<br /><br />- 2 Pinset anatomi<br /><br />- 2 pinset chirurgis<br /><br />- 1 klem arteri<br /><br />- 1 gunting jaringan<br /><br />- 1 klem kocher<br /><br />- Kassa dan deppers seteril<br /><br />a. Alat Tidak Seteril<br /><br />- Bethadine<br /><br />- Larutan NaCl 0,9 %<br /><br />- Handscone<br /><br />- Kom kecil<br /><br />- Verban dan plester<br /><br />- Perlak<br /><br />- Tempat cuci tangan<br /><br />- Bengkok berisi larutan desinfektan ( Lysol )<br /><br />- Sampiran jika perlu<br /><br />- Masker jika perlu<br /><br />- Schort bila perlu<br /><br />- Obat-obatan sesuai program medis<br /><br /><br />Persiapan Pasien<br /><br />Pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan dan klien disiapkan pada posisi yang nyaman<br /><br /><br />PELAKSANAAN<br /><br />1. Seperangkat instrument didekatkan pada pasien<br /><br />2. Pasien diberitahu tentang tindakan yang akan dilakukan<br /><br />3. Perawat cuci tangan dan pasang sampiran<br /><br />4. Memasang perlak dibaeah daerah yang akan diganti balutanya<br /><br />5. Memakai hansscone<br /><br />6. Membuka balutan dan membuang balutan lama ke tempat sampah yang telah disediakan<br /><br />7. Membersihkan luka demaksud dengan kassa seteril yang telah di basahi dengan NaCl dan bethadine kemudian membuang bagian-bagian yang kotor atau jaringan nekrotik<br /><br />8. Membersihkan dengan arah kedalam dan keluar<br /><br />9. Mengompres luka dengan bethadine atau dengan obat yang ditentukan oleh dokter, sampai tertutup semuanya<br /><br />10. menutup luka dengan kassa seteril kering<br /><br />11. Membalut luka dengan verban<br /><br />12. Meletakan alat-alat yang telah selesai dipergunakan kedalam bengkok yang berisi dengan laritan desinfektan<br /><br />13. Alat –alat dibereskan dan dikembalikan ketempatnya semula<br /><br />1. Perawat cuci tangan<br /><br /><br />EVALUASI<br /><br />Mencatat hasil tindakan perawatan luka darin pada dokumen keperawatan :<br /><br />Perhatian :<br /><br />- Perhatikan teknik asepthik dan antiseptik<br /><br />- Jaga privasi klien<br /><br />- Perhatikan jika ada pus / jaringan nekrotikNs.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-13136618288853085062010-03-14T00:42:00.000-08:002010-03-14T00:44:54.684-08:00luka gangrene pada diabetes<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S5yh-Se_g5I/AAAAAAAAAFM/TI-1KWr9BUY/s1600-h/gangrene.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S5yh-Se_g5I/AAAAAAAAAFM/TI-1KWr9BUY/s320/gangrene.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5448407740697248658" /></a><br />Apa itu gangrene ?<br /><br />Gangrene adalah luka yang sudah membusuk dan bisa melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan membau karena disertai pembusukan oleh bakteri.<br />Adapun pada penderita diabetes melitus, jenis gangrene basah (diabetic gangrene) dan umumnya terdapat di kaki. Pada penderita diabetes melitus, gangrene disebabkan oleh neuropathy, angiopathy dan komplikasi lainnya. Untuk merawat agar luka gangrene tidak lebih parah, berikut ini beberapa tips merawat luka gangrene.<br /><br />Tips merawat luka gangrene pada pasien diabetik :<br /><br /><br />Lihat kondisi luka pasien, apakah luka yang dialami pasien dalam keadaan kotor atau tidak, ada apus atau ada jaringan nekrotik (mati) atau tidak. Setelah dikaji, barulah dilakukan perawatan luka. Untuk perawatan luka biasanya menggunakan antiseptik ( NaCl) dan kassa steril.<br /><br />Jika ada jaringan nekrotik, sebaiknya dibuang dengan cara digunting sedikit demi sedikit sampai kondisi luka mengalami granulasi (jaringan baru yang mulai tumbuh).<br /><br />Lihat kedalaman luka, pada pasien diabetes dilihat apakah terdapat sinus ( luka dalam yang sampai berlubang) atau tidak. Bila terdapat sinus, ada baiknya disemprot ( irigasi) dengan NaCl sampai pada kedalaman luka, sebab pada sinus terdapat banyak kuman.<br /><br />Lakukan pembersihan luka sehari minimal dua kali ( pagi dan sore), setelah dilakukan perawatan lakukan pengkajian apakah sudah tumbuh granulasi, (pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang dibasahi larutan NaCl).<br /><br />Setelah luka dibersihkan, lalu ditutup dengan kassa basah yang diberi larutan NaCl lalu dibalut disekitar luas luka, dalam penutupan dengan kassa, jaga agar jaringan luar luka tidak tertutup. Sebab jika jaringan luar luka ikut tertutup akan menimbulkan masrasi (pembengkakan).<br /><br />Setelah luka ditutup dengan kassa basah bercampur NaCl, lalu ditutup kembali dengan kassa steril yang kering untuk selanjutnya dibalut.<br /><br />Jika luka sudah mengalami penumbuhan granulasi ( pertumbuhan jaringan kulit yang baik/ bagus yang membuat luka rata), selanjutnya akan ada penutupan luka tahap kedua ( skin draw), biasanya diambil dari kulit paha. Penanganan luka diabet, harus ekstra agresif sebab pada luka diabet kuman akan terus menyebar dan memperparah luka. ( Nara sumber : Zuster Dedeh Hermawati)<br /><br /><br />Salon Kaki Bagi Penderita Diabetes<br /><br /><br />Penderita diabetes harus sejak dini memperhatikan secara serius bagian tubuhnya terutama pada kaki, hal tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya luka yang berlanjut dengan infeksi, seperti gangrene. Pengontrolan secara teratur oleh penderita diabet bertujuan agar lebih dini menyadari adanya luka yang kemudian sulit disembuhkan, khususnya kaki.Gangguan itu berupa kerusakan pada saraf dan kerusakan pembuluh darah dan infeksi.<br /><br />Gangguan atau kerusakan pada saraf dan pembuluh darah di kaki membuat penderita diabetes mengalami mati rasa (baal) pada kakinya. Biasanya penderita diabetes tidak menyadari telah terjadi luka pada kaki karena tak langsung tampak. Kurangnya pemahaman dan kepedulian pada luka di kaki sering berakibat pada tindakan yang memerlukan biaya mahal. Tak heran, beberapa rumah sakit besar mulai berusaha menunjukan perhatiannya terhadap penderita diabet. Salah satu bentuk layanan yang diberikan bagi penderita diabetes adalah klinik kaki diabetes atau lebih dikenal dengan salon kaki diabet. Salah satu rumah sakit pemerintah yang memiliki salon kaki adalah RSCM ( Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Jakarta. Di salon kaki ini, pasien diabetes dapat melakukan perawatan kakinya.<br /><br />Mulai dari pemotongan kuku dan perawatannya ( manicure dan pedicure) serta perawatan luka kaki. Salon kaki yang sudah mulai ada sejak tahun 1994 ini, tak hanya merawat luka dan pemotongan kuku saja, namun bersama tim kesehatan lainnya seperti dokter, ahli gizi dan perawat bersama-sama memantau dan memberikan penyuluhan pada penderita diabetes akan pentingnya menjaga kadar gula darah serta merawat kaki agar tidak luka. Berbeda dari salon perawatan kaki umumnya, salon kaki diabet ini lebih mengutamakan perawatan secara klinis dan higienis dan tidak melihatnya dari nilai esetika dan komersil. Menurut Bapak Dace Abullah salah seorang perawat di klinik kaki diabet, RSCM Jakarta untuk perawatan kaki, biasanya penderita diabetes umum yang datang dikenakan biaya Rp 25.000. Namun jika pasien tidak mampu, dapat memanfaatkan fasilitas seperti Askeskin, Gakin, Askes dan lainnya, itupun untuk pasien yang tidak punya uang tidak dipaksakan. Suatu harga yang tidak relatif mahal untuk sebuah kesehatan.<br /><br />Dace pun menjelaskan bahwa belum banyak rumah sakit yang memiliki fasilitas salon kaki diabet. Untuk masalah perawatan atau pemotongan kuku, menurut Ita Octavia, Skp pasien diabet tidak dianjurkan memotong kukunya sendiri, karena umumnya pasien diabet sudah mengalami ganguan retinopati, gangguan penglihatan. Untuk perawatan di rumah, lebih lanjut Ita Octavia, Skp menganjurkan pasien untuk menggunakan kikir untuk memperpendek kuku, hal itu bertujuan agar saat melakukan pemendekan kuku kaki tidak terluka oleh gunting kuku.Di rumah, pasien dapat melakukan perawatan sendiri, dengan mengikir kuku kaki. Dan dengan alat sederhana seperti alat kikir, sikat lembut dan batu apung, handuk, pelembut (lotion), kaca kini pasien diabet dapat melakukan perawatan sendiri di rumah. Cara memotong kuku, pertama kaki dicuci dengan sabun, selanjutnya keringkan kaki dengan handuk kering.Lalu dilihat secara keseluruhan, apakah kuku mengalami penebalan atau jamuran dilihat distribusi rambut dan kakinya barulah dilakukan perawatan. Jika perlu potong kuku, lalu dikikir. Jika kuku keras dapat menggunakan larutan H2O2 yang dapat melunakan kuku atau kutikula.<br /><br />Motong kuku tidak dapat dilakukan dengan gunting kuku biasa, namun harus dengan tang kuku khusus.Kuku juga dipotong tidak boleh melengkung jadi harus lurus ( datar), dan pojokan kuku dipotong jangan terlalu kedalam sebab dapat menimbulkan cantengan.Jika kaki pasien luka, kaki harus dilihat dulu kondisinya. Apakah mengalami Merawat luka pun yang harus dilakukan adalah melihat kondisi luka kaki pasien mengalami nekrotik (jaringan mati), kotor atau tidak. Jika mengalami kotor, luka dibersihkan dengan NaCl, jika mengalami penebalan ( jaringan mati), dapat menggunakan gerinda untuk memperhalus kaki. Barulah dilakukan pelepasan jaringan kulit mati, lalu dengan kasa steril ditutup dan diperban. Namun, untuk perawatan kaki, semua berpulang kembali pada kondisi luka dan kaki pasien diabet. Untuk mencegah agar kaki pasien diabet tidak mengalami masalah, pasien harus menggunakan alas kaki setiap harinya yang bertujuan untuk melindungi kaki agar tidak terluka, lalu rajin membersihkan dan mencuci kaki, pasien juga harus rajin melakukan senam kaki diabet.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-80684305949431187562010-02-14T03:00:00.001-08:002010-02-14T03:03:35.611-08:00AsKep Ca.Laring<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fYIztnZ_I/AAAAAAAAAE0/acPMKJlEpvU/s1600-h/images+(49).jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 124px; height: 93px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fYIztnZ_I/AAAAAAAAAE0/acPMKJlEpvU/s320/images+(49).jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438052720905250802" /></a><br />A. Pengertian<br />Secara anatomi tumor laring dibagi atas tiga bagian yaitu supra glotik, tumor pada plika ventrikularis, aritenoid, epiglotis dan sinus piriformis (Glotis : tumor pada korda vokalis , Subglotis : tumor dibawah korda vokalis).<br /><br />B. Patofisiologi<br />Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun. Kebanyakan pada orang laki-laki.Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat. Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli.Kanker kepala dan leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan.Terutama neoplasma laringeal 95% adalah karsinoma sel skuamosa.Bila kanker terbatas pada pita suara (intrinsik) menyebar dengan lambat.Pita suara miskin akan pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase kearah kelenjar limfe.Bila kanker melibatkan epiglotis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi.Tumor supraglotis dan subglotis harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga mengakibatkan suara serak.Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya pada waktu pita suara masih dapat digerakan.<br />C. Gambaran klinik<br />Paling dini adalah berupa suara parau atau serak kronik, tidak sembuh-sembuh walaupun penderita sudah menjalani pengobatan pada daerah glotis dan subglotis. Tidak seperti suara serak laringitis, tidak disertai oleh gejala sistemik seperti demam.Rasa tidak enak ditenggorok, seperti ada sesuatu yang tersangkut. Pada fase lanjut dapat disertai rasa sakit untuk menelan atau berbicara.Sesak napas terjadi bila rima glotis tertutup atau hampir tertutup tumor 80%. Sesak napas tidak timbul mendadak tetapi perlahan-lahan. Karena itu penderita dapat beradaptasi, sehingga baru merasakan sesak bila tumor sudah besar (terlambat berobat). Stridor terjadi akibat sumbatan jalan napas.Bila sudah dijumpai pembesaran kelenjar berarti tumor sudah masuk dalam stadium lanjut.Bahkan kadang-kadang tumornya dapat teraba, menyebabkan pembengkakan laring.<br />Bila tumor laring mengadakan perluasan ke arah faring akan timbul gejala disfagia, rasa sakit bila menelan dan penjalaran rasa sakit kearah telinga.Apabila dijumpai kasus dengan jelas diatas, khususnya dengan keluhan suara parau lebih dari dua minggu yang dengan pengobatan tidak sembuh, diderita orang dewasa atau tua, sebaiknya penderita segera dirujuk.<br />D. Stadium<br />Tergantung keadaan tumor (T), pembesaran kelenjar regional ( N ), dan metastasis jauh ( M ).<br />Stadium : I : T1 No Mo<br />II : T2 No Mo<br />III : T3 No Mo, T2 N1 Mo, T3 N1 Mo<br />IV : T4 No Mo, semua T N2 M1, semua T semua N dan M.<br />E. Diagnostic studies<br />Pemeriksaan laring dengan kaca laring atau laringoskopi langsung dapat menunjukkan tumor dengan jelas.Tempat yang sering timbul tumor dapat dilihat pada gambar.Sinar X dada,scan tulang, untuk mengidentifikasi kemungkinan metastase. Darah lengkap, dapat menyatakan anemi yang merupakan masalah umum. Laringografi dapat dilakukan dengan kontras untuk pemeriksaan pembuluh darah dan pembuluh limfe., Kemudian laring diperiksa dengan anestesi umum dan dilakukan biopsi pada tumor.Gigi yang berlubang, sebaiknya dicabut pada saat yang sama.<br />F. Medical Managament<br />Pada kasus karsinoma laring dapat dilakukan pengobatan dengan radiasi dan pengangkatan laring (Laringektomi).Pengobatan dipilih berdasar stadiumnya.Radiasi diberikan pada stadium 1 dan 4.Alasannya mempunyai keuntungan dapat mempertahankan suara yang normal, tetapi jarang dapat menyembuhkan tumor yang sudah lanjut,lebih-lebih jika sudah terdapat pembesaran kelenjar leher.Oleh karena itu radioterapi sebaiknya dipergunakan untuk penderita dengan lesi yang kecil saja tanpa pembesaran kelenjar leher.Kasus yang ideal adalah pada tumor yang terbatas pada satu pita suara, dan masih mudah digerakkan. Sembilan dari sepuluh penderita dengan keadaan yang demikian dapat sembuh sempurna dengan radioterapi serta dapat dipertahankannya suara yang normal.Fiksasi pita suara menunjukkan penyebaran sudah mencapai lapisan otot. Jika tumor belum menyebar kedaerah supraglotik atau subglotik, lesi ini masih dapat diobati dengan radioterapi, tetapi dengan prognosis yang lebih buruk.<br />Penderita dengan tumor laring yang besar disertai dengan pembesaran kelenjar limfe leher, pengobatan terbaik adalah laringektomi total dan diseksi radikal kelenjar leher.Dalam hal ini masuk stadium 2 dan 3. Ini dilakukan pada jenis tumor supra dan subglotik.Pada penderita ini kemungkinan sembuh tidak begitu besar, hanya satu diantara tiga penderita akan sembuh sempurna.Laringektomi diklasifikasikan kedalam :<br />1. Laringektomi parsial. Tumor yang terbatas pada pengangkatan hanya satu pita suara dan trakeotomi sementara yang di lakukan untuk mempertahankan jalan napas. Setelah sembuh dari pembedahan suara pasien akan parau.<br />2. Hemilaringektomi atau vertikal. Bila ada kemungkinan kanker termasuk pita suara satu benar dan satu salah.Bagian ini diangkat sepanjang kartilago aritenoid dan setengah kartilago tiroid.Trakeostomi sementara dilakukan dan suara pasien akan parau setelah pembedahan.<br />3. Laringektomi supraglotis atau horisontal. Bila tumor berada pada epiglotis atau pita suara yang salah, dilakukan diseksi leher radikal dan trakeotomi. Suara pasien masih utuh atau tetap normal.Karena epiglotis diangkat maka resiko aspirasi akibat makanan peroral meningkat.<br />4. Laringektomi total. Kanker tahap lanjut yang melibatkan sebagian besar laring, memerlukan pengangkatan laring, tulang hihoid, kartilago krikoid,2-3 cincin trakea, dan otot penghubung ke laring.Mengakibatkan kehilangan suara dan sebuah lubang ( stoma ) trakeostomi yang permanen. Dalam hal ini tidak ada bahaya aspirasi makanan peroral, dikarenakan trakea tidak lagi berhubungan dengan saluran udara – pencernaan.Suatu sayatan radikal telah dilakukan dileher pada jenis laringektomi ini.Hal ini meliputi pengangkatan pembuluh limfatik, kelenjar limfe di leher, otot sternokleidomastoideus, vena jugularis interna, saraf spinal asesorius, kelenjar salifa submandibular dan sebagian kecil kelenjar parotis (Sawyer, 1990).Operasi ini akan membuat penderita tidak dapat bersuara atau berbicara. Tetapi kasus yang dermikian dapat diatasi dengan mengajarkan pada mereka berbicara menggunakan esofagus (Esofageal speech), meskipun kualitasnya tidak sebaik bila penderita berbicara dengan menggunakan organ laring.Untuk latihan berbicara dengan esofagus perlu bantuan seorang binawicara.<br /><br />G. Dasar data pengkajian keperawatan<br />Data pre dan posoperasi tergantung pada tipe kusus atau lokasi proses kanker dan koplikasi yang ada.<br />INTEGRITAS EGO<br />Gejala : Perasaan takut akan kehilangan suara,mati, terjadi atau berulangnya kanker. Kuatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja dan keuangan.<br />Tanda : Ansietas, depresi, marah dan menolak operasi.<br />MAKANAN ATAU CAIRAN<br />Gejala :Kesulitan menelan.<br />Tanda : Kesulitan menelan, mudah tersedak, sakit menelan, sakit tenggorok yang menetap.Bengkak, luka. Inflamasi atau drainase oral, kebersihan gigi buruk. Pembengkakan lidah dan gangguan gag reflek.<br />HIGIENE<br />Tanda : kemunduran kebersihan gigi. Kebutuhan bantuan perawatan dasar.<br />NEUROSENSORI<br />Gejala : Diplopia (penglihatan ganda), ketulian.<br />Tanda : Hemiparesis wajah (keterlibatan parotid dan submandibular). Parau menetap atau kehilangan suara (gejala dominan dan dini kanker laring intrinsik). Kesulitan menelan. Kerusakan membran mukosa.<br />NYERI ATAU KENYAMANAN<br />Gejala : Sakit tenggorok kronis, benjolan pada tenggorok. Penyebaran nyeri ke telinga, nyeri wajah (tahap akhir, kemungkinan metastase). Nyeri atau rasa terbakar dengan pembengkakan (kususnya dengan cairan panas), nyeri lokal pada orofaring. Pascaoperasi : Sakit tenggorok atau mulut (nyeri biasanya tidak dilaporkan kecuali nyeri yang berat menyertai pembedahan kepala dan leher, dibandingkan dengan nyeri sebelum pembedahan).<br />Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah, nyeri wajah dan gangguan tonus otot.<br />PERNAPASAN<br />Gejala : Riwayat merokok atau mengunyah tembakau. Bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, dan logam berat. Riwayat penyakit paru kronik. Batuk dengan atau tanpa sputum. Drainase darah pada nasal.<br />Tanda : Sputum dengan darah, hemoptisis, dispnoe ( lanjut ), dan stridor.<br />KEAMANAN<br />Gejala : Terpajan sinar matahari berlebihan selama periode bertahun-tahun atau radiasi.Perubahan penglihatan atau pendengaran.<br />Tanda : Massa atau pembesaran nodul.<br />INTERAKSI SOSIAL<br />Gejala : masalah tentang kemampuan berkomunikasi, dan bergabung dalam interaksi sosial.<br />Tanda : Parau menetap,perubahan tinggi suara, bicara kacau, enggan untuk bicara,dan menolak orang lain untuk memberikan perawatan atau terlibat dalam rehabilitasi.<br /><br />H. Prioritas keperawatan pre dan post operasi<br />PREOPERASI<br />1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pra dan pascaoperasi dan takut akan kecacatan.<br />Batasan Karakteristik : Mengungkapkan keluhan khusus, merasa tidak mampu, meminta informasi, mengungkapkan kurang mengerti dan gelisah, menolak operasi.<br />Goal : Cemas berkurang atau hilang.<br />Kriteria Hasil : Mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka, melaporkan berkurangnya cemas dan takut, mengungkapkan mengerti tentang pre dan posoprasi, secara verbal mengemukakan menyadari terhadap apa yang diinginkannya yaitu menyesuaikan diri terhadap perubahan fisiknya.<br />Rencana Tindakan :<br />1. Jelaskan apa yang terjadi selama periode praoperasi dan pascaoperasi, termasuk tes laboratorium praoperasi, persiapan kulit, alasan status puasa,obat-obatan praoperasi,obat-obatan posoperasi, tinggal di ruang pemulihan, dan program paskaoprasi. Informasikan pada klien obat nyeri tersedia bila diperlukan untuk mengontrol nyeri.Rasional pengetahuan tentang apa yang diperkirakan membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerjasama pasien.<br />2. Jika laringektomi total akan dilakukan, konsultasikan dulu dengan pasien dan dokter untuk mendapatkan kunjungan dari anggota klub laringektomi.Atur waktu untuk berdiskusi dengan terapi tentang alternatif metoda-metoda untuk rehabilitasi suara.Rasional mengetahui apa yang diharapkan dan melihat hasil yang sukses membantu menurunkan kecemasan dan memungkinkan pasien berpikir realistik.<br />3. Izinkan pasien untuk mengetahui keadaan pascaoperasi : satu atau dua hari akan dirawat di UPI sebelum kembali ke ruangan semula, mungkin ruangan penyakit dalam atau ruangan bedah.Mungkin saja akan dipasang NGT. Pemberian makan per sonde diperlukan sampai beberapa minggu setelah pulang hingga insisi luka sembuh dan mampu untuk menelan (jika operasi secara radikal di leher dilaksanakan).Alat bantu jalan napas buatan (seperti trakeostomi atau selang laringektomi) mungkin akan terpasang hingga pembengkakan dapat diatasi.Manset trakeostomi atau selang T akan terpasang di jalan napas buatan, untuk pemberian oksigen yang telah dilembabkan atau memberikan udara dengan tekanan tertentu. Rasional pengetahuan tentang apa yang diharapkan dari intervensi bedah membantu menurunkan kecemasan dan memungkinkan pasien untuk memikirkan tujuan yang realistik.<br />4. Jika akan dilakukan laringektomi horizontal atau supraglotik laringektomi, ajarkan pasien dan latih cara-cara menelan sebagai berikut:<br />Ketika makan duduk dan tegak lurus ke depan dengan kepala fleksi, letakan porsi kecil makanan di bagian belakang dekat tenggorok, tarik napas panjang dan tahan (ini akan mendorong pita suara bersamaan dengan menutupnya jalan masuk ke trakea), menelan dengan menggunakan gerakan menelan,batukan dan menelan kembali untuk memastikan tidak ada makanan yang tertinggal di tenggorok. Rasional karena epiglotis sudah diangkat pada jenis laringektomi seperti ini, aspirasi karena makanan per oral merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Belajar bagaimana beradaptasi dengan perubahan fisiologik dapat menjadikan frustrasi dan menyebabkan ansietas.Berlatih secara terus – menerus dapat membantu mempermudah belajar dan beradaptasi terhadap perubahan tersebut<br />2. Menolak operasi berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur pre dan paskaoperasi, kecemasan, ketakutan akan kecacatan dan ancaman kematian.<br />Karakteristik data : kurang kerjasama dan menolak untuk dioperasi,menanyakan informasi tentang persiapan pre dan prosedur posoperasi.<br />Goal : Klien akan bersedia dioperasi.<br />Kriteria hasil : Mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka, mengatakan mengerti pre dan posoperasi, mengatakan berkurangnya kecemasan, klien dioperasi.<br />Rencana tindakan :<br />1. Kaji faktor-faktor yang menyebabkan klien menolak untuk dioperasi.<br />2. Anjurkan keluarga untuk memberikan suport seperti dukungan spiritual.<br />3. Direncanakan tindakan sesuai diagnosa keperawatan no.1.<br />POST OPERASI<br />1. Mempertahankan jalan napas tetap terbuka, ventilasi adekuat.<br />2. Membantu pasien dalam mengembangkan metode komunikasi alternatif.<br />3. Memperbaiki atau mempertahankan integritas kulit.<br />4. Membuat atau mempertahankan nutrisi adekuat.<br />5. Memberikan dukungan emosi untuk penerimaan gambaran diri yang terganggu.<br />6. Memberikan informasi tentang proses penyakit atau prognosis dan pengobatan.<br />Tujuan Pemulangan<br />1. Ventilasi atau oksigenasi adekuat untuk kebutuhan individu.<br />2. Komunikasi dengan efektif.<br />3. Komplikasi tercegah atau minimal.<br />4. Memulai untuk mengatasi gambaran diri.<br />5. Proses penyakit atau prognosis dan program terapi dapat dipahami.<br /><br />Diagnosa Keperawatan<br />I. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pengangkatan sebagian atau seluruh glotis, gangguan kemampuan untuk bernapas, batuk dan menelan, serta sekresi banyak dan kental.<br />Batasan karakteristik : sulit bernapas, perubahan pada frekwensi atau kedalaman pernapasan,penggunaan otot aksesori pernapasan, bunyi napas tidak normal,sianosis.<br />Goal : Klien akan mempertahankan jalan napas tetap terbuka.<br />Kriteria hasil : bunyi napas bersih dan jelas, tidak sesak, tidak sianosis,frekwensi napas normal.<br />Rencana tindakan :<br />Mandiri<br />1. Awasi frekwensi atau kedalaman pernapasan.Auskultasi bunyi napas. Selidiki kegelisahan, dispnea, dan sianosis. Rasional perubahan pada pernapasan, adanya ronki,mengi,diduga adanya retensi sekret.<br />2. Tinggikan kepala 30-45 derajat. Rasional memudahkan drainase sekret, kerja pernapasan dan ekspansi paru.<br />3. Dorong menelan bila pasien mampu. Rasional mencegah pengumpulan sekret oral menurunkan resiko aspirasi. Catatan : menelan terganggu bila epiglotis diangkat atau edema paskaoperasi bermakna dan nyeri terjadi.<br />4. Dorong batuk efektif dan napas dalam. Rasional memobilisasi sekret untuk membersihkan jalan napas dan membantu mencegah komplikasi pernapasan.<br />5. Hisap selang laringektomi atau trakeotomi, oral dan rongga nasal. Catat jumlah, warna dan konsistensi sekret. Rasional mencegah sekresi menyumbat jalan napas, khususnya bila kemampuan menelan terganggu dan pasien tidak dapat meniup lewat hidung.<br />6. Observasi jaringan sekitar selang terhadap adanya perdarahan. Ubah posisi pasien untuk memeriksa adanya pengumpulan darah dibelakang leher atau balutan posterior.Rasional sedikit jumlah perembesan mungkin terjadi. Namun perdarahan terus-menerus atau timbulnya perdarahan tiba-tiba yang tidak terkontrol dan menunjukkan sulit bernapas secara tiba-tiba.<br />7. Ganti selang atau kanul sesuai indikasi. Rasional mencegah akumulasi sekret dan perlengketan mukosa tebal dari obstruksi jalan napas. Catatan : ini penyebab umum distres pernapasan atau henti napas pada paskaoperasi.<br />Kolaborasi<br />8. Berikan humidifikasi tambahan, contoh tekanan udara atau oksigen dan peningkatan masukan cairan.Rasional fisiologi normal ( hidung) berarti menyaring atau melembabkan udara yang lewat.Tambahan kelembaban menurunkan mengerasnya mukosa dan memudahkan batuk atau penghisapan sekret melalui stoma.<br />9. Awasi seri GDA atau nadi oksimetri, foto dada. Rasional pengumpulan sekret atau adanya ateletaksis dapat menimbulkan pneumonia yang memerlukan tindakan terapi lebih agresif.<br />II. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan defisit anatomi (pengangkatan batang suara) dan hambatan fisik (selang trakeostomi).<br />Karakteristik data :Ketidakmampuan berbicara, perubahan pada karakteristik suara.<br />Goal : Komunikasi klien akan efektif .<br />Kriteria hasil : Mengidentifikasi atau merencanakan pilihan metode berbicara yang tepat setelah sembuh.<br />Rencana tindakan :<br />Mandiri<br />1. Kaji atau diskusikan praoperasi mengapa bicara dan bernapas terganggu,gunakan gambaran anatomik atau model untuk membantu penjelasan.Rasional untuk mengurangi rasa takut pada klien.<br />2. Tentukan apakah pasien mempunyai gangguan komunikasi lain seperti pendengaran dan penglihatan.Rasional adanya masalah lain mempengaruhi rencana untuk pilihan komunikasi.<br />3. Berikan pilihan cara komunikasi yang tepat bagi kebutuhan pasien misalnya papan dan pensil, papan alfabet atau gambar, dan bahasa isyarat.Rasional memungkingkan pasien untuk menyatakan kebutuhan atau masalah. Catatan : posisi IV pada tangan atau pergelangan dapat membatasi kemampuan untuk menulis atau membuat tanda.<br />4. Berikan waktu yang cukup untuk komunikasi.Rasional kehilangan bicara dan stres menganggu komunikasi dan menyebabkan frustrasi dan hambatan ekspresi, khususnya bila perawat terlihat terlalu sibuk atau bekerja.<br />5. Berikan komunikasi non verbal, contoh sentuhan dan gerak fisik. Rasional mengkomunikasikan masalah dan memenuhi kebutuhan kontak dengan orang lain.<br />6. Dorong komunikasi terus-menerus dengan dunia luar contoh koran,TV, radio dan kalender. Rasional mempertahankan kontak dengan pola hidup normal dan melanjutkan komunikasi dengan cara lain.<br />7. Beritahu kehilangan bicara sementara setelah laringektomi sebagian dan atau tergantung pada tersedianya alat bantu suara. Rasional memberikan dorongan dan harapan untuk masa depan dengan memikirkan pilihan arti komunikasi dan bicara tersedia dmungkin.<br />8. Ingatkan pasien untuk tidak bersuara sampai dokter memberi izin.Rasional meningkatkan penyembuhan pita suara dan membatasi potensi disfungsi pita permanen.<br />9. Atur pertemuan dengan orang lain yang mempunyai pengalaman prosedur ini dengan tepat. Rasional memberikan model peran, meningkatkan motivasi untuk pemecahan masalah dan mempelajari cara baru untuk berkomunikasi.<br />Kolaborasi<br />10. Konsul dengan anggota tim kesehatan yang tepat atau terapis atau agen rehabilitasi (contoh patologis wicara, pelayanan sosial, kelompok laringektomi) selama rehabilitasi dasar dirumah sakit sesuai sumber komunikasi (bila ada). Rasional Kemampuan untuk menggunakan pilihan suara dan metode bicara (contoh bicara esofageal) sangat bervariasi, tergantung pada luasnya prosedur pembedahan, usia pasien, dan motivasi untuk kembali ke hidup aktif. Waktu rehabilitasi memerlukan waktu panjang dan memerlukan sumber dukungan untuk proses belajar.<br />III. Kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan bedah pengangkatan, radiasi atau agen kemoterapi, gangguan sirkulasi atau suplai darah,pembentukan udema dan pengumpulan atau drainase sekret terus-menerus.<br />Karakteristik data : kerusakan permukaan kulit atau jaringan, kerusakan lapisan kulit atau jaringan.<br />Goal : Menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi.<br />Kriteria hasil : integritas jaringan dan kulit sembuh tanpa komplikasi<br />Rencana tindakan :<br />1. Kaji warna kulit, suhu dan pengisian kapiler pada area operasi dan tandur kulit.Rasional kulit harus berwarna merah muda atau mirip dengan warna kulit sekitarnya. Sianosis dan pengisian lambat dapat menunjukkan kongesti vena, yang dapat menimbulkan iskemia atau nekrosis jaringan.<br />2. Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat. Awasi edema wajah (biasanya meningkat pada hari ketiga-kelima pascaoperasi).Rasional meminimalkan kongesti jaringan paskaoperasi dan edema sehubungan dengan eksisi saluran limfe.<br />3. Lindungi lembaran kulit dan jahitan dari tegangan atau tekanan. Berkan bantal atau gulungan dan anjurkan pasien untuk menyokong kepala atau leher selama aktivitas. Rasional tekanan dari selang dan plester trakeostomi atau tegangan pada jahitan dapat menggangu sirkulasi atau menyebabkan cedera jaringan.<br />4. Awasi drainase berdarah dari sisi operasi, jahitan dan drein.Rasional drainase berdarah biasanya tetap sedikit setelah 24 jam pertama. Perdarahan terus-menerus menunjukkan masalah yang memerlukan perhatian medik.<br />5. Catat atau laporkan adanya drainase seperti susu. Rasional drainase seperti susu menunjukkan kebocoran duktus limfe torakal (dapat menyebabkan kekurangan cairan tubuh dan elektrolit).Kebocoran ini dapat sembuh spontan atau memerlukan penutupan bedah.<br />6. Ganti balutan sesuai indikasi bila digunakan. Rasional balutan basah meningkatkan resiko kerusakan jaringan atau infeksi. Catatan : balutan tekan tidak digunakan diatas lembaran kulit karena suplai darah mudah dipengaruhi.<br />7. Bersihkan insisi dengan cairan garam faal steril dan peroksida (campuran 1 : 1) setelah balutan diangkat. Rasional mencegah pembetukan kerak , yang dapat menjebak drainase purulen, merusak tepi kulit, dan meningkatkan ukuran luka. Peroksida tidak banyak digunakan karena dapat membakar tepi dan menggangu penyembuhan.<br />8. Bersihka sekitar stoma dan selang bila dipasang serta hindari sabun dan alkohol.Tunjukkan pada pasien bagaimana melakukan perawatan stoma atau selang sendiri dalam membersihkan dengan air bersih dan peroksida, menggunakan kain bukan tisu atau katun. Rasional mempertahankan area bersih meningkatkan penyembuhan dan kenyamanan. Sabun dan agen kering lainnya dapat menimbulkan iritasi stoma dan kemungkinan inflamasi.Bahan lain selain kain dapat meninggalkan serat pada stoma yang dapat mengiritasi atau terhisap ke paru.<br />Kolaborasi<br />9. Berikan antibiotik oral, topikal dan IV sesuai indikasi. Rasional mencegah atau mengontrol infeksi.<br />IV. Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan dehidrasi, kebersihan oral tidak adekuat, kanker oral, penurunan produksi saliva sekunder terhadap radiasi atau prosedur pembedahan dan defisit nutrisi.<br />Karakteristik data : Xerostomia ( mulut kering ), ketidaknyamanan mulut, saliva kental atau banyak, penurunan produksi saliva, lidah kering,pecah dan kotor,bibir inflamasi, tidak ada gigi.<br />Goal : menunjukkan membran mukosa oral baik atau integritas membran mukosa baik.<br />Kriteria Hasil : mulut lembab atau tidak kering, mulut terasa segar, lidah normal, bersih dan tidak pecah, tidak ada tanda inflamasi pada bibir.<br />Rencana tindakan :<br />Mandiri<br />1. Inspeksi rongga oral dan perhatikan perubahan pada saliva.Rasional kerusakan pada kelenjar saliva dapat menurunkan produksi saliva, mengakibatkan mulut kering. Penumpukan dan pengaliran saliva dapat terjadi karena penurunan kemampuan menelan atau nyeri tenggorok dan mulut.<br />2. Perhatikan perubahan pada lidah, bibir, geligi dan gusi serta membran mukosa. Rasional pembedahan meliputi reseksi parsial dari lidah, platum lunak, dan faring. Pasien akan mengalami penurunan sensasi dan gerakan lidah, dengan kesulitan menelan dan peningkatan resiko aspirasi sekresi, serta potensial hemoragi. Pembedahan dapat mengankat bagian bibir mengakibatkan pengaliran saliva tidak terkontrol. Geligi mungkin tidak utuh ( pembedahan ) atau mungkin kondisinya buruk karena malnutrisi dan terapi kimia. Gusi juga dapat terinflamasi karena higiene yang buruk, riwayat lama dari merokok atau mengunyah tembakau atau terapi kimia. Membran mukosa mungkin sangat kering, ulserasi,eritema,dan edema.<br />3. Hisapan rongga oral secara perlahan atau sering. Biarkan pasien melakukan pengisapan sendiri bila mungkin atau menggunakan kasa untuk mengalirkan sekresi. Rasional saliva mengandung enzim pencernaan yang mungkin bersifat erosif pada jaringan yang terpajan. Karena pengalirannya konstan, pasien dapat meningkatkan kenyamanan sendiri dan meningkatkan higiene oral.<br />4. Tunjukkan pasien bagaimana menyikat bagian dalam mulut, platum, lidah dan geligi dengan sering. Rasional menurunkan bakteri dan resiko infeksi, meningkatkan penyembuhan jaringan dan kenyamanan.<br />5. Berikan pelumas pada bibir; berikan irigasi oral sesuai indikasi. Rasional mengatasi efek kekeringan dari tindakan terapeutik; menghilangkan sifat erosif dari sekresi.<br />V. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, pembengkakan jaringan,adanya selang nasogastrik atau orogastrik.<br />Karakteristik data : Ketidaknyamanan pada area bedah atau nyeri karena menelan, nyeri wajah, perilaku distraksi, gelisah, perilaku berhati-hati.<br />Goal : Nyeri klien akan berkurang atau hilang.<br />Kriteria hasil : klien mengatakan nyeri hilang, tidak gelisah, rileks dan ekpresi wajah ceria.<br />Rencana tindakan :<br />1. Sokong kepala dan leher dengan bantal.Tunjukkan pada pasienbagaimana menyokong leher selama aktivitas.Rasional kelemahan otot diakibatkan oleh reseksi otot dan saraf pada struktur leher dan atau bahu. Kurang sokongan meningkatkan ketidaknyamanan dan mengakibatkan cedera pada area jahitan.<br />2. Dorong pasien untuk mengeluarkan saliva atau penghisap mulut dengan hati-hati bila tidak mampu menelan. Rasional menelan menyebabkan aktivitas otot yang dapat menimbulkan nyeri karena edema atau regangan jahitan.<br />3. Selidiki perubahan karakteristik nyeri, periksa mulut, jahitan tenggorok untuk trauma baru.Rasional dapat menunjukkan terjadinya komplikasi yang memerlukan evaluasi lanjut atau intervensi.Jaringan terinflamasi dan kongesti dapat dengan mudah mengalami trauma dengan penghisapan kateter dan selang makanan.<br />4. Catat indikator non verbal dan respon automatik terhadap nyeri. Evaluasi efek analgesik. Rasional alat menentukan adanya nyeri dan keefektifan obat.<br />5. Anjurkan penggunaan perilaku manajemen stres, contoh teknik relaksasi, bimbingan imajinasi. Rasional meningkatkan rasa sehat, dapat menurunkan kebutuhan analgesik dan meningkatkan penyembuhan.<br />6. Kolaborasi dengan pemberian analgesik, contoh codein, ASA, dan Darvon sesuai indikasi. Rasional derajat nyeri sehubungan dengan luas dan dampak psikologi pembedahan sesuai dengan kondisi tubuh.Diharapkan dapat menurunkan atau menghilangkan nyeri.<br />VI. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan jenis masukan makanan sementara atau permanen, gangguan mekanisme umpan balik keinginan makan, rasa, dan bau karena perubahan pembedahan atau struktur, radiasi atau kemoterapi.<br />Karakteristik data : tidak adekuatnya masukan makanan,ketidakmampuan mencerna makanan, menolak makan, kurang tertarik pada makanan,laporan gangguan sensasi pengecap, penurunan berat badan, kelemahan otot yang diperlukan untuk menelan atau mengunyah.<br />Goal : Klien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.<br />Kriteria hasil : Membuat pilihan diit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu, menunjukkan peningkatan BB dan penyembuhan jaringan atau insisi sesuai waktunya.<br />Rencana tindakan :<br />1. Auskultasi bunyi usus. Rasional makan dimulai hanya setelah bunyi usus membik setelah operasi.<br />2. Pertahankan selang makan, contoh periksa letak selang : dengan mendorongkan air hangat sesuai indikasi. Rasional selang dimasukan pada pembedahan dan biasanya dijahit.Awalnya selang digabungkan dengan penghisap untuk menurunkan mual dan muntah. Dorongan air untuk mempertahankan kepatenan selang.<br />3. Ajarkan pasien atau orang terdekat teknik makan sendiri, contoh ujung spuit, kantong dan metode corong, menghancurkan makanan bila pasien akan pulang dengan selang makanan. Yakinkan pasien dan orang terdekat mampu melakukan prosedur ini sebelum pulang dan bahwa makanan tepat dan alat tersedia di rumah. Rasional membantu meningkatkan keberhasilan nutrisi dan mempertahankan martabat orang dewasa yang saat ini terpaksa tergantung pada orang lain untuk kebutuhan sangat mendasar pada penyediaan makanan.<br />4. Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai dengan toleransi. Catat tanda kepenuhan gaster, regurgitasi dan diare.Rasional kandungan makanan dapat mengakibatkab ketidaktoleransian GI, memerlukan perubahan pada kecepatan atau tipe formula.<br />5. Berikan diet nutrisi seimbang (misalnya semikental atau makanan halus) atau makanan selang (contoh makanan dihancurkan atau sediaan yang dijual) sesuai indikasi. Rasional macam-macam jenis makanan dapat dibuat untuk tambahan atau batasan faktor tertentu, seperti lemak dan gula atau memberikan makanan yang disediakan pasien.<br />VII. Gangguan citra diri berhubungan dengan kehilangan suara,perubahan anatomi wajah dan leher.<br />Karakteristik data :perasaan negatif tentang citra diri, perubahan dalam keterlibatan sosial, ansietas, depresi, kurang kontak mata.<br />Goal : Mengidentifikasi perasaan dan metode koping untuk persepsi negatif pada diri sendiri.<br />Kriteria hasil : menunjukkan adaptasi awal terhadap perubahan tubuh sebagai bukti dengan partisipasi aktivitas perawatan diri dan interaksi positip dengan orang lain.Berkomunikasi dengan orang terdekat tentang perubahan peran yang telah terjadi.Mulai mengembangkan rencana untuk perubahan pola hidup. Berpartisipasi dalam tim sebagai upaya melaksanakan rehabilitasi.<br />Rencana tindakan :<br />1. Diskusikan arti kehilangan atau perubahan dengan pasien, identifikasi persepsi situasi atau harapan yang akan datang.Rasional alat dalam mengidentifikasi atau mengartikan masalah untuk memfokuskan perhatian dan intervensi secara konstruktif.<br />2. Catat bahasa tubuh non verbal, perilaku negatif atau bicara sendiri. Kaji pengrusakan diri atau perilaku bunuh diri. Rasional dapat menunjukkan depresi atau keputusasaan, kebutuhan untuk pengkajian lanjut atau intervensi lebih intensif.<br />3. Catat reaksi emosi, contoh kehilangan, depresi, marah. Rasional pasien dapat mengalami depresi cepat setelah pembedahan atau reaksi syok dan menyangkal. Penerimaan perubahan tidak dapat dipaksakan dan proses kehilangan membutuhkan waktu untuk membaik.<br />4. Susun batasan pada perilaku maladaptif, bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positip yang akan membaik. Rasional penolakan dapat mengakibatkan penurunan harga diri dan mempengaruhi penerimaan gambaran diri yang baru.<br />5. Kolaboratif dengan merujuk pasien atau orang terdekat ke sumber pendukung, contoh ahli terapi psikologis, pekerja sosial, konseling keluarga. Rasional pendekatan menyeluruh diperlukan untuk membantu pasien menghadapi rehabilitasi dan kesehatan. Keluarga memerlukan bantuan dalam pemahaman proses yang pasien lalui dan membantu mereka dalam emosi mereka. Tujuannya adalah memampukan mereka untuk melawan kecendrungan untuk menolak dari atau isolasi pasien dari kontak sosial.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta.<br />Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd Edition : WB Sauders.<br />Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom FK Unair, Surabaya.<br />Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan<br />Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta<br />Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.<br />Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.<br />Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (1998). Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-57423246900665791032010-02-14T02:56:00.000-08:002010-02-14T03:00:27.695-08:00AsKep Otitis Media Acut<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fXguaIzHI/AAAAAAAAAEs/Nx8IoUInqcI/s1600-h/clip_image001_thumb1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 262px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fXguaIzHI/AAAAAAAAAEs/Nx8IoUInqcI/s320/clip_image001_thumb1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438052032286608498" /></a><br />A. Pengertian<br />Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).<br />Yang paling sering terlihat ialah :<br />1. Otitis media viral akut<br />2. Otitis media bakterial akut<br />3. Otitis media nekrotik akut<br /><br />B. Etiologi<br />Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.<br /><br />C. Patofisiologi<br />Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.<br />Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.<br />D. Pemeriksaan Penunjang<br />1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.<br />2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.<br />E. Asuhan Keperawatan<br />1. Pengkajian<br />Data yang muncul saat pengkajian:<br />a. Sakit telinga/nyeri<br />b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga<br />c. Tinitus<br />d. Perasaan penuh pada telinga<br />e. Suara bergema dari suara sendiri<br />f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan<br />g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga<br />h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga<br />i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)<br />j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam<br />k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat<br />l. Reflek kejut<br />m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras<br />n. Tipe warna 2 jumlah cairan<br />o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning<br />p. Alergi<br />q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram<br />r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi<br />2. Fokus Intervensi<br />1) Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga<br />Tujuan : nyeri berkurang atau hilang<br />Intervensi:<br />(a) Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.<br />(b) Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.<br />(c) Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)<br />(d) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik<br />Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang<br />2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan<br />Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi<br />Intervensi:<br />(a) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.<br />(b) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme<br />(c) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.<br />(d) Kolaborasi pemberian antibiotik<br />Evaluasi: infeksi tidak terjadi<br />3) Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori<br />Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan<br />Intervensi:<br />(a) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh<br />(b) Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.<br />(c) Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh<br />(d) Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka<br />Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan<br />OTITIS MEDIA PERFORATA<br />A. Pengertian<br />Otitis media perforata (OMP) atau otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau kental, bening atau bernanah.(Kapita selekta kedokteran, 1999)<br />B. Etiologi<br />Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis antara lain:<br />1. Gangguan fungsi tuba eustacius yang kronis akibat:<br />a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis dan berulang<br />b. Obstruksi anatomik tuba eustacius parsial atau total<br />2. Perforasi membran timpani yang menetap.<br />3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah.<br />4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulai atau timpano-sklerosis.<br />5. Terdapat daerah-daerah osteomielitis persisten di mastoid.<br />6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.<br />C. Patofisiologi<br />Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada menetap. Keadaan kronis lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.<br />OMP terutama pada masa anak-anak akan terjadi otitis media nekrotikans dapat menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu gendang telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran atropi kemudian kolps ke dalam telinga tengah memberi gambaran optitis media atelektasis.<br />D. Pemeriksaan Penunjang<br />1. Audiometrik untuk mengetahui tuli konduktif<br />2. Foto rontgent untuk mengetahui patologi mastoid<br />3. Otoskop untuk melihat perforasi membran timpani<br />E. Asuhan Keperawatan<br />1. Pengkajian<br />a. Kaji riwayat infeksi telinga dan pengobatan<br />b. Kaji drainage telinga, keutuhan membran timpani<br />c. Kaji penurunan / tuli pendengaran<br />d. Kaji daerah mastoid<br />2. Diagnosa Keperawatan<br />a. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi efek pembedahan.<br />b. Resiko penyebaran infeksi berhubungen dengan komplikasi proses pembedahan / penyakit.<br />c. Gangguan persepsi sensori auditory berhubungan dengan proses penyakit dan efek pembedahan.<br />3. Intervensi Keperawatan<br />a. Meningkatkan kenyamanan<br />1) Berikan tindakan untuk mengurangi nyeri<br />§ Beri analgetik<br />§ Lakukan kompres dingin pada area<br />§ Atur posisi nyaman<br />2) Beri sedatif secara hati-hati agar dapat istirahat (kolaborasi)<br />b. Pencegahan penyebaran infeksi<br />1) Mengganti balutan pada daerah luka<br />2) Observasi tanda-tanda vital<br />3) Beri antibiotik yang disarankan tim medis<br />4) Awasi terjadinya infeksi<br />c. Monitor perubahan sensori<br />1) Catat status pendengaran<br />2) Kaji pasien yang mengalami vertigo setelah operasi<br />3) Awasi keadaan yang dapat menyebabkan injury nervus facial<br />3. Evaluasi<br />a. Tak ada infeksi lokal atau CNS<br />b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang<br />c. Dapat mendengar dengan jelas tanpa atau menggunakan alat bantu pendengaran<br />DAFTAR PUSTAKA<br />1. Donna L. Wong, L.F. Whaley, Nursing Care of Infants and Children, Mosby Year Book.<br />2. Efiaty Arsyad, S, Nurbaiti Iskandar, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi III, FKUI,1997.<br />3. Wong Whaley, Clinical Manual of Pediatric Nursing, Mosby Year Book.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-7273917910225520502010-02-14T02:49:00.000-08:002010-02-14T02:56:44.435-08:00AsKep Mioma Uteri<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fW0VxLysI/AAAAAAAAAEk/Q2qSMePEEzU/s1600-h/mioma+uteri.jpeg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 111px; height: 99px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fW0VxLysI/AAAAAAAAAEk/Q2qSMePEEzU/s320/mioma+uteri.jpeg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438051269758143170" /></a><br />A. Pengertian<br />Myoma Uteri adalah : neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus yang disebut juga dengan Leiomyoma Uteri atau Uterine Fibroid. <br />Myoma Uteri umumnya terjadi pada usia lebih dari 35 tahun. Dikenal ada dua tempat asal myoma uteri yaitu pada serviks uteri (2 %) dan pada korpus uteri (97%), belum pernah ditemukan myoma uteri terjadi sebelum menarche.<br /><br />B. Etiologi<br />Walaupun myoma uteri ditemukan terjadi tanpa penyebab yang pasti, namun dari hasil penelitian Miller dan Lipschlutz dikatakan bahwa myoma uteri terjadi tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat pada “Cell Nest” yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh hormon estrogen. <br /><br />C. Lokalisasi Mioma Uteri<br />1. Mioma intramural ; Apabila tumor itu dalam pertumbuhannya tetap tinggal dalam dinding uterus.<br />2. Mioma Submukosum ; Mioma yang tumbuh ke arah kavum uteri dan menonjol dalam kavum itu.<br />3. Mioma Subserosum ; Mioma yang tumbuh ke arah luar dan menonjol pada permukaan uterus.<br /><br />D. Komplikasi<br />1. Pertumbuhan leimiosarkoma.<br />Mioma dicurigai sebagai sarcoma bila selama beberapa tahun tidak membesar, sekonyong – konyong menjadi besar apabila hal itu terjadi sesudah menopause<br />2. Torsi (putaran tangkai)<br />Ada kalanya tangkai pada mioma uteri subserosum mengalami putaran. Kalau proses ini terjadi mendadak, tumor akan mengalami gangguan sirkulasi akut dengan nekrosis jaringan dan akan tampak gambaran klinik dari abdomenakut.<br />3. Nekrosis dan Infeksi<br />Pada myoma subserosum yang menjadi polip, ujung tumor, kadang-kadang dapat melalui kanalis servikalis dan dilahirkan dari vagina, dalam hal ini kemungkinan gangguan situasi dengan akibat nekrosis dan infeksi sekunder.<br />Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Dasar<br />(Dikaitkan dengan patofisiologi, insiden dan prognosis penyakit)<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />E. Pemeriksaan Diagnostik<br />1. Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb: turun, Albumin : turun, Lekosit : turun / meningkat, Eritrosit : turun<br />2. USG : terlihat massa pada daerah uterus.<br />3. Vaginal Toucher : didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa, konsistensi dan ukurannya.<br />4. Sitologi : menentukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma tersebut.,<br />5. Rontgen : untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang dapat menghambat tindakan operasi.<br />6. ECG : Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat mempengaruhi tindakan operasi. <br /><br />F. Cara Penanganan Mioma Uteri <br />Indikasi mioma uteri yang diangkat adalah mioma uteri subserosum bertangkai. Pada mioma uteri yang masih kecil khususnya pada penderita yang mendekati masa menopause tidak diperlukan pengobatan, cukup dilakukan pemeriksaan pelvic secara rutin tiap tiga bulan atau enam bulan. Adapun cara penanganan pada myoma uteri yang perlu diangkat adalah dengan pengobatan operatif diantaranya yaitu dengan histerektomi dan umumnya dilakukan histerektomi total abdominal. Tindakan histerektomi total tersebut dikenal dengan nama Total Abdominal Histerektomy and Bilateral Salphingo Oophorectomy (TAH-BSO). TAH–BSO adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus, serviks, kedua tuba falofii dan ovarium dengan melakukan insisi pada dinding, perut pada malignan neoplasmatic desease, leymyoma dan chronic endrometriosis (Tucker, Susan Martin, 1998).<br /><br />G. Diagnosa Keperawatan<br />1. Gangguan eliminasi urin (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan neoplasm pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik.<br />2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot <br />3. Ganguan konsep diri berhubungan dengan kekawatiran tentang ketidakmampuan memiliki anak, perubahan dalam masalah kewanitaan, akibat pada hubungan seksual.<br />4. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan terjadinya perdarahan yang berulang-ulang. <br />5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.<br /> <br />H. Perencanaan keperawatan.<br />Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan<br /> Tujuan dan criteria hasil Intervensi Rasional<br />Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot dan system saraf akibat penyempitan kanalis servikalis oleh myoma Klien dapat mengontrol nyerinya dengan criteria hasil mampu mengidentifikasi cara mengurangi nyeri, mengungkapkan keinginan untuk mengontrol nyerinya. 1. Observasi adanya nyeri dan tingkat nyeri.<br />2. Ajarkan dan catat tipe nyeri serta tindakah untuk mengatasi nyeri<br />3. Ajarkan teknik relaksasi<br /><br />4. Anjurkan untuk menggunakan kompres hangat<br />5. Kolaborasi pemberian analgesik Memudahkan tindakan keperawatan <br /><br />Meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri yang dialaminya.<br />Membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan klien<br />Meningkatkan kenyamanan klien<br /><br />Mengurangi nyeri<br />Gangguan eliminasi urine (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan neoplasma pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik. Pola eliminasi urine ibu kembali normal dengan criteria hasil ibu memahami terjadinya retensi urine, bersedia melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan retensi urine. 1. Catat pola miksi dan monitor pengeluaran urine<br />2. Lakukan palpasi pada kandung kemih, observasi adanya ketidaknyamanan dan rasa nyeri.<br />3. Anjurkan klien untuk merangsang miksi dengan pemberian air hangat, mengatur posisi, mengalirkan air keran. Melihat perubahan pola eliminasi klien<br /><br />Menentukan tingkat nyeri yang dirasakan oleh klien<br /><br />Mencegah terjadinya retensi urine <br />Ganguan konsep diri berhubungan dengan kekawatiran tentang ketidakmampuan memiliki anak, perubahan dalam masalah kewanitaan, akibat pada hubungan seksual.<br /> Konsep diri klien tidak mengalami gangguan dengan criteria hasil menerima keadaan dirinya, menyatakan bersedia untuk dilakukan tindakan termasuk tindakan pembedahan 1. Beritahu klien tentang siapa saja yang bisa dilakukan histerektomi dan anjurkan klien untuk mengekpresikan perasaannya tentang histerektomi<br />2. Kaji apakah klien mempunyai konsep diri yang negatif.<br />3. Memotivasi klien untuk mengungkapkan perasaannya mengenai tindakan pembedahan dan pengaruhnya terhadap diri klien<br />4. Ciptakan lingkungan atau suasana yang terbuka bagi klien untuk membicarakan keluhan-keluhannya. Mengurangi kecemasan dan meningatkan harga diri klien<br /><br /><br />Identifikasi kekuatan dan kelemahan klien<br /><br />Mengurangi kecemasan<br /><br /><br /><br />Meningkatkan harga diri klien dan berperan aktif dalam perencanaan perawatan bagi diri klien<br /> <br />Daftar Pustaka<br /><br />Bagian Obstetri & Ginekologi FK. Unpad. 1993. Ginekologi. Elstar. Bandung<br /><br />Carpenito, Lynda Juall, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta<br /><br />Galle, Danielle. Charette, Jane.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC. Jakarta<br /><br />Hartono, Poedjo. 2000. Kanker Serviks/Leher Rahim & Masalah Skrining di Indonesia. Kursus Pra kongres KOGI XI Denpasar. Mimbar Vol.5 No.2 Mei 2001<br /><br />…………….2001. Diktat Kuliah Ilmu Keperawatan Maternitas TA : 2000/01 PSIK.FK. Unair, Surabaya<br /><br />Saifidin, Abdul Bari,dkk. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo & JNKKR-POGI. JakartaNs.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-26786129983483416352010-02-14T02:31:00.000-08:002010-02-14T02:41:01.952-08:00AsKep Ekstraksi vakum<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fTMlotlVI/AAAAAAAAAEU/EDCDw6kjxHQ/s1600-h/vakum-vs-forceps-300x240.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 240px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fTMlotlVI/AAAAAAAAAEU/EDCDw6kjxHQ/s320/vakum-vs-forceps-300x240.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438047288287925586" /></a><br />PENGERTIAN<br /><br />Ekstraksi vakum merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karena itu, kerjasama dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan faktor yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan ke arah yang sama. Tarikan pada kulit kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman yang dihasilkan dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik akan memegang kulit kepala yang akibat tekanan vakum, menjadi kaput artifisial. Mangkuk dihubungkan dengan tuas penarik (yang dipegang oleh penolong persalinan), melalui seutas rantai. Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan interauterin (oleh kontraksi) tekanan ekspresi eksternal (tenaga mengedan) dan gaya tarik (ekstraksi vakum).<br /><br />INDIKASI<br />○Kala II lama dengan presentasi kepala belakang/verteks.<br />KONTRA INDIKASI<br />○Malpresentasi (dahi, puncak, kepala, muka, bokong).<br />○Panggul sempit (disproporsi kepala-panggul).<br />SYARAT KHUSUS<br />○Pembukaan lengkap atau hampir lengkap<br />○Presentasi kepala<br />○Cukup bulan (tidak prematur)<br />○Tidak ada kesempitan panggul<br />○Anak hidup dan tidak gawat janin<br />○Penurunan H III/III+ (Puskesmas H IV / dasar panggul)<br />○Kontraksi baik<br />○Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan<br />EKSTRAKSI VAKUM<br />Kaji ulang dengan syarat-syarat:<br />Presentasi belakang kepala/verteks;<br />Janin cukup bulan;<br />Pembukaan lengkap;<br />Kepala di H III-IV atau 1/5 – 2/5.<br />Persetujuan tindakan medis.<br />Berikan dukungan emosional. Jika perlu, lakukan blok pudendal (hal-75).<br />Persiapan alat-alat sebelum tindakan: untuk pasien, penolong (operator dan asisten), dan bayi.<br />Pencegahan infeksi sebelum tindakan.<br />Periksa dalam untuk menilai posisi kepala bayi dengan meraba sutura sagitalis dan ubun-ubun kecil/posterior (Gambar38.2)<br />Masukkan mangkok vakum melalui introitus vagina secara miring dan pasang pada kepala bayi dengan titik tengah mangkokpada sutura sagitalis ± 1 cm anterior dari ubun-ubun kecil (Gambar 38.3)<br />Nilai apakah diperlukan episiotomi. Jika episiotomi tidak diperlukan pada saat pemasangan mangkok, mungkin diperlukan pada saat perineum meregang, ketikakepala akan lahir.<br />Pastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit.<br />Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau negatif – 0,2 kg/cm2 (Malmstrom), dan periksa aplikasi mangkok (minta asisten menurunkan tekanan secara bertahap).<br />Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif – 0,6 kg/ cm2 (Malmstrom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.<br />Periksa adakah jaringan vagina yang terjepit. Jika ada, turunkan tekanan dan lepaskan jaringan yang terjepit tesebut.<br />Setelah mencapai tekanan negatif yang maksimal, lakukan traksi searah dengan sumbu panggul dan tegak lurus pada mangkok.<br />Tarikan dilakukann pada puncak his (Gambar 38.4) dengan mengikuti sumbu jalan lahir. Pada saat penarikan(pada puncak his) minta pasien meneran. Posisi tangan: tangan luar menarik pengait, ibu jari tangan dalam pada mangkok, telunjuk dan jari tengah pada kulit kepala bayi.<br />Tarikan bisa diulangi sampai 3 kali saja.<br />Lakukan pemeriksaan diantara kontraksi:<br />Denyut jantung janin,<br />Aplikasi mangkok<br />Saat suboksiput sudah berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga lahirlah berturut-turut dahi, muka, dan dagu. Segera lepaskan mangkok vakum dengan membuka tekanan negatif.<br />Selanjutnya kelahiran bayi dan plasenta dilakukan seperti pertolongan persalinan normal.<br />EKSTRAKSI VAKUM<br />LANGKAH KLINIK<br />A.PERSETUJUAN TINDAKAN<br />B.PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN<br />I.Pasien<br />1.Cairan dan slang infus sudah terpasang, Perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan dengan air dan sabun.<br />2.Uji fungsi dan perlengkapan perlatan ekstraksi vakum.<br />3.Siapkan alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah.<br />4.Medikamentosa<br />a.Oksigen<br />b.Ergometrin<br />c.Prokain 1%<br />5.Larutkan antiseptik (Povidon lodin 10%)<br />6.Oksigen dengan regulator<br />7.Instrumen<br />a.Set partus : 1 set<br />b.Vakum ekstraktor : 1 setc. Klem ovum : 2<br />c.Cunam tampon : 1<br />d.Tabung 5 ml dan jarum suntik No. 23 (sekali pakai) : 2<br />e.Spekulum Sim’s atau L dan kateter karet : 2 dan 1<br />II.Penolong (operator dan asisten)<br />1.Baju kamar tindakan, pelapis plastik, masker dan kacamata pelindung : 3 set<br />2.Sarung tangan DTT/steril : 4 pasang<br />3.Alas kaki (sepatu/”boot” karet) : 3 pasang<br />4.Instrumen<br />a.Lampu sorot : 1<br />b.Monoaural stetoskop dan stetoskop, tensimeter : 1<br />III.Bayi<br />1.Instrumen<br />a.Penghisap lendir dan sudep/penekan lidah : 1 set<br />b.Kain penyeka muka dan badan : 2<br />c.Meja bersih, kering dan hangat (untuk tindakan) : 1<br />d.Inkubator : 1 set<br />e.Pemotong dan pengikat tali pusat : 1 set<br />f.Tabung 20 ml dan jarum suntik No. 23/ insulin (sekali pakai) : 2<br />g.Kateter intravena atau jarum kupu-kupu : 2<br />h.Popok dan selimut : 1<br />i.Alat resusitasi bayi<br />2.Medikamentosa<br />a.Larutan Bikarbonas Natrikus 7,5% atau 8,4%<br />b.Nalokson (Narkan) 0,01 mg/kg BB<br />c.Epinefrin 0,01%<br />d.Antibiotika<br />e.Akuabidestilata dan Dekstrose 10%<br />3.Oksigen dengan regulator<br />C.PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN<br />D.TINDAKAN<br />1.Instruksikan asisten untuk menyipakan ekstraktor vakum dan pastikan petugas dan persiapan untuk menolong bayi telah tersedia.<br />2.Lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan terpenuhinya persyaratan ekstraksi vakum.<br />▪Bila penurunan kepala di atas H IV (0/5), rujuk ke Rumah Sakit.<br />3.Masukkan tangan ke dalam wadah yang mengandung larutan klorin 0,5%, bersihkan darah dan cairan tubuh yang melekat pada sarung tangan, lepaskan secara terbalik dan rendam dalam larutan tersebut.<br />4.Pakai sarung tangan DTT/Steril yang baru.<br />E.PEMASANGAN MANGKOK VAKUM<br />1.Masukkan mangkok vakum melalui introitus, pasangkan pada kepala bayi (perhatikan agar tepi mangkok tidak terpasang pada bagian yang tidak rata/moulage di daerah ubun-ubun kecil).<br />2.Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan dengan jari tengah dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di sekeliling tepi mangkok untuk memastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit di antara mangkok dan kepala.<br />3.Setelah hasil pemeriksaan ternyata baik, keluarkan jari tanan pemeriksaan dan tangan penahan mangkok tetap pada posisinya.<br />4.Instruksikan asisten untuk menurunkan tekanan (membuat vakum dalam mangkok) secra bertahap.<br />5.Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau -2 (Malmstroom) setelah 2 menit, naikkan hingga skala 60 (silastik) atau -6 (Malmstroom) dan tunggu 2 menit.<br />▪Ingat : Jangan gunakan tekanan maksumal pada kepala bayi, lebih dari 8 menit.)<br />6.Sambil menunggu his, jelaskan pada pasien bahwa pada his puncak (fase acme) pasien harus mengedan sekuat dan selama mungkin. Tarik lipat lutut dengan lipat siku agar tekanan abdomen menjadi lebih efektif.<br />F.PENARIKAN<br />1.Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara simultan lakukan penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada saat kepala mendorng perineum dan tidak masuk kembali.<br />2.Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua. Episiotomi pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat kepala mendorong perineum dan tidak masuk kembali.<br />Bila tarikan ketiga dilakukan dengan benar dan bayi belum lahir, sebaiknya pasien dirujuk (ingat : penatalaksanaan rujukan).<br />Apabila pada penarikan ternyata mangkuk terlepas hingga dua kali, kondisi ini juga mengharuskan pasien dirujuk.<br />3.Saat subosiput berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga lahirlah berturut-turut dahi, muka dan dagu.<br />G.MELAHIRKAN BAYI<br />1.Kepala bayi dipegang biparietal, gerakkan ke bawah untuk melahirkan bahu depan, kemudian gerakkan ke atas untuk melahirkan bahu belakang, kenudian lahirkan seluruh tubuh bayi.<br />2.Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali pusat dan serahkan bayi pada petugas bagian anak.<br />H.LAHIRKAN PLASENTA<br />1.Suntikkan oksigen, lakukan traksi terkendali, lahirkan plasenta dengan menarik tali pusat dan mendorong uterus ke arah dorsokranial.<br />2.Periksa kelengkapan plasenta (perhatikan bila terapat bagian-bagian yang lepas atau tidak lengkap).<br />3.Masukkan plasenta ke dalam tempatnya (hindari percikan darah).<br />I.EKSPLORASI JALAN LAHIR<br />1.Masukkan spekulum Sim’s/L atas dan bawah pada vagina.<br />2.Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau robekan pada dinding vagina di tempat lain.<br />3.Ambil klem ovum sebanyak 12 buah, lakukan penjepitan secara bergantian ke arah samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan porsio.<br />4.Bila terjadi robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan dan lanjutkan ke langkah K.<br />5.Bila dilakukan episiotomi, lanjutkan ke langkah J.<br />J.PENJAHITAN EPISIOTOMI<br />1.Pasang penopang bokong (beri alas kain). Suntikan prokain 1% (yang telah disiapkan dalam tabung suntik) pada sisi dalam luka episiotomi (otot, jaringan, submukosa dan subkutis) bagian atas dan bawah.<br />2.Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan pinset bergigi.<br />3.Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali pengikat tampondankain penutup perut bawah dengan kocher.<br />4.Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa secara jelujur bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit secara subkutikuler atau jelujur matras.<br />5.Tarik tali pengikat tampon vagina secara perlahan-lahan hingga tampon dapat dikeluarkan, kemudian kosongkan kandung kemih.<br />6.Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang telah diberi larutan antiseptik.<br />7.Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan episiotomi.<br />K.DEKONTAMINASI<br />L.CUCI TANGAN PASCATINDAKAN<br />M.PERAWATAN PASCATINDAKAN<br />1.Periksa kembali tanda vital pasien, lakukan tindakan dan beri instruksi lanjut bila diperlukan.<br />2.Catat kondisi pasien pascatindakan dan buat laporan tindakan pada kolom yang tersedia dalam status pasien.<br />3.Tegaskan pada petugas yang merawat untuk melaksanakan instruksi pengobatan dan perawatan serta laporkan segera bila pada pemamntauan lanjutan terjadi perubahan-perubahan yang harus diwaspadai.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-48528256395101909302010-02-14T02:28:00.000-08:002010-02-14T02:31:07.917-08:00Pemeriksaan Fisik Jantung<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fQzaI7q3I/AAAAAAAAAEM/0SLBBtzgMxk/s1600-h/jantung.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 256px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fQzaI7q3I/AAAAAAAAAEM/0SLBBtzgMxk/s320/jantung.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438044656681855858" /></a><br />Inspeksi<br /><br />Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam posisi sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita.<br />Memperhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada penonjolan asimetris yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil. Hipertropi dan dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.<br />Garis anatomis pada permukaan badan yang penting dalam melakukan pemeriksaan dada adalah:<br /> Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)<br /> Garis tengah klavikula (mid clavicular line/MCL)<br /> Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)<br /> Garis parasternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)<br />Mencari pungtum maksimum, Inspirasi dalam dapat mengakibatkan paru-paru menutupi jantung, sehingga pungtum maksimimnya menghilang, suatu variasi yang khususnya ditemukan pada penderita emfisema paru. Oleh kerena itu menghilangnya pungtum maksimum pada inspirasi tidak berarti bahwa jantung tidak bergerak bebas.<br />Pembesaran ventrikel kiri akan menggeser pungtum maksimum kearah kiri, sehingga akan berada diluar garis midklavikula dan kebawah. Efusi pleura kanan akan memindahkan pungtum maksimum ke aksila kiri sedangkan efusi pleura kiri akan menggeser kekanan. Perlekatan pleura, tumor mediastinum, atelektasis dan pneumotoraks akan menyebabkan terjadi pemindahan yang sama.<br />Kecepatan denyut jantung juga diperhatikan, meningkat pada berbagai keadaan seperti hipertiroidisme, anemia, demam.<br /><br />Palpasi<br /><br />Pada palpasi jantung, telapak tangan diletakkan diatas prekordium dan dilakukan perabaan diatas iktus kordis (apical impulse)<br />Lokasi point of masksimal impulse , normal terletak pada ruang sela iga (RSI) V kira-kira 1 jari medial dari garis midklavikular (medial dari apeks anatomis). Pada bentuk dada yang panjang dan gepeng, iktus kordis terdapat pada RSI VI medial dari garis midklavikular, sedang pada bentuk dada yang lebih pendek lebar, letak iktus kordis agak ke lateral. Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1-2 cm2<br />Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi systolic lift, systolic heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba lebih melebar.<br />Getaranan bising yang ditimbulkan dapat teraba misalnya pada Duktus Arteriosis Persisten (DAP) kecil berupa getaran bising di sela iga kiri sternum.<br /><br />Pulsasi ventrikel kiri<br />Pulsasi apeks dapat direkam dengan apikokardiograf. Pulsasi apeks yang melebar teraba seperti menggelombang (apical heaving). Apical heaving tanpa perubahan tempat ke lateral, terjadi misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meningkat akibat stenosis aorta. Apical heaving yang disertai peranjakan tempat ke lateral bawah, terjadi misalnya pada beban diastolik ventrikel kiri yang meningkat akibat insufisiensi katub aorta. Pembesaran ventrikel kiri dapat menyebabkan iktus kordis beranjak ke lateral bawah. Pulsasi apeks kembar terdapat pada aneurisme apikal atau pada kardiomiopati hipertrofi obstruktif.<br /><br />Pulsasi ventrikel kanan<br />Area dibawah iga ke III/IV medial dari impuls apikal dekat garis sternal kiri, normal tidak ada pulsasi. Bila ada pulsasi pada area ini, kemungkinan disebabkan oleh kelebihan beban sistolik ventrikel kanan, misalnya pada stenosis pulmonal atau hipertensi pulmonal. Pulsasi yang kuat di daerah epigastrium dibawah prosesus sifoideus menunjukkan kemungkinan adanya hipertropi dan dilatasi ventrikel kanan. Pulsasi abnormal diatas iga ke III kanan menunjukkan kemungkinan adanya aneurisma aorta asendens. Pulsasi sistolik pada interkostal II sebelah kiri pada batas sternum menunjukkan adanya dilatasi arteri pulmonal.<br /><br />Getar jantung ( Cardiac Trill)<br />Getar jantung ialah terabanya getaran yang diakibatkan oleh desir aliran darah. Bising jantung adalah desiaran yang terdengar karena aliran darah. Getar jantung di daerah prekordial adalah getaran atau vibrasi yang teraba di daerah prekordial. Getar sistolik (systolic thrill) timbul pada fase sistolik dan teraba bertepatan dengan terabanya impuls apikal. Getar diastolic (diastolic thrill) timbul pada fase diastolik dan teraba sesudah impuls apikal.<br />Getar sistolik yang panjang pada area mitral yang melebar ke lateral menunjukkan insufisiensi katup mitral. Getar sistolik yang pendek dengan lokasi di daerh mitral dan bersambung kearah aorta menunjukkan adanya stenosis katup aorta. Getar diastolik yang pendek di daerah apeks menunjukkan adanya stenosis mitral. Getar sistolik yang panjang pada area trikuspid menunjukkan adanya insufisiensi tricuspid. Getar sistolik pada area aorta pada lokasi didaerah cekungan suprasternal dan daerah karotis menunjukkan adanya stenosis katup aorta, sedangkan getar diastolik di daerah tersebut menunjukkan adanya insufisiensi aorta yang berat, biasanya getar tersebut lebih keras teraba pada waktu ekspirasi. Getar sistolik pada area pulmonal menunjukkan adanya stenosis katup pulmonal.<br />Pada gagal jantung kanan getar sistolik pada spatium interkostal ke 3 atau ke 4 linea para sternalis kiri.<br /><br />Perkusi<br />Cara perkusi<br />Batas atau tepi kiri pekak jantung yang normal terletak pada ruang interkostal III/IV pada garis parasternal kiri pekak jantung relatif dan pekak jantung absolut perlu dicari untuk menentukan gambaran besarnya jantung.<br />Pada kardiomegali, batas pekak jantung melebar kekiri dan ke kanan. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-bawah. Pinggang jantung merupakan batas pekak jantung pada RSI III pada garis parasternal kiri.<br />Kardiomegali dapat dijumpai pada atlit, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner, infark miokard akut, perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, regurgitasi tricuspid, insufisiensi aorta, ventrikel septal defect sedang, tirotoksikosis, Hipertrofi atrium kiri menyebabkan pinggang jantung merata atau menonjol kearah lateral. Pada hipertrofi ventrikel kanan, batas pekak jantung melebar ke lateral kanan dan/atau ke kiri atas. Pada perikarditis pekat jantung absolut melebar ke kanan dan ke kiri. Pada emfisema paru, pekak jantung mengecil bahkan dapat menghilang pada emfisema paru yang berat, sehingga batas jantung dalam keadaan tersebut sukar ditentukan.<br /><br />Auskultasi<br />Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan mendengar bunyi akibat vibrasi (getaran suara) yang ditimbulkan karena kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian hemodemanik darah dalam jantung.<br />Alat yang digunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chespiece.<br />Macam-macam ches piece yaitu bowel type dengan membran, digunakan terutama untuk mendengar bunyi dengan frekuensi nada yang tinggi; bel type, digunakan untuk mendengar bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah.<br /><br />Beberapa aspek bunyi yang perlu diperhatikan :<br />a) Nada berhubungan dengan frekuensi tinggi rendahnya getaran.<br />b) Kerasnya (intensitas), berhubungan dengan ampitudo gelombang suara.<br />c) Kualitas bunyi dihubungkan dengan timbre yaitu jumlah nada dasar dengan bermacam-macam jenis vibrasi bunyi yang menjadi komponen-komponen bunyi yang terdengar.<br />Selain bunyi jantung pada auskultasi dapat juga terdengar bunyi akibat kejadian hemodemanik darah yang dikenal sebagai desiran atau bising jantung (cardiac murmur).<br /><br />Bunyi jantung<br />Bunyi jantung utama: BJ, BJ II, BJ III, BJ IV<br />Bunyi jantung tambahan, dapat berupa bunyi detik ejeksi (ejection click) yaitu bunyi yang terdengar bila ejeksi ventrikel terjadi dengan kekuatan yang lebih besar misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meninggi. Bunyi detak pembukaan katub (opening snap) terdengar bila pembukaan katup mitral terjadi dengan kekuatan yang lebih besar dari normal dan terbukanya sedikit melambat dari biasa, misalnya pada stenosis mitral.<br /><br />Bunyi jantung utama<br />Bunyi jantung I ditimbulkan karena kontraksi yang mendadak terjadi pada awal sistolik, meregangnya daun-daun katup mitral dan trikuspid yang mendadak akibat tekanan dalam ventrikel yang meningkat dengan cepat, meregangnya dengan tiba-tiba chordae tendinea yang memfiksasi daun-daun katup yang telah menutup dengan sempurna, dan getaran kolom darah dalam outflow track (jalur keluar) ventrikel kiri dan di dinding pangkal aorta dengan sejumlah darah yang ada didalamnya. Bunyi jantung I terdiri dari komponen mitral dan trikuspidal.<br /><br />Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas BJ I yaitu:<br /> Kekuatan dan kecepatan kontraksi otot ventrikel, Makin kuat dan cepat makin keras bunyinya<br /> Posisi daun katup atrio-ventrikular pada saat sebelum kontraksi ventrikel. Makin dekat terhadap posisi tertutup makin kecil kesempatan akselerasi darah yang keluar dari ventrikel, dan makin pelan terdengarnya BJ I dan sebaliknya makin lebar terbukanya katup atrioventrikuler sebelum kontraksi, makin keras BJ I, karena akselerasi darah dan gerakan katup lebih cepat.<br /> Jarak jantung terhadap dinding dada. Pada pasien dengan dada kurus BJ lebih keras terdengar dibandingkan pasien gemuk dengan BJ yang terdengar lebih lemah. Demikian juga pada pasien emfisema pulmonum BJ terdengar lebih lemah.<br />Bunyi jantung I yang mengeras dapat terjadi pada stenosisis mitral,<br />BJ II ditimbulkan karena vibrasi akibat penutupan katup aorta (komponen aorta), penutupan katup pulmonal (komponen pulmonal), perlambatan aliran yang mendadak dari darah pada akhir ejaksi sistolik, dan benturan balik dari kolom darah pada pangkal aorta yang baru tertutup rapat.<br />Bunyi jantung II dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten besar, Tetralogi Fallot, stenosis pulmonalis,<br />Pada gagal jantung kanan suara jantung II pecah dengan lemahnya komponen pulmonal. Pada infark miokard akut bunyi jantung II pecah paradoksal, pada atrial septal depect bunyi jantung II terbelah.<br />BJ III terdengar karena pengisian ventrikel yang cepat (fase rapid filling). Vibrasi yang ditimbulkan adalah akibat percepatan aliran yang mendadak pada pengisisan ventrikel karena relaksasi aktif ventrikel kiri dan kanan dan segera disusul oleh perlambatan aliran pengisian<br />Bunyi jantung III dapat dijumpai pada syok kardiogenik, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi<br />Bunyi jantung IV dapat terdengar bila kontraksi atrium terjadi dengan kekuatan yang lebih besar, misalnya pada keadaan tekanan akhir diastole ventrikel yang meninggi sehingga memerlukan dorongan pengisian yang lebih keras dengan bantuan kontraksi atrium yang lebih kuat.<br />Bunyi jantung IV dapat dijumpai pada penyakit jantung hipertensif, hipertropi ventrikel kanan, kardiomiopati, angina pectoris, gagal jantung, hipertensi,<br />Irama derap dapat dijumpai pada penyakit jantung koroner, infark miokard akut, miokarditis, kor pulmonal, kardiomiopati dalatasi, gagal jantung, hipertensi, regurgitasi aorta.<br /><br />Bunyi jantung tambahan<br />Bunyi detek ejeksi pada awal sistolik (early sisitolic click). Bunyi ejeksi adalah bunyi dengan nada tinggi yang terdengar karena detak. Hal ini disebabkan karena akselerasi aliran darh yang mendadak pada awal ejeksi ventrikel kiri dan berbarengan dengan terbukanya katup aorta yang terjadi lebih lambat.. keadaan inisering disebabkan karena stenosis aorta atau karena beban sistolik ventrikel kiri yang berlebihan dimana katup aorta terbuka lebih lambat.<br />Bunyi detak ejeksi pada pertengahan atau akhir sistolik (mid-late systolick klick) adalah bunyi dengan nada tinggi pada fase pertengahan atau akhir sistolik yang disebabkan karena daun-daun katup mitral dan chordae tendinea meregang lebih lambat dan lebih keras. Keadaan ini dapat terjadi pada prolaps katup mitral karena gangguan fungsi muskulus papilaris atau chordae tendinea.<br />Detak pembukaan katup (opening snap) adalah bunyi yang terdengar sesudah BJ II pada awal fase diastolik karena terbukanya katup mitral yang terlambat dengan kekuatan yang lebih besar yang disebabkan hambatan pada pembukaan katup mitral. Keadaan ini dapat terjadi pada stenosis katup mitral.<br />Pada stenosis trikuspid pembukaan katup didaera trikuspid.<br /><br />Bunyi ekstra kardial<br />Gerakan perikard (pericardial friction rub) terdengar pada fase sistolik dan diastolik akibat gesekan perikardium viseral dan parietal. Bunyi ini dapat ditemukan pada perikarditis.<br /><br />Bising (desir) jantung (cardiac murmure)<br />Bising jantung adalah bunyi desiran yang terdengar memanjang yang timbul akibat vibrasi aliran darah turbulen yang abnormal.<br />Evaluasi desir jantung dilihat dari:<br />1. Waktu terdengar: pada fase sistolik atau diastolik<br />Terlebih dahulu tentukan fase siklus jantung pada saat terdengar bising (sistolik atau diastolik) dengan patokan BJ I dan BJ II atau dengan palapasi denyut karotis yang teraba pada awal sistolik.<br />Bising diastolik dapat dijumpai pada stenosis mitral, regurgitasi aorta, insufisiensi aorta, gagal jantung kanan, stenosis tricuspid yang terdengar pada garis sternal kiri sampai xipoideus, endokarditis infektif, penyakit jantung anemis<br />Bising sistolik dapat dijumpai pada stenosis aorta, insufisiensi mitral, endokarditis infektif, angina pectoris, stenosis pulmonalis yang terdengar di garis sternal kiri bagian atas, tatralogi fallot,<br />Bising jantung sistolik terdengar pada fase sistolik, dibedakan:<br /> Bising jantung awal sistolik: Terdengar mulai pada saat sesudah BJ I dan menempati pase awal sistolik dan berakhir pada pertengahan pase sistilik<br /> Bising jantung pertengahan sistolik: Terdengar sesudah BJ I dan pada pertengahan fase sisitolik dan berakhir sebelum terdengar BJ II.<br />Bising ini dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten (DAP) sedang,<br /> Bising jantung akhir sistolik: Terdengar pada fase akhir sistolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II<br />Bising ini dapat dijumpai pada sindrom marfan<br /><br /> Bising jantung pan-sistolik: Mulai terdengar pada saat BJ I dan menempati seluruh fase sisitolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II.<br />Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal defect , regurgitasi trikuspid<br /><br />Bising jantung diastolik terdengar pada fase diastolik, dibedakam:<br /> Bising jantung awal: terdengar mulai saat BJ II menempati fase awal diastolik dan biasanya menghilang pada pertengahan diastolik.<br />Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect<br /> Bising jantung pertengahan: terdengar sesaat sesudah terdengar BJ II dan biasanya berakhir sebelum BJ I<br />Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect, stenosis mitral, Duktus Arteriosus Persisten (DAP) yang berat<br /> Bising jantung akhir diastolik atau presistolik: terdengar pada fase akhir diastolik dan berakhir pada saat terdengar BJ I<br />Bising ini dapat dijumpai pada stenosis mitral,<br /> Bising jantung bersambungan: mulai terdengar paada fase sistolik dan tanpa interupsi melampai BJ II terdengar kedalam fase diastolic<br />Bising ini dapat ditemukan pada patent dutus srteriosus<br /><br />2.Intensitas bunyi:<br />intensitas bunyi yang ditimbulkan berbeda-beda dari yang ringan sanpai yang keras. Pada insufisiensi mitral intensitas bising sedang sampai tinggi. Pada gagal janntung kanan dapat terdengar bising Graham Steel yang merupakan bising yang terdengar dengan nada tinggi yang terjadi akibat hipertensi pulmonal.<br />Didasarkan pada tingkat kerasnya suara, dibedakan:<br /><br />3.Tipe (konfigurasi): timbul karena penyempitan atau aliran balik, dibedakan:<br /> Bising tipe kresendo: mulai terdengar dari pelan kemudian mengeras<br />Bising kresendo diastolik dapat terdengar pada stenosis mitral<br /> Bising tipe dekresendo: bunyi dari keras kemudian menjadi pelan<br /> Bising tipe kresendo-dekresendo: bunyi pelan lalu keras lalu pelan kembali<br /> Bising tipe plateau: keras suara bising lebih menetap sepanjang pase sistolik, keras jarang berbunyi kasar<br />Bising ini dapat dijumpai pada insufisiensi mitral.<br /><br />4.Lokasi dan penyebaran: daerah bising terdengar paling keras dan mungkin menyebar kearah tertentu<br />Pada stenosis aorta bising diastolik di sela iga 2 kiri atau kanan dapat menjalar ke leher atau aortaNs.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-25452047886739464062010-02-14T02:22:00.000-08:002010-02-14T02:26:56.360-08:00AsKep Bayi Prematur<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fP18HsYNI/AAAAAAAAAEE/iJA1Tu-T6XM/s1600-h/rumaisa_rahman_wideweb__430x286.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 213px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fP18HsYNI/AAAAAAAAAEE/iJA1Tu-T6XM/s320/rumaisa_rahman_wideweb__430x286.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438043600651575506" /></a><br />Definisi :<br /><br />Bayi baru lahir dengan umur kehamilan 37 minggu atau kurang saat kelahiran disebut dengan bayi prematur. Walaupun kecil, bayi prematur ukurannya sesuai dengan masa kehamilan tetapi perkembangan intrauterin yang belum sempurna dapat menimbulkan komplikasi pada saat post natal. Bayi baru lahir yang mempunyai berat 2500 gram atau kurang dengan umur kehamilan lebih dari 37 minggu disebut dengan kecil masa kehamilan, ini berbeda dengan prematur, walaupun 75% dari neonatus yang mempunyai berat dibawah 2500 gram lahir prematur.<br /><br />Problem klinis terjadi lebih sering pada bayi prematur dibandingkan dengan pada bayi lahir normal. Prematuritas menimbulkan imaturitas perkembangan dan fungsi sistem, membatasi kemampuan bayi untuk melakukan koping terhadap masalah penyakit.<br /><br />Masalah yang umum terjadi diantaranya respiratory disstres syndrom (RDS), enterocolitis nekrotik, hiperbilirubinemia, hypoglikemia, thermoregulation, patetnt duktus arteriosus (PDA), edema paru, perdarahan intraventrikular. Stressor tambahan lain pada infant dan orangtua meliputi hospitalisasi untuk penyakit pada bayi. Respon orangtua dan mekanisme koping mereka dapat menimbulkan gangguan pada hubungan antar mereka. Diperlukan perencanaan dan tindakan yang adekuat untuk permasalahn tersebut.<br /><br />Bayi prematur dapat bertahan hidup tergantung pada berat badannya, umur kehamilan, dan penyakit atau abnormalitas. Prematur menyumbangkan 75% - 80% angka kesakitan dan kematian neonatus.<br /><br />Etiologi dan faktor presipitasi:<br />Permasalahan pada ibu saat kehamilan :<br />- Penyakit/kelainan seperti hipertensi, toxemia, placenta previa, abruptio placenta, incompetence cervical, janin kembar, malnutrisi dan diabetes mellitus.<br />- Tingkat sosial ekonomi yang rendah dan prenatal care yang tidak adekuat<br />- Persalinan sebelum waktunya atau induced aborsi<br />- Penyalahgunaan konsumsi pada ibu seperti obat-obatan terlarang, alkohol, merokok dan caffeine<br /><br />Pengkajian<br />1. Riwayat kehamilan<br />- Umur ibu dibawah 16 tahun dengan latar belakang pendidikan rendah<br />- Kehamilan kembar<br />- Status sosial ekonomi, prenatal care tidak adekuat, nutrisi buruk<br />- Kemungkinan penyakit genetik<br />- Riwayat melahirkan prematur<br />- Infeksi seperti TORCH, penyakit menular seksual dan lain sebagainya<br />- Kondisi seperti toksemia, prematur rupture membran, abruptio placenta dan prolaps umbilikus<br />- Penyalahgunaaan obat, merokok, konsumsi kafeine dan alkohol<br />- Golongan darah, faktor Rh, amniocentesis.<br /><br />2. Status bayi baru lahir<br />- Umur kehamilan antara 24 – 37 minggu, berat badan lahir rendah atau besar masa kehamilan<br />- Berat badan dibawah 2500 gram<br />- Kurus, lemak subkutan minimal<br />- Adanya kelainan fisik yang terlihat<br />- APGAR skore 1 – 5 menit : 0 – 3 mengindikasikan distress berat, 4 – 6 menunjukkan disstres sedang dan 7 – 10 merupakan nilai normal.<br /><br />3. Kardiovaskular<br />- Denyut jantung 120 – 160 x per menit pada sisi apikal dengan irama teratur<br />- Saat kelahiran, terdengar murmur<br /><br />4. Gastrointestinal<br />- Protruding abdomen<br />- Keluaran mekonium setelah 12 jam<br />- Kelemahan menghisap dan penurunan refleks<br />- Pastikan anus tanpa/dengan abnormalitas kongenital<br /><br />5. Integumen<br />- Cyanosis, jaundice, mottling, kemerahan, atau kulit berwarna kuning<br />- Verniks caseosa sedikit dengan rambut lanugo di seluruh tubuh<br />- Kurus<br />- Edema general atau lokal<br />- Kuku pendek<br />- Kadang-kadang terdapat petechie atau ekimosis<br /><br />6. Muskuloskeletal<br />- Cartilago pada telinga belum sempurna<br />- Tengkorak lunak<br />- Keadaan rileks, inaktive atau lethargi<br /><br />7. Neurologik<br />- Refleks dan pergerakan pada test neurologik tanpa resistansi<br />- Reflek menghisap, swalowing, gag reflek serta reflek batuk lemah atau tidak efektif<br />- Tidak ada atau minimalnya tanda neurologik<br />- Mata masih tertutup pada bayi dengan umur kehamilan 25 – 26 minggu<br />- Suhu tubuh yang tidak stabil : biasanya hipotermik<br /><br />8. Pulmonary<br />- Respiratory rate antara 40 – 60 x/menit dengan periode apnea<br />- Respirasi irreguler dengan nasal flaring, grunting dan retraksi (interkostal, suprasternal, substrenal)<br />- Terdengar crakles pada auskultasi<br /><br />9. Renal<br />- Berkemih terjadi 8 jam setelah lahir<br />- Kemungkinan ketidakmampuan mengekresikan sulution dalam urine<br /><br />10. Reproduksi<br />- Perempuan : labia mayora belum menutupi klitoris sehingga tampak menonjol<br />- Laki-laki : testis belum turun secara sempurna ke kantong skrotum, mungkin terdapat inguinal hernia.<br /><br />11. Data penunjang<br />- X-ray pada dada dan organ lain untuk menentukan adanya abnormalitas<br />- Ultrasonografi untuk mendeteksi kelainan organ<br />- Stick glukosa untuk menentukan penurunan kadar glukosa<br />- Kadar kalsium serum, penurunan kadar berarti terjadi hipokalsemia<br />- Kadar bilirubin untuk mengidentifikasi peningkatan (karena pada prematur lebih peka terhadap hiperbilirubinemia)<br />- Kadar elektrolit, analisa gas darah, golongan darah, kultur darah, urinalisis, analisis feses dan lain sebagainya.<br /><br />Diagnosa keperawatan<br />Dx. 1. Resiko tinggi disstres pernafasan berhubungan dengan immaturitas paru dengan penurunan produksi surfactan yang menyebabkan hipoksemia dan acidosis<br /><br />Tujuan : Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi paru<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji data fokus pada kemungkinan disstres pernafasan yaitu :<br />- Riwayat penyalahgunaan obat pada ibu atau kondisi abnormal selama kehamilan dan persalinan<br />- Kondisi bayi baru lahir : APGAR score, kebutuhan resusitasi<br />- Respiratory rate, kedalaman, takipnea<br />- Pernafasan grunting, nasal flaring, retraksi dengan penggunaan otot bantu pernafasan (intercostal, suprasternal, atau substernal)<br />- Cyanosis, penurunan suara nafas<br />2. Kaji episode apneu yang terjadi lebih dari 20 detik, kaji keadaan berikut :<br />- Bradykardi<br />- Lethargy, posisi dan aktivitas sebelum, selama dan setelah episode apnea (sebagai contoh saat tidur atau minum ASI)<br />- Distensi abdomen<br />- Suhu tubuh dan mottling<br />- Kebutuhan stimulasi<br />- Episode dan durasi apnea<br />- Penyebab apnea, seperti stress karena dingin, sepsis, kegagalan pernafasan.<br />3. Berikan dan monitor support respiratory sebagai berikut :<br />- Berikan oksigen sesuai indikasi<br />- Lakukan suction secara hati-hati dan tidak lebih dari 5 detik<br />- Pertahankan suhu lingkungan yang normal<br />4. Monitor hasil pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui terjadinya acidosis metabolik<br />5. Berikan oabt-obat sesuai permintaan dokter seperti theophylin IV. Monitor kadar gula darah setiap 1 – 2 hari.<br /><br />Dx. 2. Resiko hipotermia atau hipertermia berhubungan dengan prematuritas atau perubahan suhu lingkungan<br /><br />Tujuan : Mempertahankan suhu lingkungan normal<br /><br />Tindakan :<br />1. Pertahankan suhu ruang perawatan pada 25 C<br />2. Kaji suhu rectal bayi dan suhu aksila setiap 2 jam atau bila perlu<br />3. Tempatkan bayi di bawah pemanas atau inkubator sesuai indikasi<br />4. Hindarkan meletakkan bayi dekat dengan sumber panas atau dingin<br />5. Kaji status infant yang menunjukkan stress dingin<br /><br />Dx. 3. Defiensi nutrisi berhubungan dengan tidak adekuatnya cadangan glikogen, zat besi, dan kalsium dan kehilangan cadangan glikogen karena metabolisme rate yang tinggi, tidak adekuatnya intake kalori, serta kehilangan kalori.<br /><br />Tujuan : meningkatkan dan mempertahankan intake kalori yang adekuat pada bayi<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji refleks hisap dan reflek gag pada bayi. Mulai oral feeding saat kondisi bayi stabil dan respirasi terkontrol<br />2. Kaji dan kalkulasikan kebutuhan kalori bayi<br />3. Mulai breast feeding atau bottle feeding 2 – 6 jam setelah lahir. Mulai dengan 3 – 5 ml setiap kali setiap 3 jam. Tingkatkan asupan bila memungkinkan.<br />4. Timbang berat badan bayi setiap hari, bandingkan berat badan dengan intake kalori untuk menentukan pemabatasan atau peningkatan intake<br />5. Berikan infus dextrose 10% jika bayi tidak mampu minum secara oral<br />6. Berikan TPN dan intralipid jika dibutuhkan<br />7. Monitor kadar gula darah<br /><br />Dx. 4. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan imaturitas, radiasi lingkungan, efek fototherapy atau kehilangan melalui kulit atau paru.<br /><br />Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji dan hitung kebutuhan cairan bayi<br />2. Berikan cairan 150 – 180 ml/kg berat badan dan 200 ml/kg berat badan jika dibutuhkan.<br />3. Timbang berat badan bayi setiap hari<br />4. Monitor dan catat intake dan output setiap hari, bandingkan jumlahnya untuk menentukan status ketidakseimbangan.<br />5. Test urine : spesifik gravity dan glikosuria<br />6. Pertahankan suhu lingkungan normal<br />7. Kaji tanda-tanda peningkatan kebutuhan cairan :<br />- Peningkatan suhu tubuh<br />- Hipovolemik shock dengan penurunan tejanan darah dan peningkatan denut jantung, melemahnya denyut nadi, tangan teraba dingin serta motling pada kulit.<br />- Sepsis<br />- Aspiksia dan hipoksia<br />8. Monitor potassium, sodium dan kadar chloride. Ganti cairan dan elektrolit dengan dextrose 10% bila perlu.<br /><br />Dx. 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imaturitas imunologik bayi dan kemungkinan infeksi dari ibu atau tenaga medis/perawat<br /><br />Tujuan : Infeksi dapat dicegah<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji fluktuasi suhu tubuh, lethargy, apnea, iritabilitas dan jaundice<br />2. Review riwayat ibu, kondisi bayi saat lahir, dan epidemi infeksi di ruang perawatan<br />3. Amati sampel darah dan drainase<br />4. Lakukan pemeriksaan CBC dengan hitung leukosit, platelets, dan imunoglubolin<br />5. Berikan lingkungan yang melindungi bayi dari infekasi :<br />- Lakukan cuci tangan sebelum menyentuh bayi<br />- Ikuti protokol isolasi bayi<br />- Lakukan tehnik steril saat melakukan prosedur pada bayi<br /><br />Dx. 6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rapuh dan imaturitas kulit<br /><br />Tujuan : Mempertahankan integritas kulit<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji kulit bayi terhadap kemerahan, iritasi, rashes, dan lesi serta keadaan pada area kulit yang tertekan.<br />2. Kaji tempat-tempat prosedur invasif pada bayi<br />3. Berikan perawatan kulit setiap hari. Lindungi kulit bayi dari kontak dengan agen pembersih atau plester.<br /><br />Dx. 7. Gangguan sensori persepsi : visual, auditory, kinestehetik, gustatory, taktil dan olfaktory berhubungan dengan stimulasi yang kurang atau berlebihan pada lingkungan intensive care<br /><br />Tujuan : Mempertahankan stimulasi sensori yang optimal tanpa berlebihan<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji kemampuan bayi memberikan respon terhadap stimulus. Observasi :<br />- Deficit neurologik<br />- Kurangnya perhatian bayi terhadap stimulus<br />- Tidak ada respon terhadap suara, kontak mata atau tidak adanya refleks normal<br />- Efek obat terhadap perkembangan bayi<br />2. Berikan stimulasi visual :<br />- Arahkan cahaya lampu pada bayi<br />- Ayunkan benda didepan mata bayi<br />- Letakkan bayi pada posisi yang memungkinkan untuk kontak mata : tegakkan bayi<br />3. Berikan stimulasi auditory :<br />- Bicara pada bayi, lakukan dengan tekanan suara rendah dan jelas<br />- Panggil bayi dengan namanya, bicara pada bayi saat memberikan perawatan<br />- Bernyanyi, mainkan musik tape recorder atau hidupkan radio<br />- Hindari suara bising di sekitar bayi<br />4. Berikan stimulasi tactile :<br />- Peluk bayi dengan penuh kasih sayang<br />- Berikan kesempatan pada bayi untuk menghisap<br />- Sentuh bayi dengan benda lembut seperti saputangan atau kapas<br />- Berikan perubahan posisi secara teratur<br />5. Berikan stimulasi gustatory dengan mendekatkan hidung bayi ke payudara ibu atau ASI yang ditampung.<br />6. Berikan periode istirahat dan tidur yang cukup.<br /><br />Dx. 8. Deficit pengetahuan (keluarga) tentang perawatan infant yang sakit di rumah<br /><br />Tujuan :<br />1. Informasikan orangtua dan keluarga tentang :<br />- Proses penyakit<br />- Prosedur perawatan<br />- Tanda dan gejala problem respirasi<br />- Perawatan lanjutan dan therapy<br />2. Ajarkan orangtua dan keluarga tentang treatment pada anak :<br />- Therapy home oksigen<br />- Ventilasi mekanik<br />- Fisiotherapi dada<br />- Therapy obat<br />- Therapy cairan dan nutrisi<br />3. Berikan kesempatan pada keluarga mendemontrasikan perawatan pada bayinya<br />4. Anjurkan keluarga terlibat pada perawatan bayi<br />5. Ajarkan keluarga dan orangtua bagaimana menyeimbangkan istirahat dan tidur dan bagaimana menilai toleransi bayi terhadap aktivitas.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-40144998405459144.post-10766135525773540842010-02-14T02:18:00.000-08:002010-02-14T02:21:35.796-08:00Tentang ABORSI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fOk17SIJI/AAAAAAAAAD8/5rIK6q1QvrE/s1600-h/abo1.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_d-sL0M_aBYs/S3fOk17SIJI/AAAAAAAAAD8/5rIK6q1QvrE/s320/abo1.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438042207419506834" /></a><br />Pendahuluan<br /><br />Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya tetap menimbulkan banyak persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut pandang kesehatan, tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama.<br /><br />Pengguguran atau aborsi adalah semua tindakan atau usaha untuk menghentikan kehamilan dengan alasan apapun.1 Aborsi dibagi menjadi dua, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi spontan adalah aborsi yg terjadi secara alamiah tanpa adanya upaya dari luar untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Sedangkan aborsi buatan adalah aborsi yg terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan.<br /><br />Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yg utama adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia.<br /><br />Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak aman, 70 ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi tidak aman) diantaranya bahkan terjadi dinegara berkembang.2<br /><br />Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi, artinya 43 kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000). Suatu hal yang dapat kita tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak terjadi di negara-negara di mana aborsi dilarang keras oleh undang-undang.3<br /><br />Dari kenyataan ini kita patut mempertanyakan logika yang menyatakan bahwa bila layanan aborsi tidak ada maka orang tidak akan melakukan aborsi. Atau sebaliknya tersedianya layanan aborsi akan mendorong terjadinya penyelewengan moral yang berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan.<br /><br /><br />Aborsi Dipandang Dari Aspek Hukum<br /><br />Menurut Sumapraja dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di Jakarta 1 April 2000 menyatakan adanya kontradiksi dari isi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut:<br /><br />“Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelematkan jiwa ibu hamil dan janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.<br /><br />Hal yang dapat dijelaskan dari pasal dan ayat tersebut adalah:<br /><br />Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang dan bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelematkan jiwa ibu dan janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.4<br /><br />Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas menjadikan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan rentan di mata hukum.<br /><br />Ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya yakni pasal 15 ayat 2 yakni, tindakan medis tertentu hanya dapat dilakukan jika:<br /><br />berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambil tindakan tersebut<br />oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dapat dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan ahli<br />dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya<br />pada sarana kesehatan tertentu.<br />Penjelasan atas syarat tersebut di atas yakni:<br /><br />indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinnya terancam bahaya maut.<br />tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kandungan dan penyakit kandungan<br />hak utama untuk memberi persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan yang tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuan, dapat diminta dari suami atau keluarganya<br />sarana kesehatan tertentu adalah yang memiliki fasilitas memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.<br />Selain daripada itu banyak pasal dalam KUHP yang menerangkan dan menjelaskan tentang tindakan aborsi diantaranya:<br /><br />Pasal 346 yang berbunyi, “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”<br />Pasal 348 yang berbunyi, “barang siapa yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”<br />Pasal 349 yang berbunyi, “jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dapat ditambah dengansepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”<br />Selengkapnya dapat dibaca pada pasal 229, 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).<br /><br /><br />Aborsi Dipandang dari Aspek Agama<br /><br />Tidak ada ayat baik dalam Al-Quran maupun Al-Kitab yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat manusia.<br /><br />Bahkan dalam Al-Quran banyak ayat yang menyatakan bahwa janin dalam kandungan adalah sangat mulia.<br /><br />Q.S. 17:70 yang berbunyi:<br />“ sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”<br /><br />Q.S. 5:32 yang isinya menyatakan bahwa membunuh satu nyawa berarti membunuh semua orang. Sebaliknya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan nyawa semua orang.<br />Q.S. 17:3 yang berbunyi:<br />“ dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat, Kamilah yang memberi rizki kepada mereka dan kepadamu jua.”<br /><br />Q.S. 5:36 yang isinya menyatakan bahwa aborsi adalah membunuh, berarti melawan perintah Allah.<br />Q.S. 22:5 menerangkan bahwa tidak ada kehamilan yang merupakan kecelakaan atau kebetulan. Setiap janin yang terbentuk adalah merupakan rencana Allah.<br />Adapun berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini. Sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian ulama berpendapat boleh.5<br /><br />Batasan tersebut digunakan sebagai tolok ukur boleh-tidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum bernyawa. Dari yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosa oleh ahli ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi boleh dilakukan. Dengan demikian apabila dari sudut pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alas an kuat seperti indikasi medis, maka sudah sepatutnyalah apabila landasan hukum aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.<br /><br /><br />Aborsi Dipandang dari Aspek Kesehatan<br /><br />Aborsi biasanya dilakukan atas indikasi yang berkaitan dengan ancaman keselamatan janin atau adanya gangguan kesehatan yang berat pada ibu, misalnya TB paru berat, asma, diabetes mellitus, gagal ginjal, hipertensi, dan penyakit hati kronis.6<br /><br />Sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu. Hanya saja dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis.7<br /><br />Akan tetapi kematian ibu disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian ibu, yang dilaporkan hanya kematian yang diakibatkan perdarahan dan sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi.<br /><br />Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995 menyepakati bahwa akses pada pelayanan aborsi yang aman merupakan bagian dari hak perempuan.<br /><br />Penelitian menunjukkan bahwa dilegalkannya aborsi di suatu negara justru berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsi itu sendiri. Held dan Adriaansz sebagaimana dikutip dari Wijono (2000) mengemukakan hasil analisa tentang kelompok resiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak direncanakan dan aborsi tidak aman, yakni:<br /><br />kelompok unmeet need dan kegagalan kontrasepsi (48%<br />kelompok remaja<br />kelompok praktisi seks komersial<br />kelompok korban perkosaan, incest, dan pelecehan seksual (9%).8<br />dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata kelompok unmeet need dan gagal KB merupakan kelompok terbesar yang mengalami kehamilan tidak direncanakan, sehingga konseling kontrasepsi merupakan salah satu syarat mutlak untuk menurunkan kejadian aborsi, terutama aborsi berulang, selain faktor lainnya.<br /><br /><br />Kesimpulan<br /><br />Dari uraian tersebut di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:<br /><br />· ada dua alasan mengapa seseorang menghentikan kehamilannya:<br /><br />alasan kesehatan atau medis, yaitu suatu alasan yang didasarkan kepada pertimbangan medis baik yang disebabkan oleh ibu atau janin.<br />alasan non medis, yang didasarkan pada faktor-faktor di luar pertimbangan medis namun berisiko tinggi terhadap kelanjutan kehidupan sang ibu.<br />· jika dilihat dari pendekatan demografis, maka lasan yang sering dikemukakan adalah realitas tingginya kematian ibu yang disebabkan oleh komplikasi aborsi yang tidak aman, artinya tidak adanya fasilitas atau layanan aborsi tidak dengan sendirinya menghentikan usaha kaum perempuan untuk menghentikan kehamilannya. Dan ketika layanan aborsi yang aman dan sehat itu tidak disediakan, mereka akan tetap mengusahakannya sendiri. Akibatnya tidak sedikit yang kemudian pergi mencari pertolongan kepada mereka yang bukan ahlinya.<br /><br />· Memang, memutuskan melakukan aborsi adalah suatu pilihan yang benar-benar harus dipikirkan secara matang. Mengapa? Karena sang ibu harus benar-benar percaya dengan apa yang menjadi tanggung jawab dan yang terbaik bagi dirinya. Ini seyogyanya bergantung kepada kebutuhan, sumber daya, tanggung jawab, dan harapan yang dibayangkan oleh kaum perempuan.<br /><br />· dari berbagai diskusi baik dengan ibu maupun remaja, diperoleh gambaran bahwa bila seorang perempuan telah berniat menghentikan kehamilannya, maka umumnya mereka tidak langsung pergi ke tenaga medis tetapi akan mencoba cara sendiri yang sering diketahuinya melalui teman-temannya.<br /><br />· Kita akui memang aturan mengenai tindakan aborsi masih sangat kontroversial, bahkan boleh dibilang cacat hukum.<br /><br />· tingginya angka kematian ibu di Indonesia disadari atau tidak banyak dipicu oleh maraknya kasus aborsi tidak aman. Apabila satu dekade lalu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia didominasi oleh penyakit infeksi, degeneratif, dan HIV/AIDS, maka saat ini dan ke depan masalah aborsi menjadi teramat krusial untuk segera ditindaklanjuti.<br /><br />Saran<br /><br />1. Sudah saatnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi termasuk pendidikan seks diberikan sejak usia dini sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya.<br /><br />2. Upaya legalisasi aborsi semestinya segera diberlakukan, dengan membentuk sarana layanan aborsi yang dikontrol secara intens oleh sebuah lembaga mungkin dalam bentuk komisi yang terdiri dari berbagai unsur seperti pemerintah, LSM, tokoh agama, dan tokoh masyarakat atau sebaliknya dilarang sama sekali melalui law enforcement.<br /><br />3. Amandemen Undang-Undang Kesehatan khususnya pasal 15 ayat 1 dan 2 sudah menjadi keniscayaan karena terkesan kontroversial.<br /><br />4. Dalam upaya menekan angka kematian ibu (AKI) akibat aborsi tidak aman perlu digencarkan konseling kontrasepsi di setiap sarana kesehatan baik privat maupun pemerintah.<br /><br />5. Pentingnya digalakkan upaya diseminasi informasi tentang kesehatan reproduksi khususnya aborsi melalui seminar, penyuluhan, diskusi, kampanye, dan ceramah keagamaan baik melalui media cetak maupun elektronik.<br /><br />Mengakhiri tulisan ini, penulis berharap mudah-mudahan mendapatkan perhatian dan renungan untuk selanjutnya disikapi dan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait.<br /><br /><br />Referensi<br /><br />Al-Quran dan Terjemahannya.<br /><br />Berita Berkala Jender dan Kesehatan, Aborsi: Sebuah Dilema di Indonesia, edisi khusus Januari-Februari 2001, Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Jender, 2001<br /><br />Hadad, Tini, dkk. Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi, Seri Perempuan Mengenali Dirinya, YLKI-FKP-FF, 2002<br /><br />Hanifah, Laily, Aborsi Ditinjau dari Tiga Sudut Pandang, artikel Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam situs www.kesrepro.info<br /><br />Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan<br /><br />WHO, Unsafe Abortion; Global and Regional Estimates of Incidence and Mortality Due to Unsafe Abortion with a Listing of Available Country Data, third edition, Geneva, Division of Reproductive Health (Technical Support), WHO, 1998.Ns.Deehttp://www.blogger.com/profile/15946301890887901265noreply@blogger.com0